Ciuman Pertama Aruna

III-306. Dua Pusara



III-306. Dua Pusara

0"Hen.. apa kamu percaya akan takdir?" ini suara Aruna.     
0

"Entahlah.. aku tidak pernah memikirkannya?"      

"Ih! Apa yang ada di kepalamu?"      

"Istriku dan baby di perutnya, aku memikirkan keduanya     

tiap detik,"      

Dan perempuan di punggung mata biru tertawa. Mendekapnya     

kian erat, dia menghirup bau peluh pria yang menggendongnya.      

"Andai 20 tahun lalu kawah ini tidak meletus, mungkin     

aku tidak akan bertemu denganmu, hidup di lereng gunung ini bersama kedua orang     

tuaku dan saudara-saudaraku," Langkah kaki seorang lelaki terhenti.     

"bagaimana bisa seperti itu?" Mahendra pura-pura tidak tahu. Padahal pria ini telah menelusuri siapa perempuan yang pada akhirnya menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.     

"Ya.. karena itulah yang terjadi padaku, tapi omonganku kali ini, em.. sesungguhnya sekedar dugaanku," dia yang bicara belum melepas pelukannya dari punggung sang suami.     

"Jadi sejujurnya ayah tak pernah bercerita. Namun, saat aku datang di desa kelahiranku sepuluh tahun lalu. ayah membawaku keliling kampung, bertanya dari satu orang ke orang berikutnya. Pertanyaan ayah selalu sama: anda mengenal penghuni rumah runtuh itu? Atau adakah saudara yang masih tersisa? Mereka menjawab tidak ada. Sebab lelah berkeliling, kami mendatangi warung kopi sederhana dan ayah membuka pertanyaan yang sama. satu per satu mereka bercerita tentang tragedi malam naas awan panas yang keluar dari kawah ini," Hendra tertangkap menoleh kebelakang, mengintip sejenak pada istrinya, ia berupaya memberi dukungan.      

"Akhirnya ada yang membuka percakapan tentang rumah runtuh itu, rumah yang kehilangan seluruh anggota keluarganya tepat ketika kawah memuntahkan lahar dan menerbangkan awan panas," Aruna diijinkan turun dari punggung mahendra, kawah kian dekat. Perempuan tersebut berjalan di depan suaminya. Bahunya dipegang, pasir dan batu kerikil kecil memenuhi anak tangga.     

Makin keatas jalanan makin sesak, pengunjung mengitari tepian kawah. Suara bergemuruh dari magma berpijar membuat aruna sempat menoleh pada suaminya. Mahendra spontan mengelus rambutnya. memeluk, dengan meletakan tangannya pada pinggang.     

Mereka berdiri beriringan, percakapan hangat tercipta. Hal yang paling menakjubkan bagi mahendra ialah rangkaian kata sederhana yang terucap dari bibir perempuan bermata coklat. Selepas merek menatap sesaat mangkuk kawah yang berisikan magma,"     

"Hen.. akhirnya kamu mengantarkanku ke puncak," dia yang bicara tersenyum.     

Uniknya pria tersebut berkaca-kaca. Aruna tidak menyadarinya, "Kamu tidak memanfaatkan helikopter, kita mendaki dengan kaki kita sendiri, Bersama, berdua, Ah' salah kita bertiga," sembari menatap kawah bergemuruh, mengesankan. Perempuan bermata coklat melengkapi kalimatnya.     

Tampaknya kalimat ini bukan sesuatu yang dianggap biasa saja oleh sang pria. Buktinya sudut matanya berair dan lekas disembunyikan melalui sentuhan jari telunjuk.     

Apa yang luar biasa?     

Mata kosong pria yang seakan menatap kawah, sejujurnya sedang terbang dan bersemayam di atas kasur sempit dengan sprei bermotif Shabby Chic.      

Kala itu Mahendra sesungguhnya tidak tertidur semalaman. Matanya memandangi lampu-lampu kecil gemerlap -diatas ranjang tidur- milik perempuan yang tertidur pulas di sisinya.     

Hari itu hari di mana dia untuk pertama kalinya tidur di rumah keluarga Aruna tak lain ialah rumah lama kediaman ayah Lesmana -selepas seminggu menikah-.     

Kesadaran Mahendra tersita. Ia memikirkan banyak hal, apakah dirinya sedang menjalankan penghancuran? Menghancurkan hidup perempuan mungil yang kehilangan banyak senyum cerahnya.      

Dadanya acap kali bergemuruh hebat ketika istrinya menceritakan impian-impian yang terdengar sangat mengesankan. yang mana secara nyata tak pernah sekalipun mata biru diperkenankan memilikinya -hidupnya sudah diatur dan repetisi yang menjemukan harus dijalani tanpa kenal jeda dan ampun, khas pewaris utama yang harus serba bisa dan sempurna- .      

