Ciuman Pertama Aruna

III-282. Pria Tampan Terlalu Narsis



III-282. Pria Tampan Terlalu Narsis

0"Bisa tidak?! istriku memanggilku 'Pria tampan'??" ada mata lelaki menatap perempuan yang detik ini meletakkan satu tangannya pada pinggang dan tangan lain menyibak rambut kebelakang, "Lihatlah, betapa tampannya suamimu,"      
0

"Hais," Aruna mendesis "Apa kamu yang meminta pelayan menyiapkan makanan itu?"     

"Iya, kenapa?" jawab Hendra ringan.      

"Apa kamu sudah bangun saat mereka menata meja sarapan kita semewah itu?" meja makan di hadapan suami istri tersebut begitu indah dengan susunan peralatan makan, sajian dan ornamen-ornamen bunga yang demikian detail. Aruna tahu itu dulu di Surat Ajaib, dia dan teman-temannya sering mendapatkan orderan desain wardrobe semacamnya.      

"Iya, aku sudah bangun," Hendra menganggukkan kepalanya, polos.      

"Oke," ada perempuan mencoba membuang nafas menahan gejolaknya, "Apa kamu tak merasakan ada yang perlu dirapikan sebelum mereka memasuki kamar kita??"      

"Oh, aku masih malas bangun saat mereka datang, jadi aku lanjutkan memelukmu?" dengan percaya diri pria tersebut berkata sembari mendekati istrinya.      

Aruna menelan salivanya, "Kau hanya merasa malas??"      

"Iya," ada mata melebar mendengar jawaban ini.      

"Apa kau tak merasakan sedikit saja rasa malu??" suara terdengar keheranan.     

"Buat apa aku malu. Aku tidur memeluk istriku," dia yang bicara tersenyum manis, menyuguhkan lesung pipi indah.      

"Oh' ya, Tuhan! Mengapa aku mendapatkan suami senarsis ini?" Aruna bangkit dari duduknya, salah satu tangannya memegang kepala.     

Baru saja dia mencoba menetralkan hati dengan menghirup nafas dan menghembuskannya perlahan-lahan, sayang sekali langkah kakinya yang hati-hati kembali menginjak sebuah benda, kain hitam robek. Aruna tak kuasa lagi, dia memungut benda tersebut sambil mengangkatnya. Ibu hamil ini akhirnya habis kesabaran.      

"Kau tahu apa ini??" matanya melotot, menatap lelaki yang saat ini menyajikan deretan gigi rapi.      

"Celana dalammu. Hehe.. robek," jawabnya ringan tanpa dosa.      

"Huuh.. Hendra! Aku yakin yang menyiapkan meja makan itu bukan satu atau dua orang saja! Dan kau, Aargh!" Aruna menggeleng kepala berulang, "Kau biarkan celana dalam ku yang robek, menjadi tontonan mereka? Lihat! lihat kelakuanmu. Kamu benar-benar!!," kamar mereka dalam kondisi memalukan, tak ada yang dapat memungkiri kenyataan tersebut.      

"Dasar! manusia tak punya pusar," sarkas untuk mereka yang tak memiliki rasa malu.      

"Aku punya, nih!" mata biru menundukkan kepalanya menarik kaos putih yang membungkus tubuhnya, mempertontonkan pusarnya. Tak sadar sarkas sang istri.      

Perempuan di hadapannya hanya bisa meremas kain robek di tangannya dan masih dengan ekspresi kesal, Aruna melangkahkan kaki menuju kamar mandi.      

"Tenang sayang, setelah ini aku rapikan" dia yang tadinya berdiri kebingungan detik ini mencondongkan tubuhnya, meraih kursi yang tergeletak.      

"Sudah lah! Percuma, " jawabnya dengan nada kesal.      

"lihat, setelah kamu mandi semuanya akan rapi"      

"Panggil saja housekeeping. Aku yakin para pekerja di hotel ini sudah menjadikan kita bahan obrolan mereka," dari lorong kamar mandi Aruna menggerutu.      

"Aku malah senang mereka membicarakan malam kita," dia yang bersih-bersih menggerutu lirih, "Minimal aku tak lagi dituduh suka sesama jenis, hehe" Pria ini terkekeh, memungut kertas yang diselipkan seorang penata meja makan pada vas bunga yang menjadi centre meja indah tersebut.      

'Selamat menikmati pagi anda Presiden Djoyo Makmur Group. Mahendra Djoyodiningrat beserta istri'      

"Hehe," dari bibir merah yang berpadu dengan lesung pipi menawan lagi-lagi terdengar tawa kecil. Ternyata pria tersebut dengan sengaja menunjukkan malam hangatnya bersama sang istri pada sekelompok karyawan Djoyo Rizt Hotel Surabaya, demi balas dendam isu salah kaprah terkait masa lalunya yang dikabarkan sebagai pasangan sesama jenis bersama surya. balas dendamnya cukup menggelikan.      

"Mudah sekali aku dikenali," Mahendra membuang kertas ucapan tersebut ke dalam tong sampah kecil di sudut ruangan, supaya istrinya tak sadar keduanya sudah dikenali     

.     

