Ciuman Pertama Aruna

III-284. Memilukan



III-284. Memilukan

0"Sesibuk apa kamu? Sampai panggilan bapak dan adik mu tidak kamu angkat?!" pekikkan Vian demikian tajam. Lelaki tersebut berdiri tepat di depan pintu rumah Kihrani, di mana latar belakangnya ialah adik beserta Bapak yang mana keduanya menyuguhkan wajah lelah.     
0

Ekspresi mereka seolah menceritakan malam panjang tanpa istirahat. Mata Kihrani menatap kosong, menyusuri dinding yang tersaji di dalam rumahnya. Jarum jam disana memberi tahu, dia tergolong gadis muda yang keterlaluan.     

Jarum pendek menunjuk angka dua, sedangkan jarum panjang berada di angka empat. Pukul 02.20, rekor tergila dalam hidupnya. Gadis tersebut tahu dia bersalah.     

Kihrani bergeming dalam kekalutan wajahnya, menunduk memohon ampun kepada bapak dan Riki, adiknya.     

Dari arah belakang suara langkah kaki terdengar, orang tersebut sempat tak sengaja menyenggol gadis -yang tertunduk-, dengan lengannya. Thomas berdiri di sisi Kihrani, cukup dekat hingga lengan keduanya berdekatan.     

"Aku yang salah. Aku yang memintanya menemaniku jalan-jalan" Thomas berusaha menggeser sedikit kepalanya supaya bisa bertemu pandang dengan keluarga Kihrani yang detik ini terhalangi oleh keberadaan bahu lebar Vian.     

"Bapak, maafkan aku. Aku lupa mengingatkan dia untuk meminta izin mu. Maaf sudah mengganggu waktu istirahatnya," paduan suara dan wajah Thomas yang ramah membuat lelaki yang duduk bakit.     

"Riki, tidurlah! Besok kamu bisa terlambat sekolah," perintah bapaknya, dan pemuda itu berdiri acuh tak acuk sempat menatap tajam kakaknya yang terlihat tersiksa oleh rasa bersalahnya.     

"Masuklah," bisik Tom menundukkan kepalanya guna menyusupkan pesan di telinga Kihrani.     

Pria itu mengangguk -meyakinkan, ketika gadis tersebut menoleh menatap dirinya. Memberi dorongan kepada Kihrani agar segera masuk ke dalam rumahnya dan meminta maaf dengan benar kepada bapaknya yang sudah menunggu penjelasan.     

Vian masih sempat memperhatikan gerak gerik Kihrani yang dengan lambatnya memasuki rumah, kemudian mengisak lirih ketika pak Imam mengurai kekecewaan.     

Bukan karena Kihrani pulang malam yang dipersoalkan, gadis tersebut pernah diculik oleh sekelompok orang yang masih terngiang-ngiang dalam ingatan, seperti apa kepanikan yang ditimbulkan di kampung ini kala putri sulungnya tersebut hilang.     

Walaupun pelakunya detik ini malah yang berperan membantu keluarga Kihrani mencari keberadaan gadis tersebut, selepas ditanya, apakah dia tahu di mana rumah nona Aruna?.      

Vian lekas memacu mobilnya selepas penyelidikan di klinik Diana bersama anak buahnya selesai -permintaan tetua Wiryo-. Lelaki bermata sendu itu tahu jam kerja gadis tersebut telah berakhir sejak pukul lima sore, dan Kihrani sudah meninggalkan rumah mewah tersebut.     

Pimpinan divisi tersebut mendapatkan ucapan terimakasih dari bapak Kihrani sebab dia lah yang mengerahkan orang-orangnya untuk mencari putrinya, serta tersenyum ringan pada Thomas. Senyum datar yang membuat lelaki tersebut kembali merangkai kalimat maaf.     

.     

.     

