Ciuman Pertama Aruna

III-260. Pikiran Bodoh



III-260. Pikiran Bodoh

0"Kau sama sekali tak berubah, Kiki," ada senyum menyeringai lalu tatapan mata lekat menelisik gadis yang kini tangkas membuat sendokan, menyajikan nasi di atas piring masing-masing anggota keluarganya.      
0

Dia yang mendapatkan tatapan, sekedar tersenyum ringan "Apa segini cukup?" tawarnya pada Thomas.      

"Ya, sudah cukup" ucap Thomas, "Dimana bapak?"      

"Sudah berangkat pagi-pagi," jawabnya ringan.      

"Kemana?"     

"Kerja," sahut Kiki, sejalan tangannya yang sedikit ragu untuk meletakkan piring berisi nasi di hadapan Thom.      

Mata Thom terbuka lebih lebar, dia sedikit terkejut mendengar kabar bahwa bapak Kiki berangkat pagi-pagi untuk bekerja.     

Dulu saat pertama kali datang ke rumah ini yang paling dia ingat adalah seorang pria pupus yang dikelilingi tiga anak bersemangat. Terutama anak sulungnya, si gadis galak yang tiap hari dan setiap saat memaki kemurungan bapaknya.      

"Ternyata bapak sudah berubah," ucapan Thom sembari mengambil lauk pauk dihadapannya. Tak lama kemudian menyuapkan sendokan pertama -tanda mulai menikmati sarapannya-.      

"Mau bagaimana lagi? Aku lebih banyak di rumah sekarang," suara lirih gadis berambut hitam yang tergulung tersebut, berhasil mengingatkan hal penting yang seharusnya segera disampaikan oleh Thom.      

"Ah' aku lupa. Aku datang kemari karena permintaan nona Aruna," Thom menghentikan makannya, begitu juga dengan Kiki yang terhenyak.      

"Kalian berdua akhirnya saling bertemu?" pertanyaan Kiki, mengkonfirmasi rencana mereka malam itu.      

"Iya, benar. Tapi sebenarnya, aku bisa bebas bukan sekedar karena berjumpa dengannya. Aku sudah dinyatakan bebas karena bantuan teman-temanku, salah satunya yang duduk di hadapanku," jawab Thoms sembari memandang lekat gadis berambut hitam.      

"Teman.." suara Kiki terdengar lirih. Sesaat kemudian dia tersenyum, senyum yang terkesan sedikit kaku.      

"Ya, teman terbaik. Pembawa keberuntunganku," dia yang bicara ikut tersenyum. Seolah menertawakan senyum kaku yang tersaji.     

"Dan, hari ini kamu harus ikut denganku. Sepertinya kamu akan menjalani pelatihan awal sebagai.. Ah' sebagai apa ya? aku -pun tak tahu," sambung Thom, menyampaikan pesan dari Aruna.      

"Pelatihan?" Kiki membulatkan matanya lebar-lebar.      

"Ya, nona Aruna memintaku mempertemukanmu dengan Susi untuk mendapatkan pelatihan dasar. Dia adalah ajudan senior para perempuan di keluarga Djoyodiningrat," jelas Thom.      

"Ajudan senior?" Kiki mengulangi ucapan Thom sebagai bentuk rasa penasarannya.      

"Ya, ajudan" ada kerutan di dahi Thom, "Em.. " kepala pria itu tertangkap sedikit miring -tanda dia berpikir cukup jeli-, "Mana mungkin gadis sepertimu akan dijadikan ajudan? Kamu tidak pandai beladiri, keahlianmu adalah marah dan memaki,"      

"THOMAS!!!" Kiki menggebrak meja tak terima.      

Dan secara spontan terdengar tawa dari adik-adiknya, termasuk Thom.      

"Keahlian yang tak mungkin diragukan lagi," Riki bangkit dari duduknya, menyerobot tangan Kiki. Sejalan berikutnya meraih tangan Thom bersalaman, pamit berangkat sekolah.      

"Kaakk, tungguin Lala.." dua anak itu kabur sebelum dimarahi kakaknya.      

***     

"Graziella akan datang," Suara berat dari lelaki, membuka percakapan.      

"Ya, aku tahu" Sahut lawan bicaranya.      

