Ciuman Pertama Aruna

III-291. Ada Celcius Diantara Kita



III-291. Ada Celcius Diantara Kita

0Sang pria lekas tersenyum bangga dapat mencuri perhatian istrinya. Dia meletakkan gelas berisikan es teh manis dengan semangat.      
0

"Jadi begini," senyum tipis menggantung di bibir Mahendra dan lelaki itu mengerti, dia perlu berhati-hati kali ini. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir atau sampai malam nanti, dirinya bakal diabaikan oleh istrinya.      

"Sistem Satuan Internasional. Apakah kamu pernah mendengar istilah tersebut?" alis Aruna hampir menyatu. Jelas dia pernah mendengarnya, tapi sepertinya istilah tersebut identik dengan materi pembelajaran sekolah yang sama sekali tidak dia minati.      

"Sederhananya adalah kesepakatan secara internasional dalam mengistilahkan sebuah ukuran. Contoh sederhana. dulu, beras dari nasi yang kamu makan-" Hendra menunjuk nasi putih hangat yang tersisa setengah bagian pada piring Aruna.     

"Orang lama menakar -nya dengan genggaman, segenggam beras, secangkir beras. Masalahnya, andai yang digunakan menggenggam adalah tangan mungilmu," lelaki tersebut meraih tangan kiri istrinya yang bersih dari makanan, sesaat matanya mengamati tangan mungil tersebut. Jemarinya yang besar sempat menyentuh lukisan garis tangan perempuan yang tengah menatap dirinya, "Kasihan sekali penerima beras dari tangan ini."     

Dia yang bicara membuka telapak tangan perempuan yang sedang di redakan kemarahannya. Menyandingkan telapak tangan besar miliknya dengan telapak tangan mungil bak bayi, "Yang mendapatkan genggaman beras dari ku pasti lebih beruntung,"      

Di hadapan mereka, ada pemuda yang pipinya memerah tanpa alasan. Herry terkesima, atau lebih tepatnya malu dengan dirinya sendiri yang semula sempat menghina tuannya. Kadang kala otak kiri kalau sudah membual, berkali-kali lipat tampak keren.      

Benak Herry sempat membayangkan, bagaimana kalau dia merubah bahan bacaannya dari membaca novel romance menjadi bacaan non fiksi ilmiah, misalnya Einstein: His Life and Universe" oleh Walter Isaacson, atau "Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies" oleh Nick Bostrom, buku-buku yang sering ditemukan berserakan pada mobil yang membawa tuannya.      

Herry mengembangkan senyuman di bibirnya dan rona pipi memerah tanpa sengaja.      

"Sama dengan suhu" Hendra mendorong es teh manis hingga menyentuh ujung jemari istrinya, "Dingin, -kan?" pertanyaan lelaki bermata biru sejalan dengan tatapan hangatnya.     

Mulut aruna masih menutup, tetap bergeming. Tak ada yang tahu isi hati perempuan tersebut mengiyakan ucapan suaminya.     

"Bagaimana cara orang lain mengerti sedingin apa es ini? Andai tak ditemukan standar pengukuran yang mampu dipahami oleh semua orang. Bisa jadi kamu tak bisa menceritakan rasa dingin es di gelasmu padaku, andai tak ada celcius di antara kita," si otak kiri tengah memamerkan kinerja isi kepalanya yang seperti sungai di bawah air terjun, jernih dan berarus deras. Cemerlang.      

Perempuan di samping Mahendra mengangguk. Mendapati hal tersebut, lelaki dengan iris mata biru demikian girang terlihat dari nyala matanya dan lesung pipi yang menggores wajahnya.      

"Sayang sekali, rasa cinta belum ditemukan alat pengukurnya" Ada jeda sejenak, memperhatikan perempuannya, "Andaikan sama seperti suhu yang secara mikroskopis dapat diukur dari getaran atom di dalam suatu benda, kian tingginya energi yang dihasilkan dari getaran atom-atom penyusun benda, makin tinggi pula suhu benda tersebut,"      

Dia yang bicara menautkan jemarinya dengan jari-jari mungil istrinya. Gigi rapinya tersaji. Mata birunya yang cemerlang menyapa ramah, "Pasti detik ini derajat cinta yang ada di dalam hatiku untuk istriku, berada di level tertinggi,"      

Aruna yang tengah menatap Mahendra -yang sedari tadi menggenggam jemarinya-, memerah seketika.     

Perempuan tersebut menggigit bibir bagian bawah, menahan diri supaya tidak tersenyum secara berlebih sebab, detik ini dia dibuat berbunga-bunga oleh gombalan panjang lebar yang menjadikan neuron di kepalanya bekerja keras.      

"Aku, em' sangat mencintai istriku, walaupun kadang suka ngamuk,"      

Mendengarkan kalimat tersebut ada mata melebar dari wajah sang ajudan.      

"Tapi dia tetap paling cantik," sambung Mahendra cepat, bahkan lesung pipinya masih bertengger manis.      

Herry sebagai pengamat ikut gemas, mengiris-iris ikan di atas piringnya sampai hancur.      

