Ciuman Pertama Aruna

III-296. Genmu Merasuki Tubuhku



III-296. Genmu Merasuki Tubuhku

0"Apa kamu tidak merasa tertekan?" Ini suara lelaki bermata biru.      
0

Aruna sekedar meliriknya. ia berharap bisa membalas pernyataan suaminya, sayangnya konsentrasinya tersita oleh rasa aneh yang meliuk-liuk di dalam perutnya. tangan kanannya bergerak, menuntunnya untuk membuat elusan pada perut.     

"Aku tidak sanggup lagi," pria di samping Aruna tak ada hentinya mengeluh padahal ada sesuatu yang lebih tidak beres pada tubuh perempuan hamil. "Sayang please.. berhentilah ngambek, hukum saja aku sekarang juga, kalau.."      

kalimat hendra terpotong. gendang telinganya sempat berdengung. Istrinya memekik, memukul kursi pengemudi di depan ia duduk.     

"Herry carikan toilet, aku butuh toilet! sekarang!" Aruna memeluk perutnya dengan ekspresi wajah tersiksa.      

"Iya.. iya nona.." spontan Herry panik.     

Tentu saja lelaki bermata biru lebih panik dibanding siapapun. dia mendekat, menyentuh semua sisi perut Aruna dan mengelus punggung perempuannya. "apa yang terjadi?" kata tanya berulang kali diujarkan mata biru.     

"jangan tanya..! carikan toilet!!" Aruna mencengkram bahu Mahendra.     

"Herry. apa kamu tidak bisa lebih cepat?!" perubahan arah mobil yang dikemudikan Herry membuat Mahendra mengurungkan pertanyaannya berikutnya.      

Ajudan tersebut memutar kendali, kendaraan roda empat memasuki lokasi SPBU. Sekejab kedua pria tertangkap turun seolah tengah berebut kecepatan berusaha membuka pintu untuk perempuan yang keluhannya kian meresahkan.     

Perempuan bermata coklat dengan Trengginas berjalan cepat menuju kamar mandi. andai tidak hamil bisa jadi dia sudah berlari.      

"Apa yang terjadi pada istriku? herry? apa perlu mencarikan dokter?" suara Mahendra bergetar. wajahnya mengerut cemas.      

Dua orang pria sempat saling menatap sebelum tragedi berikutnya melebarkan tatapan mereka. Perempuan yang baru saja menyusup ke dalam kamar mandi tertangkap lari keluar lalu muntah-muntah.      

Hendra segera menuju istrinya. Walaupun perempuan tersebut tidak mengeluarkan apapun tapi wajah pucatnya mendorong pria yang kini berhasil merengkuh punggung Aruna jadi sama pucatnya.      

"Aku tak bisa memakai toilet itu, aku nggak bisa masuk.." ujar Aruna.      

"apa pintunya terkunci atau penuh?" si panik menatap, ia dilanda rasa was-was.      

"Bukan…!" jengkel Aruna berujar.      

"aduh! perutku! sakit.. aku ingin ke toilet.. cari toilet lain!!" dia memekik lagi dan lagi. wajah perempuan yang tengah merangkai keluhan kian merah padam, matanya berair menahan perutnya yang nakal.      

"Herry dekatkan mobilnya!" Hendra sempat menoleh pada lorong kamar mandi. masih belum mengerti kenapa istrinya tak bisa masuk. lorong kamar mandi perempuan jelas sedang sepi.      

Dengan masih merengkuh tubuh sang istri, sepasang suami istri tergesah menuju mobil yang menukik mendekati keberadaan mereka.      

"Duuuh.. perutku sakit." dia yang kesakitan mengeluh, menepuk bahu kadang mencengkram lengan.      

"Kita cari klinik saja.." Tawar mahendra.      

"Aku butuh toilet! nggak butuh klinik!" dia yang bicara masih dengan nada tinggi diliputi emosi.      

"Iya sayang.. iya., Herry.." mahendra mengeluh pada ajudannya.      

"Iya tuan.. iya.." dan ini jawaban Herry, menerima keluhan yang menghujani dirinya. "tapi ngomong-ngomong toilet yang nona inginkan.." Herry memacu mobilnya, pikirannya berputar kemana-mana.      

"Hotel.. mall.. atau apa saja yang tuanmu bisa.." suara perut aruna terdengar, "ups maaf!"      

Untung saja kedua lelaki yang ada di sekitarnya fokus mencari yang di mau perempuan hamil, "cepat.. aku nggak tahan.. apa saja!" masih saja mengomel, "bayi ini pilih-pilih! Mirip Deddy nya.. menyiksa sekali"     

"Bagaimana dengan mall itu tuan?" herry menawarkan.      

"Tidak! tidak! parkirnya kelamaan," Hendra memprediksi, " kafe.. kafe itu saja.." mobil jeep lekas mencari pemberhentian tercepat dan paling tepat. sempat terdengar decitan akibat diinjaknya pedal rem, sebelum perempuan yang turun dari mobil tertangkap setengah berlari mendekati petugas dan menghilang.     

