Ciuman Pertama Aruna

III-305. Suku Tengger, Gunung Bromo



III-305. Suku Tengger, Gunung Bromo

0"Aku tidak ingin melihat yang seperti ini lagi, selama menikahi cucu kita, putri lesmana sudah mengorbankan banyak hal. Kamu tak boleh melupakan itu," sepertinya gejolak hati sukma ikut tumpah bersama catatan mantu cucunya, -Aruna-.     
0

"Dia masih muda, kehidupan sekarang sangat jauh beda dengan jaman kita dulu. Dia punya masa depan yang sama cerahnya andai tidak kamu ambil dari ayahnya, ku yakin andai tak bersama hendra, Aruna saat ini sudah pasti menikmati masa muda dengan teman-temannya," dia yang bicara menatap lekat suaminya.     

"Mendidik anak-anak muda jaman sekarang tidak lagi dengan cara diktator seperti jaman kita dulu," Sukma masih saja bicara. Dia sungguh kesal terhadap tugas aneh yang diberikan Wiryo pada cucu mantunya.     

Tugas yang menurut Hemat Sukma mengada-ada dan cenderung menurunkan kepercayaan diri perempuan cerah yang baru saja mendapatkan hantaman hebat dalam jalan hidupnya. tragedi penganiayaan yang kejam.     

"Kenapa kamu jadi cerewet sekali," keluh Wiryo.     

"karena kamu keterlaluan," kilah Sukma. Sempat menajamkan tatapannya sebelum membalik lembar berikutnya, dari buku catatan ditangan.     

***     

Atraksi pacuan kuda pada bentang alam belum usai di pertunjukan, mereka yang menunggangi kuda sempat melintasi seorang perempuan yang bergerak lambat -sama di atas kudanya- dengan bantuan sang pawang yang berjalan mengiringi jalannya kuda lambat tersebut.     

Suara hentakan delapan kaki dari dua kuda yang dikendalikan dua pria tersebut menjadikan adrenalin pengamatnya serasa ikut berlari bersama mereka. Aruna menurunkan kameranya ketika Mahendra dan raka berkejaran melintasi keberadaanya.     

Hembusan udara dan suara riang mereka yang berusaha menjaga keselarasan dengan makhluk berkecepatan tinggi yang mereka tunggangi. mampu menggoyahkan kuda lain yang tentu saja ada perempuan hamil di atasnya -kuda Aruna berasa ingin ikut serta berlari bersama- berhasrat memburu udara bersama mereka yang seolah tak menapaki bumi.     

Untung saja sang pawang tangkas menenangkan.     

.     

Matahari mulai menunjukan kekuasaan. Mereka yang bersenang-senang merasakan panas yang nyata dan satu persatu mendekati perempuan yang memilih kembali ke jeep lebih awal.     

Ketika mereka bertiga merasa cukup beristirahat, kuda lambat herry baru tiba, sialnya belum usai tegukan zat cair membasahi tenggorokan. Dua pria sudah menaiki kuda mereka kembali.     

Herry mengerut, melihat Mahendra dan Raka tak memberinya kesempatan bernafas barang sejenak.     

"jangan sampai kamu tak ada bedanya dengan nona yang sedang hamil," ejek Raka, suka sekali menjahili Herry, sampai junior tersebut memerah, mati kutu, "butuh pawang kuda," raka masih jahil, dia berbisik merendahkan suaranya.     

Dengan ekspresi jengkel ajudan muda itu tangkas menaiki kuda berbeda. Andai raka bukan seniornya barang tentu sudah dibalas, minimal berupa umpatan.     

"sayang ayo.." giliran mahendra telah siap, anehnya lelaki ini memilih kuda woles –santai- yang sebelumnya ditunggangi Herry.     

Lelaki bermata biru memeluk tubuh istrinya, tubuh tersebut terangkat, di letakkan pada punggung kuda putih yang bergerak lambat. Pilihannya bukan tanpa alasan, dia ingin perempuannya merasa lebih aman dan nyaman sebab si putih jelas tak berminat bergerak cepat seperti kuda lain yang rata-rata agresif.     

Selepas Aruna merasa nyaman, pria tersebut menyusul,dia duduk di belakang punggung istrinya.     

Sepasang suami istri ini bergerak perlahan-lahan menuju destinasi utama gunung Bromo, Yaitu kawahnya. Kawah yang konon bermula dari gunung berapi aktif, gunung tertinggi di pulau jawa pada masanya, dengan ketinggian mencapai 4000 kilometer.     

Kemudian, terjadi letusan dahsyat yang menciptakan Kaldera, material vulkanik dari letusan gunung tersebut yang sekarang menyusun terbentuknya lautan pasir dengan diameter mencapai 9 kilometer.     

Gunung yang menjadi asal muasal kawah bromo ini bernama tengger. Nama tengger sendiri sampai detik ini abadi sebagai nama suku yang mendiami kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru.     

Suku Tengger atau lebih familier di panggil wong Tengger atau wong Brama adalah suku dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Penduduk suku Tengger diyakini merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit –kerajaan tempat Mahapatih Gajah mada menjabat-. Nama Tengger berasal dari legenda Rara Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (Putra Brahmana) yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Rara An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Jaka Se-"ger".     

Bagi suku Tengger, Gunung Bromo atau Gunung Brahma dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo . Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.     

Upacara tersebut merupakan bagian dari ritual sesembahan atau sesajen untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur. Awal kisah leluhur suku tersebut dimulai dari pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger, membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, yang mempunyai arti "Penguasa Tengger yang Budiman".      

Mereka tidak dikaruniai anak sehingga mereka melakukan semedi atau bertapa kepada Sang Hyang Widhi, tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.     

Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orangtua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya.      

Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api. Kesuma, anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo.     

Aruna, si bungsu putri Ajudan keluarga Djoyodiningrat. Detik ini berada di punggu suaminya, menapaki setapak demi setapak tangga menuju kawah utama gunung Bromo yang berada di atas sana.     

Balita kecil, yang 20 tahun lalu kehilangan seluruh keluarga aslinya -tentu saja asli penghuni lereng gunung bromo atau dengan kata lain bersuku tengger- Sebab erupsi gunung Bromo, terlihat sangat nyaman memeluk punggung suaminya. Kepalanya bahkan dengan antengnya dia sandarkan pada bahu sisi belakan -punggung bidang milik lelaki bermata biru-.     

Sepanjang perjalanan dia yang memeluk nyaman suaminya mendengarkan sayup-sayup suara herry dan raka, keduanya beradu hitung. Menghitung jumlah anak tangga yang kabarnya bakal berakhir berbeda untuk tiap orang berniat menghitung jumlahnya.     

Dua orang tersebut sesekali berdebat ketika salah satu dari mereka menemukan perbedaan jumlah hitungan.     

Bersama udara dingin yang ternyata mataharinya cukup menyengat. Sang perempuan mulai khawatir sebab suaminya tak mengizinkan dia berjalan sendiri.     

"kamu nggak capek hen.." ini wujud kekhawatiran aruna.     

"kamu dan baby tak akan membuatku lelah," dia yang masih melangkah kan kakinya, menaiki anak tangga yang rasa-rasanya tidak ada habisnya. Merapatkan tangan yang menjadi tumpuan tubuh istri dan calon bayinya.     

"Hen.. apa kamu percaya akan... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.