"Dari mana kamu tahu?" Wiryo baru saja bangkit dari tidurnya, tatkala istrinya menata vitamin dan beberapa pil yang harus diminum suaminya. Kegiatan rutin setiap bangun tidur yang selalu ia siapkan di atas nakas, tak lupa pula dengan air putih satu gelas penuh yang tersaji.      

"Dia sendiri yang menghubungiku," tampaknya kesibukan Sukma belum usai sampai di situ. Perempuan paruh baya tersebut terlihat memasuki lorong, sekitar tiga menit kemudian keluar dengan membawa pakaian. Tampak pula ada sebuah luaran tebal yang akan menjadi outfit suaminya pagi ini.      

"Kenapa kamu menyiapkan jaketku?" pertanyaan dari Wiryo, ketika melihat benda yang beliau maksud.      

"Kamu tidak menjemputnya di bandara?" pertanyaan dari Sukma, sedikit terheran.      

"Tentu saja tidak," dengan gerakan ringan Wiryo meminta sukma mendekatkan kursi rodanya. Disaat benda tersebut didekatkan, ada gerakan menyentuh tangan sukma yang melekat pada pegangan kursi roda, "Dia bisa datang sendiri ke rumah ini, buat apa dijemput?" tepukan ringan dari lelaki tersebut mendapatkan tatapan.      

"Oh' okey. Aku harus siapkan jamuan yang baik untuk tamu kita," Sukma hendak beranjak dari tempatnya berdiri, ketika Wiryo malah meraih tangannya.      

"Duduklah sebentar disini," mata tua itu menatap manik perempuan yang bahkan masih tertangkap sinar ayunya, walaupun usia sudah memberinya banyak kerutan di wajah.      

"Ayolah, duduk!" Dia memerintah, sorot matanya menandakan tak menerima penolakan "Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu!" Suaranya tegas, siapapun yang mendengar tak akan bisa membantah.      

"Huuh," dengan hembusan nafas, Sukma mengikuti permintaan suaminya.      

"Aku tidak pernah tidur dengannya. Sekalipun, tidak pernah!" Tegas, penuh penekanan dan terdengar meyakinkan.      

Deg     

Sepertinya ada sesuatu yang mengusik benak lelaki paruh baya tersebut, sehingga masa lalu mereka dibuka kembali oleh Wiryo.      

"Aku sudah tak peduli, dan tidak mau lagi memikirkannya" Sukma paham, mereka cukup tua untuk membahas hal-hal yang sudah berlalu di usia senja.      

"Ya! aku tahu. Sayangnya dulu aku terlalu sibuk, bahkan sering kali tak sempat untuk sekedar memikirkan perasaanmu," ucapan Wiryo menimbulkan kekeh tawa Sukma. Lucu baginya membahas sesuatu dimasa lalu.      

"Sekarang waktuku lebih banyak, dan tiba-tiba saja aku mengingat tentang banyak hal yang perlahan-lahan harus diluruskan," Wiryo yang terkenal kaku, secara mengejutkan merengkuh bahu istrinya. Tindakan tersebut, mampu membuat mulut Sukma ternganga.     

Pria kaku ini bisa juga bersikap sedikit hangat setelah puluhan tahun mereka menikah. Wajah tenganga tersebut berubah menjadi kekeh tawa ringan, karena perilaku Wiryo sedikit menggelikan bagi Sukma. Baginya (Sukma), tindak tanduk yang demikian terkategori 'kedaluwarsa'.      

"Jangan tertawa. Aku sedang berusaha mengikuti," Sahut Wiryo, sejalan melepas tangan di bahu Sukma "Menirukan Hendra , ternyata ide yang buruk," dia yang bicara mengangkat bahunya.      

"Jangan bilang, kamu diam-diam memperhatikan cucumu?" Sukma tampak terheran mendengar pernyataan Wiryo.      

"Aku selalu menyayangi dirinya," tukas Wiryo. "Dan, menyayangimu" Lanjutnya, sembari menatap lekat netra perempuan ayu yang menjadi istrinya.      

Hening, tak ada sahutan dari Sukma.      

"Andai kalian paham," Sungguh sulit bagi Wiryo mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya menjadi kalimat hangat yang bisa dirangkai oleh bibir.      