Kedua pria tersebut berjalan menuju keberadaan mobilnya, seiring suara bapak Kihrani yang kecewa dengan kebiasaan anaknya yang membisukan notifikasi handphonenya -kebiasan Kiki sebagai kasir minimarket-. Keduanya baru tahu pak Imam bisa memarahi anak sulungnya yang pemarah, yang biasanya terlihat puluhan kali lebih galak dari bapaknya yang pendiam.     

Thomas dan Vian sempat bertemu mata detik-detik dimana keduanya membuka pintu mobil masing-masing. Sejujurnya Tom ingin membuka obrolan, sayang sekali yang dia dapati ialah Vian dengan ketangkasannya lekas menyusup pada kursi kemudi. Tak lama kemudian mobilnya di pacu dengan suara berderu -tanda lelaki tersebut sempat menginjak gas dan rem bersamaan-.     

Namun, selepas memasuki jalan raya di luar kampung Kihrani, mata Tom melihat hal berbeda. Mobil di depannya yang sama-sama menuju klaster yang sama, melaju ringan menembus jalanan yang lenggang dan dingin udara dini hari.     

Mobil dua lelaki tersebut seolah mampu menghanyutkan pengemudinya terbawa lamunan mereka masing-masing.     

***     

Surel yang ditandai sebagai pesan penting menyapa lelaki bermata biru pada layar handphonenya. Lelaki tersebut lekas bangkit meraih piyama lalu mengikatnya, menyelimuti tubuh sang istri yang terkulai terbawa kantuk atau mungkin lelah.     

Ini masih sangat pagi, istrinya tertidur pulas sebab semalam dia menciptakan badai besar di atas dan di seputar ranjang mereka berdua.     

Detik ini adalah kejadian sekitar satu jam sebelum sekelompok perias meja makan datang menyiapkan sarapan terbaik untuk perempuan yang paling dimuliakan.     

Mahendra meminta Herry datang ke kamarnya. Meja pada ruangan di luar kamar yang merupakan kumpulan sofa dengan bantal-bantal cerah menjadi tempat bagi punggung pria berbalut selembar piyama tidur berbahan sutra meletakkan punggungnya.     

Dia duduk nyaman di sana mengangkat satu kaki, menumpu pada kaki lain.     

Kaki yang mengenakan sandal hotel berwarna putih tersebut tertumpu satu sama lain dengan sempurna kala pemiliknya sedang asik mengamati beberapa gambar serta sederet penjelasan pada layar handphonenya.     

"Tuan," Herry baru saja memasuki pintu dan lekas menutupnya, lalu membuat gerakan ringan memberi hormat.     

"Duduklah" mata pengamat layar smartphone tertangkap berhenti mengembara, "Jadi, siapa yang mengawasiku?" Hendra bergerak meletakkan handphonenya pada meja kayu jati kokoh berbentuk oval.     

"Raka," jawab singkat Herry.      

"Cih!" tuan muda tersebut mendecih, kembali meraih handphonenya lalu mendorongnya hingga benda tersebut meluncur di atas meja licin menuju Herry. Ajudan tersebut lekas menangkapnya, mengamati surel tuannya, "Wiryo masih saja menganggapku belia pemberontak yang berbahaya," dia yang berucap mengarak kepada pengiriman pengawas yang dilakukan oleh kakeknya.      

"Dimana Raka menginap?" kalimat tanya ini masih berasal dari mulut Mahendra.     

"Di lantai ini," Herry yang sempat larut membaca surel mendongakkan kepalanya.     

"Kau sudah baca?" pertanyaan Mahendra disambut anggukan, "Kamu tahu, aku sedang kecewa sebab kau memilih mengikutiku?!" lanjut Mahendra.      

Herry lekas membenarkan duduknya, "Maafkan saya, tuan" dia mengucapkan permintaan maaf seraya menundukkan kepala.     

Surel di tangan Herry adalah lokasi rumah tempat disanderanya Roland, hasil penyelidikan Wisnu dan Alvin.      

Ketukan tangan Mahendra pada pahanya tertangkap.     

"Apakah saya perlu kembali ke ibu kota?" Herry buru-buru berkata guna menghentikan ritme ketukan tuannya.     