.     

[Herry, siapkan mobil jeep terbaik. Bilang manajer hotel ini aku menginginkannya,] pesan Mahendra pada ajudannya.      

[Oke tuan]      

Beberapa saat kemudian.      

[Tuan, bukankah nona menginginkan cara berbeda untuk sampai ke Bromo?] pesan Herry coba mengingatkan Hendra.      

[Aku sedang menyusun ide supaya rencana gilanya gagal, tapi kepalaku masih buntu,] rupanya lelaki bermata biru masih enggan menuruti kemauan istrinya.      

[Oke, semoga otak anda encer tuan] ada dahi berkerut membaca pesan ini.      

[Apa maksudmu??]     

[Oh' saya menyemangati anda] kilah Herry.      

[Jangan sekedar menyemangati, bantu aku!] Hendra menatap pesan Herry dengan ekspresi kesal, [Satu lagi, otak ku layaknya sungai di bawah air terjun pegunungan. Sungai berarus deras, jernih dan tak mungkin buntu, aku encer! (Emoticon api)]      

Ping pung, handphone Mahendra berbunyi lagi, 1 pesan dari Herry. Giliran di buka, layar telepon pintar tersebut menyajikan stiker tanda tanya dari ajudannya. "Hais! beraninya kau!!"      

***     

"Baiklah, baik!" pria itu tak tahan juga di diamkan. Si pemarah kali ini tak meledak-ledak akan tetapi ekspresinya jelas dia sedang marah.      

Mobil yang membawa gadis berambut hitam kini melintasi jembatan panjang. Secara menakjubkan langit-langit mobil terbuka perlahan-lahan.     

Dia yang awalnya menunjukan raut wajah kesal berubah berbinar. Angin malam menuju dini hari demikian dingin dan menyegarkan.      

"Kau sudah senang?" sindir Thomas "Bersihkan dulu bekas ingusmu!" lelaki tersebut menunjukkan letak tisu di tengah-tengah mereka, dan gadis tersebut lekas meraihnya.      

"Mana mungkin mobil semewah ini dimiliki seorang sopir!?" tuduh Kihrani.     

"Oh' mobil ini adalah milik keluarga Djoyodiningrat," konfirmasi Tom      

Kihrani tampaknya tak lagi berminat mendengarkan pria yang nampaknya tak ingin diketahui jati dirinya.     

Gadis tersebut tak acuh, menyandarkan wajahnya pada pintu mobil terbuka. Membiarkan rambutnya diterpa angin malam dan hal tersebut terasa luar biasa.      

"Em, aku juga punya mobil sejenis ini," Thomas sengaja menaikan sedikit volumenya.      

"Wah, keren" jawaban standar.      

Thomas melirik sekilas Kihrani lalu fokus kembali pada jalanan malam, "Em, oke. Duduklah yang benar, aku akan menutup kembali atap mobil,"      

"Kenapa??" gadis berambut hitam pekat tersebut belum puas menikmati angin malam yang membelai surainya.      

"Sebab aku akan menceritakan siapa diriku sebelumnya, masih tertarik?" sorot mata Tom sempat kembali berpindah dari jalanan ke gadis di sampingnya.      

"Lumayan," jawaban singkat tersebut terdengar kurang menyenangkan bagi Tom.     

"Sebelum itu, aku punya permintaan," mereka sempat bertemu mata "Tidak sulit, hanya menjawab sebuah pertanyaan," lanjut Tom.      

"Boleh,"      

"Menurutmu, bagaimana bisa gadis pemarah menangis ketika menonton teater?" pertanyaan ini sungguh menggelitik, menjadikan wajah gadis di samping Tom merah padam sebab malu.      

"Aku menangisi pilihan bodoh, Cik Sima," ujar Kihrani, menghembuskan nafas lelah.      

Ada dahi berkerut mendengar nama tersebut, "Cik Sima??"      

"Ibu yang bodoh," Kihrani mencoba menjelaskan maksudnya.      

"Kamu terlalu kasar. Gunakan kata yang bijak, jangan bodoh!" Tom membenarkan. Menasehati gadis yang tengah memandang jalanan malam.      

Secara spontan Kihrani memandang wajah Tom, "Itu lebih baik, dari pada aku menggunakan kata tolol, dungu??" suaranya kembali ketus.      

"Hais' kau ini," Tom sempat mendesis menghadapi gaya bebas Kihrani, "Tapi dia sangat menyesal, kan?" imbuh lelaki tersebut.      

"Penyesalannya cukup dalam, jatuh sakit dan mati. Aku menangisi penyesalannya, dan kuyakin 'orang itu' akan mengalami hal yang sama," ucapan Kihrani terdengar ambigu, "Maka dari itu, aku dan adik-adikku tak boleh menyerah dan mati dengan mudah. Sesulit apa pun keadaan kami," mata gadis tersebut berkaca-kaca, sesaat kemudian tangannya meraih tisu.      

Tom melirik sekilas Kihrani, "Jujur aku tidak paham, 'orang itu'? Em, siapa?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.