Sukma mengangguk ringan "Jangan khawatir. Aku tahu, kamu tak pernah mengkhianatiku,"      

"Syukurlah," Ada senyum kecil dari lelaki paruh baya.      

"Bahkan kamar ini, jika barang-barang di dalamnya hidup dan bisa bersaksi, mereka semua tahu: Wiryo pemegang janji terbaik. Jadi buat apa aku khawatir kamu akan menghianati ikrar pernikahan kita," Monolog Sukma terdengar melebih-lebihkan, akan tetapi benar adanya -Wiryo pemegang janji terbaik-.      

"Lalu, kenapa dulu kau terlihat sangat tidak percaya diri dihadapan Graziella??" suara Wiryo, mengutarakan sesuatu yang mengusik benaknya.      

"Karena, aku yang dulu bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan perempuan Milan. Perempuan yang membantumu menjalankan bisnis," Sukma membuka diri untuk mengakui isi hatinya kala dia sempat bersitegang atas kehadiran Graziella dalam hidup Wiryo, sang suami.      

"Walaupun berpuluh-puluh kali kau berpergian dengannya, sekali -pun aku tak pernah peduli. Rumor di luar sana juga bukan hal penting untuk ku. Aku bersedih waktu itu, disebabkan oleh pikiran bodohku sendiri," monolog Sukma mengutarakan semuanya.      

"Pikiran bodoh?" tanya Wiryo heran.      

"Pikiran rata-rata seorang istri ketika lelah dengan hidupnya. Merasa keberadaannya hanya dibutuhkan saat suaminya ingin makanan dan ingin tidur dengannya," enteng Sukma bicara.      

"Dulu, isi kepalamu seburuk itu?" Terkejut bukan main Wiryo, mendengar ungkapan isi hati istrinya.      

"Ya!"      

"Kenapa?"      

"Karena kau pulang kerumah ini hanya untuk tidur denganku, lalu paginya sarapan dan menghilang lagi!! puas!!" Sukma menyemburkan kekesalan masa mudanya menjadi istri Wiryo.      

"Karena aku sangat sibuk, apa kau tak tahu??" dia yang merasa terpojok membuat pembelaan.      

"Mana aku tahu! Kamu menikahi anak remaja yang bahkan masih.. ah sudahlah," Sukma bangkit dari duduknya, "Aku takut kita berakhir dengan pertengkaran,"      

"Hehe.." Wiryo menertawakan ekspresi istrinya yang belum banyak berubah. Ekspresi jengkel bercampur takut teraduk jadi satu dan berujung pasrah.      

"Beritahu Andos, biar dia membantuku!" perintah Wiryo kepada Sukma.      

Ketika Sukma hendak beranjak, Wiryo kembali mengeluarkan suaranya "Tunggu! kau saja yang membantuku!"      

"Aku harus menyiapkan jamuan" sahut Sukma, menolehkan kepalanya -memandang Wiryo.      

"Biar gayatri yang menyiapkannya," lelaki paruh baya ini masih bersikeras.      

"Gayatri sendang keluar, ada keperluan,"       

"Apa asisten rumah induk tak bisa bekerja tanpa bimbinganmu?" Dan dia yang tak bisa ditolak, mempunyai banyak cara untuk mendapatkan keinginannya.      

"Baiklah. Baik, tuan!" ketus Sukma, akhirnya mengalah pada lelaki keras kepala yang juga suaminya.      

***     

"Kamu yakin, caramu ini sudah tepat?!"      

"Ayolah, bantu kami, please.." tangan Diana digenggam seseorang dengan mata berbinar, penuh harap.      

"Okey, okey! Berikan obatmu padaku," lawan bicara Diana tersenyum senang, menyerahkan Benzodiazepine pada perempuan yang memakai jas putih tersebut "Aku tidak akan ikut campur setelah ini!"      

"Iya! Kami yang akan menanggung segala resikonya," Dia yang menatap lekat Diana, mengumbar ekspresi penuh makna.      

"Nathasya," panggil Diana pada saluran telepon di mejanya, "Minta Tio membawa Nana keruang terapis," sejalan dengan diletakkannya gagang telepon, seseorang di hadapan Diana menyodorkan amplop coklat. Jelas isinya adalah uang.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.