Ciuman Pertama Aruna

III-293. Mengapa Bukan Orang Lain?



III-293. Mengapa Bukan Orang Lain?

0Bukan lagi suara putrinya melainkan suara berat yang punya penekanan kuat di setiap ujung kalimat, Wiryo mengetuk pintu dan memanggil namanya.      
0

Sukma terpaku, sekian menit sudah dia biarkan pintu kamar yang tertutup dari dalam menyuarakan benturan ruas-ruas jari dengan kayu jati.      

Anehnya, Wiryo tidak sedikit pun mengurungkan niatnya. Hati lembut perempuan tersebut tersentuh -sudah. Sukma pada akhirnya membuka pintu.      

Mata Sukma masih enggan menatap pria yang menjalankan kursi rodanya. Wiryo masuk, dan mengikuti gerakan Sukma. Perempuan itu duduk di sofa yang letaknya tak jauh dari ranjang.      

Sofa empuk dilengkapi meja rendah tepat di hadapan Sukma duduk.      

Matanya masih menatap arah lain sambil memegangi lengkungan tepian sofa yang bentuknya mirip kue gulung.      

Dehem Wiryo tak membuahkan hasil. Lelaki paruh baya itu mendekatkan kursi roda otomatis sampai ujung kursi membentur lirih meja di hadapan Sukma.      

"Kita sudah tua.. dan kamu masih saja sama," ini suara Wiryo mengamati istrinya.      

"Kamu lebih tua dariku, dan kamu?" Sukma menatap suaminya, sinis. "Huuh.. lebih baik tetap sama, dari pada kian kaku!" Sarkasme ini terkategorikan terlalu berani.      

"Apakah kamu, masih saja penasaran pada hal-hal tidak penting?" Sesuatu yang ditakutkan Wiryo terjadi sudah. Wiryo sempat menjabarkan sedikit kegelisahan hatinya kepada Andos, asistennya.      

Pria paruh baya tersebut mengkhawatirkan istrinya, dia takut Sukma kehilangan rasa percaya diri akibat kedatangan graziella.      

Sukma tak memberikan jawaban. Perempuan tersebut meraih tisu di atas meja kaca. Letaknya tepat di tengah-tengah dirinya dan suaminya.      

Mata Wiryo tak lepas dari gerakan perempuan tersebut. Perempuan yang terdapati menghapus bintik air nakal pada sela-sela sudut matanya.      

Wiryo yang mengharapkan bakal ditanggapi istrinya. Kenyataannya perempuan tersebut malah merapikan baju yang melekat pada tubuhnya. Sebuah kebiasaan Sukma ketika ia hendak pergi. Atau keluar dari kamar.      

tak butuh waktu lama perempuan paruh baya tersebut benar-benar berdiri. Dia bergerak melewati kursi roda suaminya.      

Sempat terkekeh, menyadari tangan kanannya di genggam kuat suaminya.      

"Kita sudah tua.." maksud Sukma bertengkar dengan gaya demikian terlihat menggelikan.      

"Apa Kamu tak ingin dengar penjelasanku?" Wiryo berujar, menarik tangan tersebut supaya pemiliknya kembali duduk di sofa. Pada bagian sofa yang lebih dekat dengan keberadaannya, Wiryo.      

"Kenapa aku menikahimu, Dan bukan graziella?" Ucapan Wiryo sejujurnya bagian dari keseriusan, buktinya dia yang bicara memasang wajah kakunya.      

Sukma mendecih, beberapa detik kemudian sederet jawaban keluar dari mulut Sukma sendiri: "kamu membutuhkan perempuan yang bisa kamu atur sesuka hatimu, dikurung di rumah ini. Hee," Sukma sempat terkekeh, perempuan yang terkurung itu adalah dirinya sendiri, "graziella tak sanggup, dan tak akan pernah mau -hidup seperti itu," suara Sukma begitu berani. Menatap wajah pria yang guratan di raut mukanya tak lagi dapat dihitung.      

Pria di atas kursi roda menggantung senyum pada wajahnya. Matanya menatap perempuan yang usianya 17 tahun lebih muda dari dirinya. Wajah itu tiba-tiba saja melalui perjalanan waktu, mundur ke belakang, dalam sekejap wiryo seolah melihat Sukma muda.      

Gadis berparas ayu, yang sering menampilkan ekspresi takut-takut hanya untuk menatapnya.      

Senyum menggantung perlahan kian jelas. Gigi putih di sela bibir tertangkap mata. Roda kursi otomatis bergerak mendekat. Tangan yang tak lagi muda terangkat, meraba pipi Sukma.      

Sontak Sukma terkejut, dan membangunkan lamunan Wiryo.      

