Ciuman Pertama Aruna

III-229. Intuisi Pimpinan Penyidik



III-229. Intuisi Pimpinan Penyidik

0Hunian yang sebelumnya nampak temaram, tapi kini tiba-tiba semuanya menjadi terang. Vian mulai curiga, jangan-jangan keberadaannya sudah terendus. Sebab, cluster yang di dominasi kaca sebagai dindingnya, menyajikan gorden-gorden besar yang menutupi seluruh jendela pada malam hari. Dan dengan mudah si empunya hunian, mengintip dari salah satu celah.     
0

Lelaki bermata sendu belum bisa menengok, apa yang terjadi di dalam ruangan. Akan tetapi tidak butuh waktu lama, ia bisa melihat salah seorang penghuni keluar dari dalam cluster. Dan yang sangat mengejutkan, ada bunyi bip yang artinya, sang pemilik hunian menyalakan mobil yang berada di garasi.      

Vian merasa penghuni rumah akan pergi petang ini. Pria berperawakan tinggi tersebut berjalan mengendap-ngendap, menghindari rerumputan, supaya tarian otomatis dari air yang meliuk-liuk menyirami rumputan hijau tidak menjadi sensor keberadaannya.      

Si jaket army kembali memanjat gerbang kayu padat berwarna coklat. Lalu dia menjatuhkan diri pada sisi muka pintu masuk tersebut. Pertama yang harus di lakukan Vian adalah, mendorong motornya menyusup lebih menjauh dari pintu cluster Leona. Lantas Ia mengamati dengan seksama dari kejauhan.     

Ketika pintu gerbang di buka oleh seorang perempuan yang membawa tas di punggungnya. Sosok tersebut menjadi sangat samar, sebab jarak yang di ambil oleh Vian berada pada posisi yang kurang tepat.     

Antara Anna ataupun Leona, keduanya hampir mirip. Tidak dapat di kenali wajahnya, tatkala pengamat berada cukup jauh dari mereka.      

Setelah pintu terdorong, mobil tersebut keluar, ternyata di dalam mobil ada pengemudi yang sama perempuannya.     

Samar-samar tertangkap ketika seseorang yang berada di balik kemudi tersebut menurunkan jendela mobil kemudian bercakap sesaat. Sebelum pada akhirnya perempuan lain, yang tadi membuka pintu gerbang tertangkap menguncinya si coklat yang terbuat dari kayu padat.     

Hal yang di amati Vian berikutnya ialah, masuknya perempuan pembawa tas di punggung ke dalam mobil sedan merah. Lalu kendaraan beroda empat itu meluncur menuju arah keluar cluster.      

Vian mulai memasang chip di telinganya, ketika ia terus mencoba menghubungi bawahannya. Pimpinan divisi penyidik ini mengabarkan, bahwa anak buahnya tak perlu lagi menuju ke arah cluster -seputar tempat tinggalnya-. Target kini berada di punggung jalan.      

Mobil tersebut tidak berdesakan dengan kendaraan-kendaraan lain, sebab hari masih sangat pagi.      

Setelah cukup lama ia membuntuti mobil tersebut, Vian mulai memutar otaknya. Jelas sekali, bahwa kendaraan beroda empat tersebut menuju arah tol. Motornya, tidak bisa membuntuti -melintasi jalur tol-.     

Vian menggigit bibirnya ketika ia melihat lampu merah di depan, dan sebuah tanda sein dari mobil merah tersebut berkedip-kedip. Memberi isyarat bahwa kendaraan yang di tumpangi dua orang perempuan menuju ke arah kanan, yang artinya Menuju tol. Di mana salah satunya ialah jalur cepat ke bandara.      

Vian bergegas meng-capture mobil di hadapannya. Mengirimkan nomor polisi tersebut kepada mereka yang berjaga di ruangan Pradita. Orang-orang yang berjaga di ruang tersebut pastinya memiliki kemampuan mencari tahu kemana arah mobil ini melaju. Hal tersebut sudah menjadi keahlian mereka.      

intuisi Vian menyatakan bahwa, mobil ini tidak akan pergi kemana-mana kecuali ke arah bandara. Untuk itu dia menegaskan kepada anak buahnya melalui chip yang ada di telinga, supaya langsung mengarah menuju bandara internasional.      

Sedangkan pimpinan kepala divisi tersebut alias Vian mengusung kenekatan nya sendiri. Dia memutuskan; malam ini, apa pun caranya, ia akan menerobos gerbang tol untuk membuntuti mobil merah tersebut.      

Tol di kota ini kesemuanya telah berlaku sistem otomatis, tentu Vian memiliki kartu yang dapat digunakan untuk alat pembayaran pada pintu tol otomatis.     

Vian mencukupkan pikirannya, ia tidak peduli lagi seandainya perilakunya berbuntut panjang, sebab capture dirinya bakal tertangkap boleh sistem keamanan yang terdapat pada fasilitas gerbang pintu tol.      

***     

Sebuah kuda besi baja nekat menghempas kabut pagi yang dingin di bulan Desember. Terdengar deru bising suara motor yang di pacu dengan kecepatan tinggi, menyapa gendang telinga saat ini. Ia melaju, membelah jalanan guna mengejar mobil berwarna merah.     

Mungkin dia kebal terhadap hawa dingin?, Ataukah bomber army yang di kenakan, adalah jaket tertebal yang pernah ada?.     

Helm hitam pekat menutup seluruh wajahnya. Tak terkecuali celah di antara mulut dan hidung, yang ia tutup sempurna untuk menghalau dingin di pagi buta.     

Vian melaju dan terus memacu motornya, layaknya kendaraan milik seorang superhero yang mempunyai keahlian khusus, dan memiliki ketahanan yang luar biasa.      

