Ciuman Pertama Aruna

III-300. Perempuan Berbaju Putih



III-300. Perempuan Berbaju Putih

0"Dia yang menginginkan pergi dari rumah ini, bukan ayah yang mengusirnya," ujar Rio berikutnya. Lagi-lagi sebuah foto keluar dari dalam laci.     
0

"Sudah menikah. Memiliki keluarga baru," santai Rio berkata seolah tak memiliki beban sama sekali, "Haha, dia melanjutkan hidup dengan baik sesuai impiannya," bahkan tertawa nyaring tanpa peduli jemari putranya bergetar.     

"Kau tahu, selama pernikahan kami, ibumu berulang kali mengatakan ingin pergi dariku," lanjutnya.      

Gibran sama sekali tidak mengerti apa yang menyenangkan dari narasi tentang seorang istri yang tidak sanggup tinggal bersama suaminya. Rio selalu tersenyum tiap kali kata 'ibumu' keluar dari mulut penghisap cerutu bersama asap yang membumbung di tengah-tengah ruang ber-AC tersebut.     

"Jadi, percuma kamu mencurigai ayahmu sendiri dan berhasrat mencarinya," Rio selalu mendominasi percakapan, sedangkan putra sulungnya lebih banyak terdiam.     

"Apalagi berusaha menyelamatkan Gesang?? Ah'," ketukan cerutu pada asbak meninggalkan abu berjatuhan, "Haaah.." sekali lagi asap membumbung tinggi ke udara, keluar dari bibir penghisap tembakau "Kamu membuat ayahmu kecewa, nak!".     

"Sudah saya bilang, permintaan saya kali ini untuk yang pertama dan terakhir," mata hitam legamnya menatap lekat sang ayah.     

"Baik! Buktikan padaku kamu tak akan lagi menolak perintahku. Aku tak suka melihat mu berlagak layaknya malaikat, hidup terlalu sampah dengan menjadi malaikat" jawab Rio, menatap balik mata sang putra.     

"Apakah saya pernah menolak permintaan anda?" Gibran mengembalikan pernyataannya sang ayah.     

"Ya, ya," dia mengangguk-angguk.     

"Maaf," ucap Gibran, bergerak mendekat memunguti foto ibunya, "Terima kasih sekali lagi, anda sudah memenuhi semua permintaan saya, ayah," gambar yang terkumpul di telapak tangannya, diselipkan pada jas yang masih membungkus tubuh pemilik mata hitam legam.      

Dia mundur, bergerak menuju pintu, "Aku tidak mau tahu! Jangan sampai kamu terlihat jauh di bawah cucu Wiryo, tidak ada alasan lagi! Cepat menikah dan punya keturunan!" Rio berseru sebelum pintu ruangan tertutup.     

.     

.     

Dia yang mendapatkan kunci sebuah ruangan dengan ukuran tak wajar -yang berada di lantai paling atas keluarga Diningrat-, bergegas menaiki tiap-tiap anak tangga. Mengabaikan siapapun yang menyapanya, bahkan adik perempuan yang biasanya dimanja juga terabaikan.     

Gibran sangat penasaran, akankah dugaannya benar bahwa di dalam ruangan tersebut ada seorang tahanan.      

Pelayan paling tua yang diam-diam bertugas mengantar makan berhasil di desak oleh Gibran. Asisten tak berdaya itu mengungkap sebuah rahasia mencengangkan selepas tuan muda keluarga ini mulai mengorek-ngorek luka lama yang menjadikan keluarganya carut marut atau sengaja dibuat berantakan oleh ayahnya.     

Terlalu banyak spekulasi yang terjadi tentang ibunya, -yang ternyata seorang putri tunggal dari pemilik saham salah satu perusahan ternama. Perusahan yang kini menjadi milik Tarantula, dan bergerak di bidang konstruksi terhebat di jamannya. Atau ibu Gesang yang dikabarkan masih hidup dan sebenarnya tak pernah meninggalkan rumah ini.     

Pertengkaran dengan adiknya beberapa hari sebelumnya menyulut Gibran mengerahkan anak buahnya untuk menyelidiki masa lalu mereka. Sejalan dengan terbongkarnya keberadaan Syakila bersama Gesang yang ternyata di lindungi oleh keluarga Djoyodiningrat, termasuk ikatan sepasang pemuda-pemudi tersebut yang selama ini ditutup-tutupi.     

Semua kepelikan tersebut menjadi peluang barter yang ampuh oleh Gibran. Sang bungsu dilanda rasa penasaran yang selama ini sekedar dia pendam. Pembuktian segala spekulasi dari cerita-cerita lama yang hasdir di meja kerjanya akan berakhir, atau malah dimulai dari kunci yang detik ini dia genggam.     

.     

.     

Gibran menuju pintu sebuah ruangan di lantai teratas, sebuah tempat yang tak mengizinkan dirinya dan adik-adiknya menapakan kaki disana.     

Langkah pantofel menyapa lantai menggema, kesunyian menjadikannya kian nyaring terdengar. Gibran semakin yakin bagian ruangan ini benar-benar kosong, akan tetapi benaknya menolak itu semua.     

Pertengkaran siang tadi dengan Gesang akan jadi sia-sia, andai di lantai ini tidak ditemukan siapapun.     

Dia yang telah mencapai pintu, berdiri membeku. Sebuah benda persegi berwarna putih dan berhandle perak berhasil memacu adrenalin-nya. Detak jantungnya tak bisa dikendalikan. Tangannya bergerak menyusupkan kunci pada wadahnya, memutar dua kali sampai bunyi 'klik' terdengar.     

