Ciuman Pertama Aruna

III-299. Kumpulan Foto



III-299. Kumpulan Foto

0Perempuan mana yang tidak akan kalut ketika mengharapkan sang suami akan melewati liburan menyenangkan bersama-sama -mengunjungi tanah kelahiran yang telah lama tak dikunjungi, malah terkesan sebagai beban berat.     
0

Puncak khayalan Aruna adalah melihat senyum Mahendra sepanjang perjalanan sederhana dengan mengamati kehidupan dari sudut pandang berbeda, seperti layaknya minum air jernih kala kita sudah terlalu banyak meminum aneka rasa yang menjadikan lidah mati rasa.     

Mahendra mempunyai kehendak sendiri, menolak bus yang bisa jadi lebih cepat mencapai tujuan dari pada perjalanan menggunakan jeep yang tentu saja akan menjadi sayang ketika banyak tempat dilewatkan.     

Aruna marah, dan marahnya kali ini terkategorikan serius. Perempuan hangat yang jarang protes tersebut terdiam seribu bahasa, mendiamkan dua pria yang saling melirik merasa telah menumpahkan banyak dosa.     

"Apa aku pernah meminta banyak darimu?" pertanyaan Aruna selepas keheningan menghantam meja kedai yang menawarkan makanan berkuah menggugah selera.     

"Tidak, sekalipun tak pernah," dia yang bicara mengaduk kuah bakso dengan toping aneka ragam yang sudah hilang dari mangkuk bergambar ayam jago ekor merah. Awalnya terlihat antipati dan menolaknya, ternyata tuan muda ini paling cepat melenyapkan isi mangkuknya.     

"Kalau begitu, mengapa kamu menginginkan pulang cepat?" perempuan itu berujar dengan suara parau.     

"Ada banyak hal yang terjadi di rumah," Mahendra menjawab dengan jujur tanpa basa-basi. Orang ini to the point.     

"Kalau begitu, kamu pulang saja. Biar aku dan Herry melanjutkan perjalanan kita," Aruna menawarkan. Wajahnya terangkat menatap mata yang pupilnya melebar.     

Sebongkah batu besar terasa menghantam dada sang lelaki, "Aku tidak akan berkata pulang lagi, ini yang terakhir," Mahendra merogoh handphone dari dalam saku, menyerahkannya kepada sang istri.     

Benda elektronik tersebut tidak diterima Aruna. Perempuan hamil yang tengah memandang suaminya tersebut menggerakan dagunya, meminta Herry mengamankan smartphone tuannya.     

Dengan tenang ajudan tersebut memungut smartphone yang memiliki logo apel tergigit, dan menyelipkan benda tersebut pada sling bag yang menghiasi punggungnya sejak bertemu sang nona.      

"Kalau saya boleh bicara," si penurut yang jarang bicara ini akhirnya bersuara, "em.." dia jadi bingung setelah dua pasang mata mengamatinya sekaligus.     

"Apa? Jangan menggantungku!" pinta Aruna, sedikit jengkel menatap Herry.      

"Saya tahu nona pasti kecewa tapi ada banyak keputusan yang tak mampu diambil bawahan, kecuali atas persetujuan atasannya. Ah' maaf, saya tak pandai bicara. Saya hanya berharap nona bahagia selepas pergi dari kedai ini, dan kita semua.."     

Kalimat Herry yang begitu syahdu di telinga terpotong oleh getaran yang mampu mengguncang air di dalam gelas mereka masing-masing. Tak butuh waktu lama, sebuah kereta api melintas bersama udara yang berhembus menerpa seluruh benda termasuk wajah mereka.     

Spontan sebuah tangan terulur, mengambil selembar tisu. Aruna menutupi mangkok bakso suaminya dan melupakan dirinya sendiri.     

"Kan' punyaku sudah habis, buat apa kamu susah payah?" kalimat tak romantis kesekian kali yang diujarkan lelaki bermata biru di hari ini.      

Bukannya terima kasih, dia secara apa adanya melugaskan bahwa tindakan istrinya tak masuk akal.      

Herry mendesah, merasa rangkaian kalimat yang baru saja diujarkan untuk mendukung sang tuan muda menjadi sangat sia-sia.     

"Bagaimana aku mau berbaik sangka, Herry," Aruna dan pemuda yang namanya dipanggil melanjutkan makannya, membiarkan pria yang tak sadar atas kesalahannya.     

"Apa aku perlu membuat analogi tentang gerak relativitas dengan cinta?" Mahendra berujar dengan polos.      