Sama seperti Herry yang secara tak sadar ikut gemas. Aruna yang berbunga-bunga memukul lengan lelaki yang jemarinya menggelitik telapak tangan istrinya.      

Pukulan pertama menggunakan siku, tampak manis sekaligus menggelikan. Pada pukulan kedua, secara mengejutkan, "Ah' aargh!!" Mahendra memekik, sontak mengejutkan seluruh penghuni warung.      

Aruna membulatkan matanya kebingungan.      

"Tanganmu! Ah' tanganmu," suara Mahendra, tengah heboh, "Tanganmu, bau ikan!!" Aruna baru sadar ia menggunakan telapak tangan kanannya untuk menepuk lengan suaminya.      

Lelaki tersebut berdiri heboh, meraih kumpulan tisu dan mengusap-usapkannya pada lengan.     

Pemilik warung. perempuan berlipstik menor, -merah tajam- dengan alis yang dilukis menggunakan pensil hitam, bentuknya menukik di ujung. teramati berjalan mendekati meja pria heboh tersebut.     

Satu baskom air terdampar dengan kasar di atas meja, sampai airnya muncrat ke udara dan membasahi sekitar wadah tersebut. Mata bersorot tajam itu menghentikan Hendra yang tengah mengacak-acak suasana makan di warungnya, termasuk tisu berserakan di seputar meja mereka.      

Perempuan di sampingnya tampak menepuk jidatnya sendiri, merasa rugi terkesima dengan pria takut kotor tersebut. Berbeda dengan sang ajudan yang buru-buru membantu tuannya dengan melumuri lengan bau ikan pari menggunakan air dari wadah baskom.      

Ketiganya keluar dari warung tepian jalan tersebut dengan terpaksa. Bahkan makanan Aruna dan Herry belum benar-benar habis, akan tetapi keduanya terlanjur malu oleh ulah Mahendra. Perempuan hamil tersebut bahkan perlu menambahkan tips supaya pemilik warung berkenan menyapa.      

Perjalan mereka menjadi hening, walaupun tuan muda Djoyodiningrat diizinkan duduk pada kursi penumpang bagian belakang.      

***     

Perempuan pembawa berkas yang diinginkan tetua telah sampai di meja makan. Benda tersebut diletakkan tepat di antara kemarahan ibunya dan tetua Wiryo.      

Madam Graziella dan lelaki paruh baya yang terlihat begitu menakutkan dalam ketenangan, meraba berkas tersebut.      

Selepas itu dengan gerakan lambat penuh kehati-hatian, kakek Djoyodiningrat tersebut mengeluarkan kumpulan foto cetak.      

Suaranya yang berat menggema memanggil pelayan, meminta supaya piring sajinya lekas dirapikan.     

Tak butuh waktu lama, foto-foto yang membuat semua orang bakal merinding ketika melihatnya dilempar satu per satu di hadapannya.      

Graziella terduduk seketika.     

"Ini?" dia yang bicara seolah tak sanggup melanjutkan ucapannya.      

Graziella meraih foto-foto tersebut, gambar tempat kejadian perkara yang dikumpulkan oleh ajudan dan para polisi kala menjalankan tugasnya.      

"Dia mengandung bayi ketika tubuhnya mengucurkan darah sebanyak itu," suaranya berat penuh penekanan, menahan amarah yang membuncah kala mengingat kejadian naas tersebut.      

Graziella menangkap mata wiryo dan meletakkan foto-foto tersebut, setelah menyadari kemana arah pembicaraan pria paruh baya itu.      

"Andai bukan karena Hendra ingin menghabisi Anna, aku tak akan mengirimkannya padamu! Akan aku buat dia usang di bawah tanah!" suara Wiryo mendesah kaku. Menggelisahkan bagi pendengarnya.      

Kedua perempuan disana membeku seketika.      

"Aku mau jujur padamu, Anna hilang dari klinik Diana," suara Wiryo kembali terdengar, beliau memunguti foto dengan gerak lambat. Wajahnya terkesan muram secara berangsur-angsur, "Kembalilah ke Milan. Akan kucari putrimu, dan kupastikan dia bakal menyusulmu ketika aku sudah bisa menemukannya,"      

Air mata Graziella tak dapat lagi dibendung, perempuan tersebut mendapatkan tisu dari putrinya, Leo.      

"Ini, salahku. Dia menderita karena aku, bahkan berani bertindak sejauh ini," sang ibu menangisi keadaannya.      

"Aku yakin, Mahendra berada di balik semua kejadian ini," Leo menceletukkan tuduhan di tengah keheningan.      

"Jangan bicara sembarangan!! Cucu ku tidak seburuk itu!" Sukma keluar dari persembunyian, tak terima nama Mahendra disangkut pautkan.      

"Ma, Mami," Gayatri turut menunjukkan diri dari sisi berbeda, menarik lengan oma Sukma. Berharap perempuan paruh baya tersebut lekas meninggalkan meja makan yang mengepul kan udara panas.      

"Apa kamu marah sebab putriku melukai menantumu?" suara Graziella melontarkan pertanyaan yang sudah sangat jelas apa jawabannya.      

"Kalau iya, kenapa?" Sukma menjawab tegas, menatap mata Graziella.      

"Mami cukup!      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.