Mata Sukma mengerut fokus. Bagi Sukma kelakuan Wiryo sedikit ganjil. Wiryo sudah menjadi suaminya puluhan tahun, seumur pernikahan mereka tak sekalipun tangan pria dihadapannya menyentuh wajahnya.      

Bahkan saat mereka melewati malam-malam hebat -pun. Sukma muda lebih banyak memuaskan. Dia yang muda dan lincah cenderung punya tugas memuaskan tuannya dengan bergerak diatas, membiarkan pria yang bekerja tanpa kenal waktu tersebut menikmati dirinya dengan menatapnya lamat-lamat.      

Kalau -pun berada di bawah. Mata Wiryo yang tajam, begitu menakutkan bagi Sukma. Sukma muda akan memejamkan matanya rapat-rapat. Dan tangan Wiryo tak pernah menyentuh wajahnya, tangan tersebut cenderung digunakan untuk mengikat pergelangan Sukma.      

Hanya bibir Wiryo, -yang kala itu lebih layak di panggil paman-, kedapatan suka menjelajahi wajah sukma.      

.     

Bagi Sukma tangan wiryo yang berkenan menyentuh wajahnya, setara dengan kondisi ekstrim, dimana pria tersebut perlu terbentur tepat di kepala kemudian dinyatakan mengalami keterlambatan berpikir.      

Separah itu sudut pandang Sukma yang berpuluh tahun mengharap. -dia yang selalu di puja orang lain sebab parasnya-. Juga mendapatkan pengakuan dari suaminya.      

"Benar kata orang-orang, kamu masih ayu seperti dulu,"      

Suara Wiryo mendorong ekspresi ternganga lawan bicaranya. Wiryo bukan lagi jarang, mulutnya sekalipun tak pernah terdapati memuji istrinya.      

Entah bagaimana Wiryo berubah, mungkinkah disebabkan petuah random Andos yang memberi masukan untuk mengutarakan perasaan kasih dan sayang, sebanyak-banyaknya kepada pasangan kita. Mumpung masih diberi kesempatan menghirup udara di muka bumi.      

"Jawabanmu tidak salah, tetapi belum benar 100%," ini suara Wiryo meluruskan dugaan istrinya.      

"Aku menikahimu, Sebab aku melihat kolegaku yang didatangi kakakmu. fotomu tak sengaja jatuh dan aku menatapnya. Walaupun melihat foto tersebut dengan cara tak sengaja. Sepanjang malam aku tak bisa tidur," pengakuan Wiryo membuat dada perempuan yang tak lagi muda berdebar.      

"Aku bertanya-tanya, bagaimana nasib gadis Malang itu? Dia bakal dibeli pria hidung belang, beristri banyak, dan gonta-ganti pasangan. Kau membangkitkan sisi kemanusiaanku,"      

Di sisi lain mata Sukma seolah berbicara, 'apakah yang kau katakan benar?' keduanya menyadari sudah cukup tua untuk saling mengkonfirmasi.      

Entah apa yang terjadi lelaki di atas kursi roda meneruskan pernyataannya, "sejujurnya, aku sekedar ingin menebusmu, lalu membiarkanmu terbebas dari kakakmu. Lagi-lagi kamu terlihat sangat polos, belum tahu apapun tentang dunia diluar sana, dan aku.. jadi tak tega," wiryo sempat menghembuskan nafas, separuh tersenyum, tak percaya, dia harus mengakui ini semua di usia senjanya.      

"Saat kau kubawa pulang, semua orang di rumah ini menjadi sangat antusias. Mendorongku untuk segera menikahimu, karena aku membutuhkan penerus. Untungnya aku tidak salah pilih, kau memang juaranya," Wiryo menutup monolog panjangnya dengan menepuk punggung tangan Sukma yang menelungkup di atas pahanya.     

"Ah' kamu membuatku malu, kenapa kamu jadi aneh hari ini?!" Ini suara Sukma. Memalingkan wajahnya.      

Senyum miring Wiryo terlihat sesaat. Untuk pertama kalinya lelaki tersebut menjadi banyak bicara. Sukma tahu detik ini lelaki di hadapannya pastilah sedang melawan ego yang super tinggi. Demi mengucapkan narasi sepanjang tersebut.     

Wiryo yang merasa telah cukup dengan kalimat-kalimat yang ia utarakan. Memencet tombol untuk memutar arah gerak kursi rodanya.      

Tanpa diduga, Sukma menghentikan tindakan Wiryo, melebur diri memeluk tubuh pria yang tak lagi muda. Sukma baru menyadari selama ini dirinya selalu menyimpan prasangka buruk terhadap suaminya, terkait 'mengapa Wiryo menikahi dirinya bukan orang lain?'      

Padahal pria tersebut bisa memilih perempuan manapun, yang tentu saja bakal merasa beruntung bisa dipersunting Djoyodiningrat.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.