Ciuman Pertama Aruna

III-283. Hidup Kadang Senista Itu



III-283. Hidup Kadang Senista Itu

0Tom melirik sekilas Kihrani, "Jujur aku tidak paham, 'orang itu'? Em, siapa?"     
0

Kihrani terlihat menghapus air matanya yang tak bisa diajak kompromi, sangat menyebalkan.      

Ada perasaan tak jenak melihat gadis tersebut kembali menangis, "Maaf, lupakan pertanyaanku. Jadi sebenarnya aku dulunya"     

"Ibuku, 'orang itu' adalah ibuku. Dia tidak meninggal tapi Ricky dan Lala tidak tahu. Dia masih hidup dan baik-baik saja," Kihrani meraih tisu untuk kedua kali, "Ah' aku seharusnya tidak menangis untuk orang bodoh yang meninggalkan kami," gadis tersebut menggerutu masih sambil menghapus air matanya.      

Hening sesaat.      

"Pernahkah kamu membayangkan seorang ibu dengan pemikirannya sendiri membuat keputusan besar? Seperti Cik Sima. Hanya karena pangeran sabrang menginginkan putri bungsu yang artinya tak sesuai adat sebab tidak melamar putri sulungnya, sampai mendatangkan kesalahpahaman fatal. Andai dia pernah bertanya pada Mayang sari, apakah putrinya mau pada pangeran atau tidak? Bagaimana kalau seandainya Mayang sari dan kakaknya tidak mempermasalahkan pernikahan tersebut?. Ah' otakku memang liar," monolog Kihrani mengharuskan kepala Tom bekerja keras.      

"Dia menyembunyikan ketujuh putrinya dalam gua dan melupakannya," tambah Tom.      

"Ya! Pada akhirnya lupa tujuan awal. Cik Sima bertempur habis-habisan demi melindungi putrinya, padahal kenyataannya dia melupakan anak-anaknya," Kihrani mengucapkan kalimat tersebut dengan nada dalam. Penuh penekanan akan makna yang tersembunyi.      

Tom seolah merasakan keterpukulan itu, ketika Kihrani buru-buru membuka jendela dan membiarkan wajah serta bulir matanya diterpa angin malam.      

Walaupun tidak mengatakannya secara langsung, tersirat jelas ibu Kihrani meninggal kan dia dan adik-adiknya secara sengaja.      

"Saat aku atau adik-adik ku sangat merindukannya, aku membawa mereka menonton teater tersebut lalu dengan bangganya kukatakan pada mereka: kita tidak akan mati dengan mudah seperti Putri tujuh, bukankah itu sangat konyol?"     

"Tidak! Sama sekali tidak," pada caranya mengendarai mobil beberapa kali Tom memalingkan wajahnya pada gadis di kursi penumpang. "Aku pernah menangisi hal Yang sama,"      

"Kamu menangisi ibumu?" Khirani membalik tubuhnya dia menatap tom tak percaya, lelaki di hadapannya terlihat hidup dengan baik dan berasal dari status ekonomi yang bagus.      

"Entah lah, siapa yang aku tangisi aku bahkan tidak tahu,"      

Mendengar pernyataan tom Kihrani menautkan kedua alisnya, gadis tersebut tidak mengerti apa maksud Thomas.      

"Kau bingung, kan?" Sama, aku juga bingung," dia yang bicara menoleh sesaat kepada Kihrani. "Sebab aku tak pernah mengenal orang tuaku, aku menangis karena waktu itu aku iri dengan anak lain, kamu masih sangat beruntung," Tom menghibur gadis itu. Demikianlah niat awalnya. Akan tetapi, sepertinya yang terjadi berbeda. Kedua telapak tangan Kihrani terangkat menutup mulutnya.      

Gadis tersebut terkejut.      

"Apakah benar yang kau katakan?" Ujar Kihrani. Bukan terhibur dia terkejut bercampur haru.      

"Ya.."     

"Bagaimana kamu bisa.. sesukses itu? E.. Maksudku.. bahkan tidak ada orang tua yang mendukungmu. aku yakin kamu pria yang cukup sukses dengan rumah mewahmu. Atau jam tanganmu yang harganya fantastis," gadis tersebut di balut ketidak percayaan. Mendengar kejujuran Tom.      

Mobil mereka terus melaju menembus udara dingin dini hari. Tatkala pengemudinya menyuguhkan senyum kecil pada raut wajahnya yang tenang.      

"Ah' itu bukan sesuatu yang luar biasa, Aku tidak sendirian, beberapa temanku sama denganku, sejak kecil, bahkan beberapa hari setelah kami lahir, kami tinggal di lembaga kesejahteraan anak dan tumbuh menjadi diriku yang sekarang," intonasi Tom ringan.      

"Wah.. hebat! Bagiku itu sangat hebat, bukankah kamu juga kuliah di luar, -juga?" Gadis tersebut terdengar sangat bersemangat, sepertinya ia menemukan seseorang roh models / spirit models.     

"Iya, sejujurnya sebagian besar bantuan tetua," ungkap Tom      

"Tetua?" Kihrani sempat mendengar kata tersebut.      

"Tetua Wiryo, lelaki di atas kursi roda,"      

"Oh.. pria yang menakutkan itu," kihrani menganggukkan kepalanya.      