"Tidak! Aku membutuhkanmu supaya perjalananku lebih cepat dari rencana istriku. Siapkan keberangkatan ku ke Bromo," sayang sekali ritme tangan itu belum mau berhenti, "Sekaligus, pastikan kepulanganku lebih cepat,"     

Herry mengangguk, sesaat dia teringat pesan yang ingin disampaikan pada Mahendra, "Tuan, Jav"     

"Ada apa dengan Jav?"     

"Em," terdengar nada ragu di bibir Herry, permintaan Jav yang kabarnya berasal dari Gesang ditangkap ajudan tersebut sebagai permintaan kelewat batas.     

"Katakana saja!" desak Mehendra.     

"Jav meneruskan permintaan Juan (Gesang), dia berharap bisa menyembunyikan gadis tersebut dari keluarganya dan keluarga Baskoro," Ritme ketukan jari Mahendra terhenti."Dia berharap bisa menggunakan ruang medis lantai D," lanjut Herry dengan nada suara rendah.      

"Itu terlalu lancang!" ada mata biru yang menatap tajam ajudan di depannya.      

Sontak nafas Herry tersekat. Ajudan tersebut menggenggam erat handphone, mengutuk pesan dari Jav.     

"Bawa gadis itu ke markas kalian," klaster di atas gedung bertingkat Sky tower .     

"Apa??" Herry terkejut, menatap tuannya dengan seksama.      

"Klaster tersebut satu-satunya tempat yang tidak akan ditemukan Wiryo, jadi dia tidak akan ikut campur," jelas Mahendra.      

"Masalahnya, gadis itu masih membutuhkan perawatan intensif," ujar Herry, memberitahu kondisi gadis yang dimaksud.      

"Ah, benar." percakapan mereka sempat terhenti, dua mata pria yang duduk di sofa tengah mengamati pintu terbuka dimana sekelompok waitres datang dengan tujuan menyiapkan sarapan sesuai pesanan sang tuan.     

"Letakkan di dalam saja," perintah Mahendra pada para waiters, dia Kembali menatap Herry, "Bawa ke hunian ku di lantai paling atas Djoyo Rizt hotel. Sekalian pastikan dokter Martin setuju atas ide ini, karena tidak semua pasien siap dipindahkan perawatannya," lelaki bermata biru berdiri dari duduknya.     

"Baik tuan," Herry ikut berdiri, dia bergerak ringan mendekati tuannya. Ajudan tersebut mengeluarkan platinum card dari kantong celana, menyerahkan benda tersebut kepada Mahendra -termasuk handphone pada telapak tangan.     

Sebelum dia pergi sang ajudan membisikan pesan tersembunyi, "Senior Vian ingin menghubungi anda,"     

"Anna sudah ditemukan?" mata Mahendra membulat lebar.     

"Saya kurang tahu, tapi kurasa senior Vian punya alasan kenapa dia membiarkan Wisnu dan Alvin bekerja sendiri. Em, Anna tidak benar-benar menghilang, kemungkinan ada pengaruh dari tetua, dan, em, ini sedikit mustahil," Herry enggan mengungkapkan, akan tetapi alis mata Mahendra sudah menyatu tajam. Menuntut penjelasan.      

"Wajar -kah? Em.. oma Sukma ikut andil?? Bukankah ini aneh?" kalimat Herry melengkapi monolognya.      

Mahendra tertegun mendengar kalimat Herry.     

"Ah' sebentar lagi istriku bangun, aku tak bisa menghubunginya," ada desah nafas pendek dan mata yang mengembara.      

Sejujurnya Herry menahan tawa, menertawakan dirinya sendiri. Dia takut pada tuannya, tapi tuannya terlihat tak berdaya di hadapan istrinya.     

Andaikan keadaan berikut serupa dengan struktur rantai makanan, sejujurnya Herry merupakan rantai makanan paling dasar sedangkan konsumen tertinggi ialah nona dengan tubuh mungil dan selalu memasang ekspresi hangat, memilukan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.