"Pasti ini gara-gara sebagian tubuhku sudah kemasukan gen Hendra!" dia yang telah mencapai keinginannya masih membumbungkan kejengkelan.      

.     

.     

Dua pria duduk nyaman menunggu perempuan yang beberapa kali ketahuan keluar toilet kemudian menghilang kembali. salah satu dari keduanya baru saja keluar, dia datang membawa sekantong obat dari apotik.      

sebotol obat anti diare diletakkan di atas meja, berdekatan dengan minuman dingin.      

"Aaahh, keluar Juga dia," lelaki bermata biru tak henti-hentinya menatap pintu yang sama. Pintu yang menyembunyikan istrinya.     

Perempuan yang detik ini berjalan dengan ekspresi lega menatapnya jutek. Jarak diantara keduanya semakin pendek. Dan saat di mana perempuan itu mencapai mejanya, sebuah kursi digeser supaya ia lekas duduk nyaman. obat diatas meja didorong mendekat keberadaan Aruna.      

"Kamu tahu kenapa perutku sakit?" Pertanyaan Aruna mendapatkan gilingan kepala. "Genmu yang parkir di perutku sudah mempengaruhi kinerja tubuhku,"      

Sontak dua pria mengernyitkan dahinya. "Baby tidak mau makan sembarangan, dia nggak mau makan pedas, mirip denganmu. diajak masuk toilet umum langsung protes keras," ekspresi dan suara Aruna kesal. Kontras dengan lelaki yang menahan senyum.      

Istrinya ternyata baik-baik saja, dia hanya terlalu rakus makan ikan pedas.      

"Minum dulu.." pria tersebut membersihkan peluh yang merambati pelipis istrinya.      

"Tuan.. apakah anda belum membuka handphone?" Ini suara ajudan yang baru sempat melihat smartphonenya.      

"Oh," Hendra merogoh sakunya, nama Vian terpampang jelas pada layar handphone, ia berulang kali membuat panggilan serta mengirim pesan.     

[Tuan Oma dan mommy anda butuh bantuan] pesan pendek tersebut mendorong lelaki bermata biru menyingkir membalas panggilan terabaikan Vian.      

.     

.     

[Katakan saja aku pelakunya,] enteng mata biru merangkai solusi, [tetua tak akan curiga, dia dan semua orang pasti menganggap wajar. Bahkan sudah menduga akulah yang melenyapkan Anna]     

[Tuan.. bagaimana jika tetua Wiryo marah pada anda?] Vian mengomentari putusan lelaki bermata biru.      

[Siapa yang selama ini berani bersih tegang dengan kakekku?]. Tentu saja Mahendra satu-satunya. [asal bukan pada Oma dan mommy, biar dia marah padaku saja. terlebih, semarah apapun kakekku padaku. ujung-ujungnya tetap aku penerus satu-satunya. Kakekku tidak akan bisa berbuat banyak. Siapa yang bisa menghukum lelaki yang ingin menuntut balas atas penganiayaan pada istri dan bayinya? iya tidak punya hak sama sekali!]      

Vian terdiam.      

[Kamu mendengarku?]      

[Iya.. aku sedang berlari menuju ibu Gayatri] balas Vian.      

[Aku titip mereka, jangan sampai terjadi hal buruk pada Oma Sukma dan mommy] Hendra menurunkan handphone.      

Berjalan tangkas mendekati meja tempat istri dan ajudannya menunggu lelaki bermata biru.      

"Kita berangkat sekarang!" Hendra merampas kunci Jeep yang tergeletak di hadapan Herry, langkahnya bergegas meninggalkan dua orang yang masih ternganga oleh perubahan ekspresi Mahendra.      

***     

"kau memberitahu putraku??" Gayatri lebih tercengang sebab nama Hendra terdengar.      

"iya.." lirih Vian. sontak wajah Gayatri mengekspresikan kekecewaan.      

"Maaf.. saya sejak semalam sudah memberitahu tuan, saya ingin membenturkan kepala saya karena tak sanggup berada di situasi seperti ini, aku kebingungan, dan ku yakin tuan muda satu-satunya orang yang bisa memberiku ide brilian, anda ingin mendengarnya?" Vian menatap penghuni kamar yang detik ini mengamati dirinya.      

.     

.     

"Mamiku masih berada di dalam kamar bersama papi. Apa aku perlu memberi tahunya sekarang?" Kalimat tanya Gayatri selepas mendengarkan penjelasan Vian. Seluruh penghuni kamar Andos menyetujui ide Mahendra.      

Siapa yang bisa menyangkal bahwa sang cucu satu-satunya orang yang berani bersinggungan langsung terhadap tiap-tiap kehendak kakeknya.      

***     

"Aku tidak mau kasar, serahkan dia," lima dari tujuh orang menodongkan senjata api.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.