"Tidak! tidak perlu lagi. Sudah, kamu diam saja sampai kami selesai makan," balas Aruna ketus, melirik lelaki bermata biru.      

Perempuan tersebut tak lagi mau dipusingkan dengan pernyataan aneh ala Mahendra seperti beberapa jam sebelumnya, yakni terkait Celsius, mikroskopis, atau getaran-getaran atom yang dapat dipastikan mengharuskan otak Aruna bekerja keras.     

"Padahal aku baru saja menemukan ide hebat," Mahendra membuat permohonan, daya pikirnya sedang berarus deras detik ini.     

"Herry, kamu sudah selesai makan?" Sang ajudan mengangguk menjawab pertanyaan nonanya, "Cepat bayar. Ayo sayang, kita lanjutkan perjalanan," tangannya bergerak meraih lengan Mahendra.     

Aruna membuat permintaan tersebut dengan tujuan yang sudah sangat jelas! Menghentikan arus deras, atau dia akan mendengarkan hukum momentum, relativitas, atau tentang konsep newton, aksi sama dengan reaksi. Dia terlalu pusing membayangkan suaminya berceloteh panjang dengan teori asing di pendengarannya.     

Dibalik semua kejadian yang mengiringi perjalanan mereka, sang ajudan yang berjalan di belakang langkah sepasang suami istri berkata lirih hanya untuk dirinya sendiri, "Tiga.."     

Sedikit konyol, dan tertangkap berseringai untuk diri sendiri. Herry menghitung banyaknya suami istri tersebut berselisih paham kemudian baikan, dan dapat dipastikan ketika mereka berbaikan keduanya seolah lupa bahwa beberapa menit sebelumnya mereka sempat bersitegang.     

Sialnya pasangan tersebut seolah merasa tak berdosa membiarkan Herry yang sibuk mengatur laju mobil menuju lereng-lereng pegunungan. harus mendengar suara cecapan mereka menautkan bibir satu sama lain.     

_Lain kali kalau mereka bertengkar, lihat saja! Aku tak akan peduli, sedikitpun tak mau peduli lagi!_ Herry mengutuk matanya yang tanpa sengaja menangkap kemesraan pasangan tak tahu diri lewat cermin di atas kepalanya. Bayangan pada spion tersebut memanggil dan menggodanya tanpa ampun.     

_Cih! Sial! sial!_ sang Ajudan merutuki kejombloannya.     

***     

"Dimana gadis itu sekarang?" kata tanya menggiring penghisap tembakau mematikan cerutunya. ditekan di atas asbak, dan nyala merah itu padam menjadi abu.     

"Di kamarku, di rumah kita," Jawab Gibran singkat.      

Sang penerima jawaban melempar sebuah kunci, dan lekas disambut Gibran. Alat yang terbuat dari logam untuk membuka ruangan di lantai tertinggi rumah Diningrat sempat membentur dada, kemudian tertangkap tangan.     

"Apakah ayah terlihat jahat di matamu?". Suara berat dari Rio menyapa.      

Gibran tidak menjawab apapun. Pria tersebut menundukan kepalanya pada sang ayah, -pertanda dia segera pergi.      

"Kau benar-benar tidak penasaran, kemana perginya ibumu?" kembali Rio melontarkan pertanyaan pada putra sulungnya.      

Gerakan Gibran terhenti. Dia yang membalik tubuhnya mendapati sang ayah sedang mengeluarkan sebatang cerutu, detik berikutnya menyalakan api untuk menyulut gulungan utuh dari tembakau yang dikeringkan dan difermentasikan tergambar.     

Penghisap tembakau yang telah berhasil menyita perhatian putranya, menarik laci meja yang berada di hadapannya. Tangan yang keluar dari kotak kecil tersebut memperlihatkan kumpulan foto, sempat diamati sekilas oleh penghisap cerutu.     

Bersama asap yang mengepul, foto tersebut dilempar satu persatu di atas meja.     

Gibran melangkahkan kakinya mendekati meja. Dia mendapati gambar perempuan yang tidak asing. Perempuan yang teramat di rindu, perempuan yang pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan, lenyap bak ditelan bumi.     

Tangannya meraih salah satu foto, dan benar ini gambar ibunya dengan aura dan wajah yang sama, bedanya perempuan di dalam gambar tersebut terlihat lebih berumur.     

"Dia yang menginginkan pergi dari rumah ini, bukan ayah yang mengusirnya," ujar Rio berikutnya. Lagi-lagi sebuah foto keluar dari dalam laci.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.