Ciuman Pertama Aruna

III-280. Topeng Wajah



III-280. Topeng Wajah

0Ia membuat gerakan tangan, mendatangkan teman-temannya, termasuk ketua mereka, Sang penari Dwi muka.     
0

Beberapa dari mereka mendekat, "Bukan masalah pendapatan yang membuat kami bertahan, seni ini perlu diwariskan, banyak pesan-pesan baik yang harus diteruskan kepada generasi berikutnya," salah satu dari mereka yang terpanggil, berujar.     

"Dia mau memberi kita saran?" pria yang pertama kali berinteraksi dengan Tom menjelaskan kepada yang lain, yang baru mendekat.     

"Kalau mau?" tawar Tom.      

"Boleh-boleh," ujar satu di antara kelimanya. Si pemuda berperawakan gagah yang terprediksi seusia Tom, tertangkap lebih serius menanggapi tawaran tersebut.      

Entah atas dasar apa mereka begitu antusias berinteraksi dengan orang asing. Mungkin, Tom lah satu-satunya penonton dari sekian banyak hari yang sepi, yang punya minat berinteraksi dengan para penampil karya seni teater tersebut.      

Tom kian terdorong mengungkapkan pemikirannya, "Andai pentas luar biasa ini bisa dilihat khalayak umum di luar sana, aku yakin bangku-bangku di hadapan kalian bakal terisi penuh," mata kumpulan lawan bicara Tom berbinar, tak menyadari ada yang lain perlahan mendekat.      

Seorang penari dengan topeng yang masih melekat menutup wajah aslinya dan diperkenalkan sebagai ketua mereka.      

Tom sempat tersentak, tatkala wajah bertopeng tiba-tiba muncul di samping tubuhnya. Bergerak-gerak mengamati dirinya. Tentu saja wajah di balik topeng bisa melihat keberadaannya melalui celah kecil berupa lubang pada mata topeng.      

Tom memundurkan selangkah kakinya.     

"Bagaimana caranya?" Laki-laki yang terlihat paling penasaran adalah si pemuda berperawakan gagah.      

"Mengapa kalian tidak mencoba merekam pertunjukan ini dan secara masif di unggah pada media sosial. Kalian bisa mengambil foto-foto iconic di balik layar, di atas pentas, bahkan kalau perlu menjelaskan makna-makna yang tersirat dari pentas yang kalian perjuangkan. Kemudian secara teratur upload di kanal yang mendukung interaksi dengan dunia luar. Website mungkin, YouTube, instagram, dan.." Thomas mengeluarkan secarik kertas, sebuah segi empat kecil yang ternyata adalah kartu namanya.      

"Oh'," Thomas baru menyadari, harusnya ada yang berubah dari kartu namanya, "Identitas ku masih sama, kecuali pekerjaanku," ujarnya selepas pria berperawakan gagah mengamati kartu namanya, yang kemudian diserobot oleh penari bertopeng.     

Kihrani dan Tom sempat menahan tawa, bagaimana caranya wajah yang tertutupi topeng secara menyeluruh bisa membaca kartu nama itu?.     

Anehnya selepas membaca kartu identitas tersebut, si penari Dwi muka atau lebih tepatnya ketua kelompok pentas ini langsung mengambil langkah pergi.      

Bukan sekedar Tom yang mengerutkan keningnya. Kelima rekan yang berada di seputar lelaki tersebut pun ikut resah, dan raut-raut wajah tak sependapat dengan kepergian si penari Dwi muka tertangkap. Walaupun salah satu dari mereka memutuskan memburu kepergian penari tersebut. Berusaha mengkonfirmasi, apa yang terjadi sampai-sampai ketua memilih pergi?      

"Untuk apa kamu memberi kami kartu nama?" sang lelaki yang tampak dominan -alias pria seusia Tom-, mempertanyakan maksud pemberi kartu nama.      

"Hubungi saya kalau kalian sudah membuat kanal di media sosial, video-video pentas kalian bisa diamati oleh khalayak umum," jangan ditanya bagaimana Tom dengan intonasinya yang ramah bercampur gerak tubuhnya yang proposional demikian mudah menyihir lawan bicaranya.     

"Perusahaan tempat saya bekerja punya stasiun televisi, saya mengenal baik para produser disana. Mungkin saja ada yang tertarik dengan kalian. Hubungi saja saya, dengan sarat orang lain bisa menikmati pertunjukan kalian tanpa harus datang ke tempat ini," imbuhan Tom membuat beberapa pasang mata saling bertemu. Binar-binar semangat terpancar dari raut wajah mereka.      

"Aku akan menyimpan ini baik-baik," pria yang memimpin percakapan empat orang lainnya begitu senang.     

Ketika Tom menuruni tangga dan berjalan beriringan dengan Kihrani, dari balik punggungnya terdengar sendau gurau termasuk suara-suara rencana Hebat mereka.      

.     

.     

"Mengapa ayah pergi begitu saja? Kau tahu ayah, penonton baik itu menjanjikan pada kita untuk bertemu dengan produser stasiun televisi asal kita mau lebih terbuka dengan dunia luar," si pria yang detik ini terlihat duduk di dekat sang ayahnya -yang sedang duduk di depan cermin sambil membuka topeng wajah properti pentas-, menyodorkan kartu nama.      

Pria yang disapa dengan sebutan ayah sempat menatap wajah aslinya pada cermin. Sebuah tatapan dalam yang mampu membekukan bayangan maya pada benda datar dengan permukaan licin, sebelum penari Dwi muka tersebut membanting topengnya kasar ke atas meja. Hingga bunyi 'Tar' mengejutkan yang lainnya.      