"Sebenarnya tetua orang baik, hanya sedikit keras kepala karena sudah tua," volume suara Tom sengaja dibuat serendah mungkin saat mengkritik tetua Wiryo. Membuat keduanya tertawa.      

"Jadi siapa dirimu?" sebelum sopir?" Kihrani mengingatkan janji Tom, sebab ia sudah menjawab pertanyaan lelaki tersebut.      

"Tunggu masih ada satu pertanyaan lagi,"     

"Apalagi?!"      

"Tahan emosi.." Tom sempat mengumbar tawa kecilnya, "bagaimana dengan pangeran Empang Kuala?"      

"Apa??.. masih tentang teater?" kihrani sempat terheran-heran, gadis tersebut mengangkat bahunya. Tak percaya dengan pertanyaan Tom.      

"Dengarkan dulu," wajah tom tertangkap serius,  "Apakah kamu tidak kecewa dengan pangeran Empang Kuala. Lelaki itu pergi begitu saja setelah ditakut-takuti Cik Sima? -cik Sima meminta bantuan jin untuk mengghanggu pangeran Empang Kuala beserta bala tentara-nya, cik Sima juga mengirim seorang utusan selepas keanehan yang terjadi di kubu pangeran, meminta pangeran Empang Kuala pergi dari Dumai-      

"Tidak.. sama sekali tidak, aku yakin pangeran Empang Kuala merenungi banyak hal. Sebelum dia menanggalkan keinginannya," jawab Kihrani.      

"Bukankah seharusnya dia tetap memperjuangkan Mayang sari? Apakah dia tidak terlihat pengecut sebab berhenti mengejar gadis yang dia cintai?" Pertanyaan-pertanyaan Tom sedikit membingungkan. Akan tetapi ada benarnya juga.      

"Kadang kala pilihan semacam itu tak masalah, buat apa jatuh bangun mempertahankan perasaan kita kepada seseorang, kalau hal itu bisa menimbulkan banyak korban, lebih baik membuat keputusan masuk akal seperti Empang Kuala,"     

Kihrani menghirup nafas dalam, "andai dia menghentikan perang sebelum tiga bulan, coba bayangkan. gadisnya bisa terselamatkan," perempuan yang detik ini membernarkan ikatan rambutnya, memberi jeda pada monolognya, "hidup kadang senista itu.. hahaha.." lawan bicara Tom menertawakan keadaan. Entah keadaan yang bagaimana.      

"Aku suka jawabanmu," Tom mempercepat laju mobil mereka.      

"Dulu aku sama dengan Vian, Pradita dan yang lain, memimpin divisi khusus di lantai bawah tanah, yang kamu datangi. Tugasku menganalisis perusahaan pesaing, kadangkala juru bicara, atau menyelidiki calon kolega bisnis keluarga Djoyodiningrat," Thomas membuka dirinya.      

"Oh'," hanya anggukan yang melambangkan tanggapan kihrani.      

"Apa kamu tidak berniat bertanya, seperti apa rencanaku kedepan?" Tom unik.      

"Harus ya..??"      

"Harus!"      

"Baik, apa rencana Thomas kedepan??" Gadis ini bertanya sesuai arahan. Cukup menggelitik.      

"Aku akan menjadi pangeran Empang Kuala," jawab Tom.     

"Hah! Apa??"      

"Haha," tertawa nyaring mendengar suara kihrani yang terkejut.      

Mobil yang mereka tumpangi telah memasuki perkampungan dekat sungai besar.      

"Ki.. em.. sepertinya Aku akan pergi ke Milan,"      

"Milan?" kihrani mengingat-ngingat, dimana kota Milan? Pelajaran sekolah dasar yang ia lupakan.      

"Kapan?"      

"Bisa jadi besok,"      

"Kenapa secepat itu?" Mendapat tatapan Tom, gadis tersebut lekas meralat kalimatnya, "aku tahu bukan hakku bertanya seperti itu.. tapi bukankah kamu baru saja bebas,"      

"Ya. aku sendiri tidak yakin seratus persen, Apakah keputusanku benar," tom memutar kemudi, memasuki jalanan sempit menuju arah rumah kihrani.      

"Aku tidak tahu aku harus senang atau sedih.. aku.. em.. semoga kamu selalu bahagia dan sehat," kihrani mengumbar senyum tipis di wajahnya.      

"Kamu juga.." Tom menghentikan laju mobilnya. Keduanya sempat saling memandangi satu sama lain. Terhenyak matap mobil lain di depan rumah Kihrani. Mobil berwarna biru mengkilap terparkir sebelum kedatangan mereka.      

"Vian?" Tom mengenali si biru metalik, yang detik ini dia sentuh untuk di amati.     

"Cih! Dia lagi!" Kihrani lekas memacu langkahnya.      

Belum sempat gadis tersebut menyentuhkan kakinya pada lantai rumah sederhana, Lelaki bermata sendu itu sudah berdiri di hadapan Kihrani, "Apa kau tak punya Otak! Jam berapa ini!" Bentak Vian.      

"Kakak.."     

"Kiki.."     

"Sesibuk apa kau sampai panggilan adik dan bapakmu tidak kamu angkat?!" pekikan Vian demikian tajam.     

"Aku yang salah.. aku yang..      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.