Ciuman Pertama Aruna

III-312. Perempuan Pemilik Kedai Kopi



III-312. Perempuan Pemilik Kedai Kopi

0Dari tempatnya duduk, Aruna mengamati interaksi lelaki bersarung dengan seorang perempuan yang di panggil 'Yu'. Keduanya bercakap-cakap dan sesekali ketahuan mencuri lihat keberadaan nona muda Djoyodiningrat tersebut.      
0

Selang beberapa lama, dua buah mangkok mie berkuah dan satu mie goreng dengan porsi ekstra yang baunya sangat menggoda telah sampai pada meja mereka. Perabotan yang memiliki bidang datar dan kaki-kaki sebagai penyangga, dimana terdapat empat orang asing yang duduk di tepian kedai kopi menyambut mangkuk-mangkuk tersebut dengan senyum mengembang.      

Tradisi minum kopi adalah kebiasaan yang melekat pada penduduk di lereng pegunungan ini, demikian telinga Aruna mendengarkan celoteh yang suaminya lakukan dengan beberapa orang warga lokal yang duduk berbaris di hadapan mereka.      

Penduduk lokal yang harus bersabar sebab pada akhirnya klub kesayangan mereka benar-benar kalah dalam pertandingan, skor akhir 2 vs 3.      

Suara menyeruput kuah yang keluar dari mulut terdengar sama menggodanya dengan bau mie yang terbang memenuhi udara di sekitar tempat duduk tersebut.      

Bukan hanya baunya yang harum, rasanya pun dapat dipastikan menggoda. Membuat ketiga orang yang baru saja mendapatkan pesanan mereka lekas menyantap seperti tengah berlomba.      

Ketiganya tidak menyangka, tuan muda Djoyodiningrat begitu kekeh tidak mau ikut serta dalam ajang lomba memburu mie berkuah yang baunya luar biasa menggoda di tengah udara dingin lereng gunung Bromo. Bahkan sebuah mangkuk besar berisi mie goreng dan telur ekstra tak cukup menarik minat Mahendra.      

Padahal, mie instan legendaris ini sangat diminati di berbagai belahan dunia dan jadi oleh-oleh khas negara tropis ini.      

Lelaki bermata biru terlalu kaku, dan istrinya terus saja menggoda akan tetapi kepalanya masih tetap menggeleng. Itulah gambaran tentang seseorang yang bernama Mahendra. Berpendirian teguh dan lumayan keras kepala.      

Gangguan perempuan jahil ini seringkali mengakibatkan lelaki bermata biru menelan salivanya. Di samping dia tetap mempertahankan kemauannya, tak menyukai makanan instan dalam bentuk dan jenis apapun —termasuk junk food yang rasanya sama menggodanya, sesekali dia hanya akan berkomentar agar istrinya makan tidak terlalu banyak dengan alasan kesehatan baby dalam rahimnya.     

Mahendra merasa terselamatkan selepas perempuan yang tampaknya pemilik kedai datang mendekat, lalu meminta dua orang di hadapan istrinya menyingkir. Kedua penduduk lokal tersebut mengikuti permintaan pemilik kedai.      

Perempuan dengan rambut digulung belakang, bibirnya merah merona di malam yang gelap dengan mata yang sama coklatnya. Mirip Aruna.      

Tak lama kemudian lelaki bersarung yang mengekor perempuan pemilik kedai tersebut, duduk di sebelahnya.      

Aruna terlihat tidak terkejut dengan apa yang ia lihat sekarang, sebab perempuan hamil ini tahu, dia sudah diamati sejak tadi oleh pemilik kedai kopi tersebut.      

Dengan mengusung bahasa nasional -bukan bahasa daerah- yang membuat empat orang pendatang kebingungan. Dia mengawali percakapan, walaupun Intonasinya masih khas provinsi ini.      

Perempuan bersanggul menyapa Aruna.      

"E," Aruna membuka matanya menatap dua buah telapak tangan perempuan bersanggul yang saling bertautan, bertumpu di atas meja.      

Mungkin perempuan bersanggul tersebut grogi, atau bisa jadi sedang mempersiapkan diri untuk memulai percakapan sebab dua telapak tangan itu saling mengelus satu sama lain. Seolah sedang was-was dengan apa yang akan ia lakukan.      

"Saya dengar dari, em, pakde, " yang dimaksud pakde adalah pria bersarung yang duduk disamping perempuan tersebut, "Jenengan (bahasa daerah), eh', kamu, mengunjungi rumah runtuh?"      

Aruna menarik bibirnya, ia mengangguk lambat. Mata biru suaminya pun ikut menatap perempuan yang duduk di hadapan istrinya.      

"Perkenalkan, aku yu Darmi," dia menjulurkan tangannya. Meraih tangan Aruna, kemudian didekap dengan kedua telapak tangannya.      