Sebuah pemandangan yang aneh, tatkala ada kendaraan beroda dua secara berani berada di jalan tol. Sejujurnya Vian sudah jadi tontonan, oleh mereka yang memacu mobil sama cepatnya di belakang laju motor tersebut. Bahkan salah satu kendaraan beroda empat di belakangnya, nampak menyalakan benda yang secara otomatis merekam pemandangan di hadapannya.     

Sang pengemudi motor nampak tak ambil pusing terhadap segala hal yang terjadi. Kecuali dia harus menangkap dua orang perempuan, yang berada di dalam mobil merah yang sedang ia kejar.     

Si jaket bomber army mulai mengurangi kecepatan motornya, ketika mendekati pintu keluar tol. Sebab, mobil merah yang ada di hadapannya-pun menurunkan laju kendaraan tersebut.     

Tak lama keluar dari pintu tol tersebut, Vian konsisten mengikuti arah mobil merah melaju.     

Dan tebakan Vian tak meleset sedikitpun, mobil merah menurunkan perempuan. Kali ini dia beranikan diri untuk mendekat. Ia mengamati dengan lamat-lamat kendaraan beroda empat tersebut, beserta 2 perempuan yang menurunkan koper mereka.      

"Gila!" umpat kepala divisi penyidik, ketika memarkir motor bersama dengan mobil merah di depan yang mulai melaju menuju parkiran.      

Selepasnya pria ini mengendap-ngendap, mengikuti langkah kaki perempuan yang mengenakan celana dan sebuah blazer yang senada dengan celananya.     

Fashion Leona selalu tampil modis dengan sedikit sentuhan tomboy.     

Sebelum targetnya mendekati lobi bandara internasional, Vian tahu dia harus meringkus salah satu dari mereka.      

Dia memencet chip di telinga dan sempat memaki anak buahnya yang mengatakan 5 menit lagi baru sampai tempat tujuan.      

Vian berjalan kian mendekat. Langkah kakinya di usahakan tak terdengar sedikit-pun, bahkan kalau perlu oleh dirinya sendiri. Menangkap Leona di dalam keramaian lobi akan menjadi tontonan banyak orang. Untuk itu ia merasa parkiran mobil ini adalah tempat yang paling tepat.      

Pada detik ketiga ketika Leona menoleh -karena merasa dirinya di ikuti oleh seseorang, Vian mencengkram erat perempuan tersebut.     

Secara otomatis Leona berontak bukan main. Perempuan ini juga memiliki keahlian yang sama, dia seorang petarung yang hebat dan mampu mengoperasikan senjata api.      

Sayang sekali Vian sudah menguncinya terlebih dahulu. Perempuan ini di seret menuju celah-celah kendaraan yang terparkir. Mereka berada di antara celah yang terdekat dari mobil merah.     

Sedangkan satu perempuan lain yang bersama leona, nampak melarikan diri menuju arah lain di sekitar bandara. Ia bergegas pergi setelah samar-samar mendengar teriakan Leo.     

"Apa maumu Vian?!! Kenapa kau seperti ini padaku?" dia yang di cengkram erat mengajukan pertanyaan.     

Vian tidak menjawab apapun umpatan-umpatan yang di hujankan Leona kepadanya. Makian yang keluar dari celah-celah tangan yang sempat di gigit Leo beberapa kali.      

Ketika perempuan ini berteriak, Vian akan membungkamnya dengan tangannya sendiri. Kemudian Leo akan bergerak, berusaha meloloskan bibirnya dengan menggigit tangan tersebut, lalu kembali memaki pria bermata sendu.     

Vian sama sekali tidak peduli atas apa yang terjadi di antara dia dan Leona. Pimpinan kepala divisi tersebut tak masalah, memegangi Leo hampir 10 menit. Sampai anak buahnya yang ada di ujung sana, menyatakan telah berhasil mengejar satu perempuan lain. Dia yang sedang berlari di antara terminal-terminal yang di sajikan oleh bandara.      

"Bagus! Kakakmu sudah tertangkap," Vian akhirnya berdiri dengan posisi yang sama -mengunci Leo-.      

Tak lama kemudian nampak dua orang anak buah Vian datang. Mereka mengikat Leo, lalu menariknya menuju mobil di salah satu sudut parkiran.     

Vian sempat melihat mata Nana yang menyala -menatapnya tajam, lalu bergerak memberontak dengan brutal, ingin sekali melarikan diri.      

"Aku hanya ingin kalian membuat keterangan, itu saja," pria berhidung lancip dengan perawakan tinggi sebut kembali memicingkan mata, menyajikan senyuman.      

"Membuat suatu pernyataan bukan lah hal yang besar, kalian tidak perlu menampakan kemarahan seperti itu," kalimat Vian berikutnya terdengar seperti ejekan.      

Lalu pria ini mengeluarkan lipatan-lipatan kertas dari jaket bomber army nya. "Aku hanya ingin tahu kemana larinya D103?"     

Vian seperti sedang bercanda dengan dirinya sendiri. Dia menutupi niat sesungguhnya -niat untuk meringkus Anna, dan menjadikan adiknya Leona sebagai saksi-.      

Akan tetapi mulut seorang penyidik ini seolah hanya ingin mencari tahu kemana perginya D103. Dan si cerdas Leona maupun Anna mampu memahami dengan jeli ketika D103 di temukan, hal itu sama saja dengan mengungkap banyak kejadian yang bermuara kepada salah satu dari mereka berdua.      

Pintu mobil yang membawa tahanan di pukul ringan, sebelum meluncur menuju ke markas bawah tanah mereka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.