Ciuman Pertama Aruna

III-309. Berkata Jujur



III-309. Berkata Jujur

0"Menurutmu, apa makna orang tua?" ini adalah pernyataan sang senior kepada juniornya. dua lelaki yang berjalan di belakang sepasang suami istri.      
0

"Simbol untuk meletakkan pengharapan," jawaban unik terlontar dari ajudan junior. Otomatis pria bertubuh kekar yang menjadi lawan bicara Herry menghentikan langkah kaki.      

"Sebentar, kenapa jawabanmu membuat keningku berkerut," telapak tangan Raka sudah mendarat di bahu Herry. Dan segera disingkirkan Herry.      

"Setiap anak yang masih memiliki orang tua, itu artinya, dia sungguh sangat beruntung, mimpinya punya muara, harapannya punya tujuan," ingin rasanya Herry mengimbuhkan kata 'mengerti?' namun hal tersebut terkesan menggurui. Untuk itu ia urungkan.      

Sayangnya wajah Raka menunjukan bahwa senior tersebut kurang puas dengan susunan kalimat yang dirangkai Herry.      

"Setiap anak selalu berharap bisa membahagiakan orang tuanya, dengan menunjukkan keberhasilan-keberhasilan kecil mereka," dan wajah Raka berubah. tak lagi mengernyit, akan tetapi malah terkesan datar.      

"Itu yang selalu membuatku iri pada orang lain," maksud Herry seseorang yang masih memiliki orang tua. Ajudan junior tersebut bermonolog lagi.      

"Apakah kita perlu menikah? Supaya kita temukan simbol pengharapan? Pengganti orang tua?" Si penanya menatap sepasang suami istri yang kini saling menggoda, si lelaki terlihat berlarian ringan menggoda ibu hamil.      

"Mungkin," hal yang sama juga pernah menimpa Mahendra, tuannya. Barang tentu pola pikir Herry sejalan dengan Raka.      

Tuan muda Djoyodiningrat seperti menemukan bahan bakar yang mencairkan kebekuan dan meluluhkan kekakuannya berkat keberadaan perempuan bernama Aruna. semua cerita kelamnya seolah telah sirna.      

"Lalu kita yang tak punya orang tua dan tak punya pasangan," -tempat meletakkan Simbol pengharapan- , "harus bagaimana?" bahu Raka terangkat, dia memasang wajah jenaka meratapi keterpurukan mereka berdua.      

"Bagiku pekerjaanku bagian dari menaruh pengharapan," Herry berjalan lebih gesit sebab yang berjalan di depannya tak langsung menuju jeep, melainkan mendekati warung yang tak jauh dari tempat jeep terparkir.      

"Setelah aku pikir-pikir kita berdua sama, baiklah.. kita bekerja dengan sebaik mungkin," Raka menutup percakapan mereka. "Mensyukuri apa yang kita punya,"      

Sontak ada langkah kaki yang terhenti, langkah itu adalah milik Heri. Sepertinya ajudan junior tersebut seolah ingin mengatakan: _tumben bijak_      

***     

Perempuan yang duduk di atas ranjang membalik lembar berikutnya. Tulisan tangan di atas kertas diawali dengan angka 2.      

Dan dia mulai membaca.     

Ketika sebuah kejadian menimpa, yang paling terluka, yang paling tertekan, dan yang paling kesusahan tak lain dan tak bukan tetap lah keluarga. Mereka mau tidak mau harus ikut larut menanggung rasa sakit itu.      

Maka dari itu aku akan mengutamakan diriku sendiri dan keluargaku lebih dahulu dari apapun dan siapapun.     

Goresan pena pada prinsip kedua Aruna tidak sepanjang latar belakang prinsipnya yang pertama.      

Giliran membalik lembaran berikutnya, Sukma melihat kursi roda suaminya sedikit menjauh. Wiryo mengangkat telepon yang berdering.      

Percakapan antara Wiryo dan entah siapa terlihat amat sangat serius.      

Sukma tidak tahu yang sedang bicara dengan suaminya adalah seorang penyidik yang lain, artinya bukan Vian dan bukan Andos.      

Anak berkacamata yang amat setia pada tetua. Siapa lagi kalau bukan pradita.      

Sebelum ia membuat panggilan untuk tetua.      

Pradia beberapa hari belakangan tengah memburu sesuatu. Dia mendapatkan mandat dari tetua Wiryo untuk mencari seseorang yang selama ini menjadi rekan ana. Seseorang yang kabarnya memiliki keterikatan dengan tarantula.      

Pencahariannya berakhir di sebuah taman bermain. Ia sendiri hampir tidak percaya dengan apa yang ia temukan. Menjelajahi taman bermain dan menemukan sebuah panggung pertunjukan di tengah-tengah taman bermain tersebut.      

Selepas beberapa hari Pradita menjalankan pengintaian. Hari ini, di siang hari yang sepi. Yang kebanyakan tengah beristirahat.      

Pria itu membersihkan ruang wardrobe sendirian. Pria dengan nama Darko, yang memiliki kode tertentu D103 tengah menggantung baju-baju pentas yang tertumpuk. Memastikan pernak-pernik yang tersulam di antara baju-baju berwarna cerah tersebut lengkap.      