"Saya Aruna," Jawabnya dengan senyum yang lebih lebar.      

"Ooh," perempuan yang baru saja memperkenalkan diri sebagai yu Darmi mengangguk-angguk kepada Aruna.      

"Apa kamu? Yang dulu, beberapa tahun lalu datang ke sini, bersama laki-laki yang, e," yu Darmi seolah sedang mengingat-ingat. Matanya berputar beberapa kali.      

Aruna masih diam, membiarkan yu Darmi menyelesaikan ucapannya. Sebenarnya ia ingin memotong kalimat perempuan yang sedang berupaya mengumpulkan memorinya.      

"Memakai jaket coklat, lalu membawa gadis, tingginya segini," dengan telapak tangan kanannya yang terangkat, yu Darmi membuat sebuah pembatas seolah memperkirakan tinggi Aruna kala itu.      

"Iya, itu saya," Aruna mengangguk ringan. Gigi rapi berbaris di balik senyum yang disuguhkan perempuan hamil tersebut.      

"Oh," lagi-lagi mulutnya membentuk lingkaran penuh, suara desahan yang bermakna debaran di hati ia lontarkan perlahan dari mulutnya.      

Aruna masih sangat muda ketika mengunjungi tempat ini bersama ayahnya —yang dia ingat selepas duduk di kedai ini, lalu bercakap-cakap dengan warga lokal siang hari kala itu.      

Ayahnya seolah mendapatkan seorang pemandu wisata. Mengantarkan ayah dan anak tersebut menemukan rumah runtuh, kemudian disusul ke makam yang kemarin ia kunjungi bersama suaminya.      

Malam harinya Aruna beli dan ayah Lesmana sempat menginap di rumah sang pemandu wisata dadakan. Lelaki yang suka membungkus tubuhnya dengan sarung, sama seperti warga lokal yang ia lihat detik ini.     

Sepanjang perjalanan Aruna tahu, sang pemandu wisata banyak sekali mengobrol tentang berbagai hal dengan ayahnya. Obrolan yang tidak dipahami oleh gadis kecil berusia belasan tahun.      

"Boleh tahu, makam siapa yang kamu datangi?" Sepertinya yu Darmi ingin mengkonfirmasi kebenaran bahwa gadis belia yang pernah datang ke kedai ini -10 tahun yang lalu-, benar-benar orang yang sama.      

"Makam dengan nama Maharani, dan Anwari," jawab Aruna.      

"Tadi kamu bilang, namamu Aruna -kan?" Kata yu Darmi, mengulangi nama perempuan di hadapannya.      

"Iya,"      

Senyuman lebar tertuang di bibir yu Darmi. Kedua tangannya yang terlihat saling bertautan dan sesekali mengelus satu sama lain, terlepas salah satu.      

Tangan kanannya lepas dari ikatan tangan kiri, kemudian mendekati wajah Aruna dan mengelus pipinya.      

"Pancen mirip yu Rani," katanya, menarik tangan dari pipi Aruna, "yu Rani itu panggilan ibumu," Lanjut yu Darmi, mengkonfirmasi nama yang ia sebutkan.      

_Maharani, dipanggil Rani_ gumam Aruna di dalam hatinya. Telinganya menangkap dengan cermat setiap ucapan yang keluar dari yu Darmi.      

"Dulu yang mengantar bapakmu, siapa namanya? Aku sampai lupa. Maklum, sudah semakin tua," kata yu Darmi mengerjap-ngerjapkan mata, mencari nama ayah Lesmana.      

"Lesmana," balas Aruna singkat.      

"Oh' iya, iya," yu Darmi mengangguk-ngangguk sebelum melanjutkan kalimatnya, "Nah, laki-laki yang menemani bapak Lesmana keliling mencari makam ibumu dan rumahmu adalah suamiku, mas Cahyo,"      

Di sela-sela percakapan Aruna dengan perempuan yang tampaknya mengenal dirinya, lelaki bermata biru menggenggam punggung tangan kanan istrinya yang berada di atas paha. Mata coklat tersebut sempat bertemu dengan netra biru yang menguatkan.     

"Sayangnya, mas Cahyo sudah," wajahnya mengerut sedih, "sama-sama tinggal di dekat pusara ibu dan bapakmu. Maaf, pasti sekarang makam itu sudah usang soalnya tidak ada yang merawat. Saya masih belum bisa datang kesana. Aku ini perempuan yang belum bisa move on kata bocah-bocah enom," monolog kalimat terakhir yu Darmi sempat membuat Aruna mengerut. Ia tahu 'bocah-bocah' artinya anak-anak, akan tetapi ia tak tahu arti kata 'enom' sebab itu ia mengangguk-angguk saja.      

"Jadi semenjak suamiku meninggal, aku belum     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.