Menghirup udara di sekitar dalam-dalam, detik berikutnya dada membusung tersebut dikosongkan sebelum langkah kakinya memasuki ruangan super besar yang tentu saja menyajikan ranjang tidur mewah, susunan sofa, televisi mati, serta kursi yang tersungkur sendirian di dekat jendela.     

Detik itu juga jantung Gibran seakan terhenti. Kursi coklat yang tersungkur sendirian sesungguhnya di duduki seorang perempuan berpakaian putih menjulur sampai lutut, menatap panorama dari celah jendela. Dia tidak menoleh, apalagi menyapa. Seperti tak berminat dengan kedatangan seseorang, termasuk pemuda asing yang tengah menatapnya.     

"Kau mengantarkan makan?" suaranya terdengar lirih, hampir tak dapat ditangkap indera pendengar "Letakkan saja," tanpa menunggu jawaban, ia kembali berujar.      

"Saya tidak membawa makanan, saya membawa kebebasan," sebelum kalimat asing Gibran usai diucapkan, perempuan itu sudah menoleh dan menatapnya lekat-lekat.     

Perempuan tersebut berdiri, menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua telapak tangannya sekaligus.     

Detik berikutnya dia yang terlihat memiliki rambut halus bergelombang panjang, dan dibiarkan berkibar -sebab pemiliknya berlari memeluk Gibran-, bersuara, "Kau datang? Akhirnya kau datang nak, ibu.." mata memerah dan perlahan zat cair memenuhi dua indera penglihatannya.     

"Aku menunggumu, aku hampir tak sanggup menunggumu.." air mata itu mengalir, berkebalikan dengan kesan pertama yang sempat tertangkap dari perempuan tersebut, dia awalnya acuh tak acuh.     

Gibran membiarkan perempuan tersebut mendekapnya erat-erat, bahkan tanda sayang acap kali mendarat di pipi pria tersebut.     

Selepas semua ungkapan syukur yang ditunjukkan perempuan berbaju putih di tumpahkan sepuas-puasnya, baru lah putra sulung Rio membuka kata.     

"Ibu, ah' Mama.." suara Gibran tersekat.     

"Tak masalah, panggil apa saja.." suaranya bergetar, mengusap sayang pipi lelaki di hadapannya.      

Gibran menelan seluruh cairan di rongga mulutnya guna membasahi tenggorokannya yang kosong, berat menjelaskan kenyataan dan kejujuran, "Saya bukan Gesang,"     

Spontan dia yang mendapat penjelasan mundur sekian langkah dan menatap awas, lalu memekik, "Pergi kau!" dan perempuan berbaju putih itu melenggang menuju kursi yang berada di hadapan jendela.     

"Walaupun saya bukan Gesang, saya bisa mempertemukan anda dengan dia" perempuan yang mendengarkan pernyataan Gibran membeku seketika.     

"Mulai hari ini, anda sudah bebas," kembali Gibran bersuara, menjelaskan dengan lembut dan berhati-hati.     

"Siapa kau?" suara perempuan tersebut menjadi dingin.     

"Tidak penting siapa saya, kalau anda ingin terbebas dari ruangan ini. Saya akan menemui anda nanti malam, ketika nenek tidur (Clara). Saya akan memastikan anda bisa menemui Gesang, dan menghirup udara kebebasan," masih dengan nada hati-hati Gibran memberi penawaran.     

"Mengapa kamu membantuku?" perempuan itu tak mau salah langkah. Sudah tak terhitung cara dia berusaha membebaskan diri dan berakhir sia-sia.     

"Gesang berkorban sesuatu yang luar biasa penting baginya, maka dari itu saya ingin membalasnya dengan kebebasan anda. Mengetahui anda masih ada, saya yakin ia bisa memahami pilihan saya,"     

_membebaskan ibu yang dikira meninggal, dan merelakan Syakila bersamaku. Tak ada pilihan yang lebih baik dari semua pilihan yang ada, selain ini_ lanjut Gibran dalam benaknya.      

"Kau yakin aku bisa bebas dari tempat dan orang terkutuk itu?" kembali perempuan tersebut bertanya.      

"Rio yang memberi saya kunci. Dia tidak akan menyekap anda kembali, asal anda tak tertangkap. Kami sudah membuat kesepakatan," jelas Gibran.     

.     

.     

"Ikuti saya, sebentar, sebentar.." langkah kaki menuruni tangga kembali naik ke atas, "Ibu, berlarilah sekarang!" dan dia menurut perintah putra sulung Rio, mengendap-endap di malam hari, lalu berlari layaknya makhluk pencuri keju.     

.     

Beruntungnya putra sulung Rio bertanggung jawab sampai akhir. menyiapkan mobil dan sebuah kamar hotel untuk tinggal sementara, menghabiskan malam sebelum menemui putranya.      

"Ada apa?" Aruna bertanya. Jeep mereka tiba-tiba terhenti.     

Selepas pelukan sang istri terlepas, Mahendra juga menyuarakan pertanyaan "Herry, apa ada masalah dengan mesinnya??" ujarnya setelah mendengar mobil jeep mati tersebut dicoba berulang kali untuk dinyalakan oleh sang ajudan.     

***     

"Tuan, kali ini bukan aku sendiri yang mengalami kesialan," kata Herry menoleh pada pasangan suami istri.     

"Maksudmu?" balas Mahendra.     

"Kita bertiga sedang sial," pernyataan Herry membuahkan kerutan pada dahi pasangan suami istri tersebut.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.