Konsentrasi Darko yang tersita oleh baju baju pentas kelompok teaternya tidak menyadari seseorang menyusup ke dalam. Mengusung langkah lamban layaknya singa yang tengah kelaparan.      

Pradita pada akhirnya berhasil meletakkan pucuk senjata di kepala Darko. Dan ia kembali di tempat yang ia huni 2 tahun belakangan. Ruangan berwarna putih di bawah tanah.      

Selepas mengabarkan pesan kepada Wiryo. Akhirnya Wiryo tahu, Darko tidak ada keterkaitannya dengan hilangnya Anna.     

Ia yang meletakkan handphonenya kembali ke dalam saku. Jari telunjuknya terlihat mengetuk-ngetukkan di atas penyangga tangan kursi rodanya.      

Mendekati perempuan yang masih setia memegangi buku kecil penuh aksesoris. Matanya menatap Sukma. Tanpa berkedip dan tanpa bersuara. Kecuali ketukan jari telunjuk tangan kanan.      

Buku kecil itu menunjukkan angka 3. Yang artinya prinsip ketika sedang dibaca Sukma.      

Berkata jujur sebelum segalanya terlambat.     

Hanya satu kalimat itu yang tertuang di atas kertas. Tidak ada latar belakang. Seperti 2 prinsip sebelumnya. Tentu saja, semua orang pasti tahu betapa pentingnya sebuah kejujuran. Integritas seorang manusia diukur dari tingkat kejujurannya.      

Tapi lebih dari itu, Aruna menulis setelah ia pulang dari rumah sederhana -rumah kiki- lalu mendengar cerita menyesakkan hati tentang lelaki bernama Thomas.      

Lelaki yang hampir mati bersama sampah pinggiran sungai. Yang ditemukan mengapung dengan kaki membusuk dan seluruh badan penuh kotoran.      

Hanya karena satu hal. Dia tidak cepat mengakui kesalahannya. Dia memilih membuat kesalahan lain untuk menutupi kesalahan sebelumnya.      

Andaikan jujur bisa ia usahakan sebelum bencana itu datang. Kejadian berikutnya tidak akan separah yang ia dan orang lain hadapi. Mungkin saja Aruna tidak berbaring berminggu-minggu dengan perban menutup seluruh punggungnya.      

.     

"Kenapa kau menatapku?" Perempuan paruh baya meletakkan buku catatan cucu mantunya. Konsentrasinya beralih kepada suaminya.      

"Menurutmu kenapa?"      

Sukma mengangkat bahunya, "kita masuk ke dalam ruangan ini diawali pertengkaran, sekarang dorong kursi rodaku," singkat Wiryo.      

"Supaya kita terlihat harmonis lagi?" Ada kekeh tawa yang di umbar Sukma.      

"Bisa jadi begitu," Wiryo memutar kursi rodanya menghadap ke arah pintu keluar menunggu Sukma mendorong kursi tersebut.      

Perempuan paruh baya itu bangkit dari tempat duduknya. Meraih buku catatan Aruna, kemudian ia letakkan ke tempat semula. Laci paling atas pada nakas sisi kanan ranjang. Lalu tangannya meraih telepon genggam yang tergeletak di atas nakas.      

Ia mengamati ada sebuah pesan tertera di handphone tersebut. Sambil berjalan menuju Wiryo, Sukma membuka pesan dari putrinya Gayatri.      

[Mami, kita tak akan bisa menghentikan papi. Tiap saat dia bisa membongkar tindakan penculikan kita terhadap Anna. Aku sudah bicara dengan Vian dan Andos. Hasilnya, sebuah saran dari Mahendra kita yang butuh segera tersampaikan pada Papi. Sebelum terlambat, sebelum dia memuntahkan kemarahannya]      

[Hendra siap menanggung semuanya, semua kenekatan yang kita perbuat, dia menyarankan agar papi tahunya dia lah -hendra- yang mengamankan Anna]      

Ingin rasanya Sukma membuat balasan, akan tetapi pesan ini sudah dikirim beberapa menit lalu. Dan saat ini di hadapannya adalah punggung lelaki yang akan menghukum siapapun tanpa terkecuali, bagi mereka-mereka berseberangan dengan pemikirannya dan melawan kehendaknya.      

Wiryo tengah meminta dirinya mendorong kursi roda, keluar dari kamar ini. Dan sesuatu keluar prediksi bisa saja terjadi.      

Sukma meletakkan handphonenya, perempuan paruh baya itu terlihat berpikir.      

Bukannya meletakkan kedua telapak tangannya pada pegangan kursi roda. Perempuan paruh baya yang masih terlihat anggun nan ayu tersebut malah mengitari kursi roda suaminya dan berakhir menatap Wiryo lamat-lamat.      

Secara mengejutkan, bahkan sempat membuat Wiryo tersentak. Ialah tindakan Sukma menekuk kakinya dan takkan tempurung lututnya di lantai. Sukma bersimpuh di hadapan suaminya, _tidak ada orang tua yang tega mengorbankan putra-putrinya apalagi cucunya_ gumam Sukma menguatkan hatinya, merelakan diri harus bersimpuh di hadapan suaminya untuk pertama kalinya. sebagai seorang perempuan terhormat, nyonya besar Keluarga Djoyodiningrat.      

"APA YANG KAU LAKUKAN SUKMA!!"      

"Akulah pelaku yang kamu cari, … … ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.