Penari Dwi muka meraih kartu nama yang dipegang erat-erat putranya lalu menyobek benda tersebut menjadi dua bagian, sebelum di remas dan di lempar.      

"Tuan, sudah baik dengan kita!" gertak pria yang detik ini berdiri tegap, menatap putranya sendiri dengan ekspresi kemarahan. Hingga beberapa orang yang berada di ruangan yang sama memilih untuk pergi.     

Ruang ganti yang biasanya digunakan untuk membersihkan make up dan berganti kostum, kosong.      

Pemuda ini tidak terima dengan apa yang dilakukan ayahnya. Dia membenci ketua sekaligus penari Dwi muka yang dalam sudut pandangnya terlalu naif dalam menerima kenyataan.      

Walaupun tiga sampai dua tahun lalu ketika tempat ini direncanakan akan ditutup, yang pada akhirnya ditutup juga. Ayahnya berhasil mengusahakan jaminan uang pesangon.      

Secara serempak mereka setuju atas gerakan penolakan yang dipimpin ayahnya, bersama para pedagang, dan para pengusaha yang hidup dari taman bermain ini -termasuk kelompok seni pertunjukan yang dulunya ialah primadona taman bermain-     

Akan tetapi, dunia telah berubah selama menghilangnya sang ayah yang tiba-tiba datang dengan kabar gembiranya -taman bermain di buka kembali-, minat dan sudut pandang masyarakat kota ini kepada taman bermain yang mereka cintai ikut bergeser sebagai sekumpulan benda rongsok. Termasuk seni pertunjukan yang ikut serta dianggap kuno.      

"Terserah kau berkata apa, saran orang itu akan aku jalankan. Silahkan menjilat, kalau perlu menyembah tuanmu," ujar pemuda yang memungut kartu nama menggumpal dan memasukan pada kantong bajunya.      

Giliran pemuda itu bangkit, tamparan keras jatuh di mukanya. Keras sekali sampai para pemeran teater yang keluar dari ruangan -namun ternyata masih mengendap-endap di luar- bisa mendengarkan betapa kerasnya tamparan tersebut.      

"Aku telah mengorbankan harkat, martabat, dan keluhuran yang aku miliki sebagai manusia demi mengangkat derajat kita. Terutama derajat mu!" kalimat bernada tinggi menghantam telinga pemuda tersebut. Dadanya berdebar, untuk pertama kalinya ayah menunjukkan murka luar biasa sampai memukul wajahnya.      

Dia yang dibentak ayahnya menghirup nafas dalam-dalam, "Cobalah buka mata ayah. Siapa kita sampai ayah berani mengigau menikahkan aku dengan putri tercintanya?!" matanya merah berkaca, pada akhirnya dia memutuskan mengungkapkan kegundahan hati di dada.     

"Pak Darsono yang terhormat," dia memanggil nama ayahnya, "Kau boleh tak percaya padaku, tapi tuan yang kau ikuti itu, kuyakin bakal membuang kita ketika kita tak berguna seperti dua tahun lalu. Jadi sebagai generasi muda di kelompok seni ini, aku akan memakai caraku!" ia yang bicara sempat melangkah pergi, hingga saat pintu terbuka dan dia mendapati rekan-rekanya yang tersentak, ia kembali menatap wajah ayahnya, "Anda boleh mengaturku sebagai putra, tapi tidak dengan karirku dan orang-orang di sini. Seperti dirimu yang memperjuangkan harapan-harapanmu, aku akan melakukan hal yang sama. Memperjuangkan harapanku dan harapan komunitas seni pertunjukan kita," dia menutup kalimatnya, melenggang pergi diikuti yang lain.      

Sekilas sang penari terduduk. Dia kembali menatap wajahnya di cermin. Meraih topeng yang melambangkan wanita cantik akan tetapi culas yang berada di balik kepalanya, dan secara mengejutkan pria tersebut memecah benda datar dengan permukaan licin di hadapannya sembari berteriak hebat.      

.     

.     

"Sebenarnya apa pekerjaanmu?" Entah mengapa selepas mengamati kartu nama Thomas, Kihrani yang tak pernah peduli dengan apapun tentang lelaki tersebut -kecuali bahwa dia pria malang yang hampir terbunuh-, tergelitik untuk bertanya.      

"Sopir," singkat Thomas. Gerakan menyusup kedalam mobil, yang detik ini juga berada di hadapan Kihrani ditunjukkan lelaki tersebut.      

Gadis itu lekas diterpa kebingungan, bagaimana seorang supir memiliki kolega setara para produser stasiun TV, deretan jam tangan mewah atau klaster memukau?.      

_Dia berbohong!_ benak gadis yang detik ini terpaku berdiri di dekat mobil.      

"Hai, sudah waktunya pulang!" Tom menurunkan jendela kaca mobil, dia menggugah lamunan Kihrani.     

"Aku tahu, aku tak memiliki kesempatan kuliah, tapi bukan berarti aku bodoh!" perjalanan dua anak manusia ini di warnai kejengkelan gadis yang duduk pada kursi pengemudi, dia melipat tangannya. Membentuk simpul lambang gundah hati.      

"Baik.. baik.." pria itu tak tahan juga di diamkan. Si pemarah kali ini tak meledak-ledak akan tetapi ekspresinya jelas dia sedang marah.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.