Kadang kala Aruna juga bercerita tentang rindu akan teman-teman bermainnya.     

Aruna selalu berhasil menghancurkan hatinya tiap kali dia menceritakan dua hal tersebut. Hendra tidak memiliki keduanya. Ia tidak minim sahabat dan tak memiliki impian pribadi.      

Mendengar kalimat sederhana bahwa dirinya pada akhirnya mampu mengantarkan perempuan yang ia kasihi menapaki puncak. entah yang dikata 'puncak' dalam kalimat yang diujarkan aruna adalah makna leterlek dari puncak gunung ataukah kiasan yang menjadi lambang perjalanan pernikahan mereka.      

Aruna, perempuan mungil yang jarang mengeluh tersebut berhasil mendorong suara hatinya yang terdalam pewaris Djoyodiningrat muncul ke permukaan. Mahendra yang dulunya lelaki kasar dan angkuh detik ini menemukan titik balik dengan cara unik.     

Dari perjalanan sederhana dan kalimat sederhana. Kesemuanya ialah cara yang ditawarkan istrinya.      

"setelah ini aku akan memikirkan cara yang tepat untuk membawamu kebanyak puncak," dia menyembunyikan rasa trenyuhnya.     

"Benarkah?" perempuan yang tak sadar akan kemelut hati suaminya menjawab ringan.     

"ya.. aku berjanji akan menyediakan banyak waktu untuk bersenang-senang dengan kalian berdua," mantap Hendra menjawabnya.      

"Jangan 'berjanji'," kata 'janji' menjadi diksi yang berat bagi keluarga Djoyodiningrat. Martabat didasarkan pada pemenuhan janji tradisi yang dipegang teguh.     

"Aku akan berusaha, berusaha sebaik mungkin, dengan kaki dan kedua telapak tanganku," dia yang bicara mendapatkan kehangatan, pelukan ibu hamil hadir dari arah depan. Dan ubun-ubun sang perempuan mendapatkan sesapan.     

Dan detik berikutnya yang mereka dapati adalah bunyi klotak yang diiringi menggelindingnya sebuah handphone dari tas ajudan Mahendra. Herry mengeluarkan kameranya, sialnya kamera yang keluar menghasilkan dorongan kepada benda lain di dalam tas.      

Yang terdapat di berikutnya adalah handphone sang Tuan jatuh, runtuh ke bawah. Tergelincir menuju dasar kawah yang tak mungkin diambil lagi.      

"Ah'.. bagaimana ini??" Herry tertangkap pucat. Menatap tuannya yang juga menatap polah tingkahnya. Polah tingkah rasa grogi dan panik.      

"Foto kita.. kamu ingin mengabadikan kita -kan'?" Aruna berujar menenangkan.      

"Tuan saya.."     

"Sudah terlanjur jatuh.. tak apa, foto kita aja.."     

 Herry beberapa kali tertangkap mengangguk-angguk minta maaf, sebelum kepiawaiannya membidikkan kamera menghasilkan foto dengan panorama kawah gunung Bromo yang mengesankan.      

.     

Saat matahari mulai memberi petunjuk dengan kian dekat ke arah barat. Perjalanan mereka berlanjut menuju tanah kelahiran Aruna.      

Mobil Jeep warna hitam, menembus jalanan berpasir, kemudian jalanan itu tertinggal dan berubah menjadi aspal. Jeep melaju kian cepat. Menurun menuju lereng yang lebih banyak pemukimannya.      

Tempat pertama yang dituju sang nona iyalah pesarean kedua orang tuanya, pemakaman umum di sebuah desa mereka datangi sebelum matahari benar-benar menghilang dan berganti malam.      

Langkah kaki menapaki tanah dengan perlahan-lahan, yang berada diantara keheningan pusara pusara yang berjajar mereka tunjukan.     

Pasangan-pasangan mata mencari nama di lokasi yang ditunjukkan Aruna. lokasi yang didatangi 10 tahun lalu menjadikan perempuan ini harus bekerja keras menggali memorinya.      

Sampai sebuah pekikan terdengar, Mahendra memanggil mereka yang masih membaca satu persatu batu nisan. Menunjukkan dua nama yang sesuai dengan penjelasan Aruna. Sebuah nama tertulis kan di batu nisan berlumut. Rumput-rumput lebat yang sepertinya tak pernah dipotong menenggelamkan batu nisan tersebut.      

Aruna menekuk kakinya, tangannya menjulur mencabuti rumput di atas pusara kedua orang tuanya. diikuti sang suami dan tentu saja 2 pria yang mendekat, buru-buru membantu Tuan mereka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.