Ciuman Pertama Aruna

III-192. Monolog Berantakan



III-192. Monolog Berantakan

0"Sekretaris.. apa dia sekertaris," rasanya seluruh tubuh aruna dihantam lelah, dan kakinya lemas seketika.      
0

"Oh' iya.. itu sebutannya.."     

"ting!" pintu lift terbuka.       

"ARUNA!!" Hendra sudah menunggu di luar pintu lift bersama Alvin dan tentu saja ajudan yang lain. Wajahnya suram bukan main dia seperti menyimpan amarah yang siap di hempas kepada istrinya.      

Nafasnya naik turun, matanya memerah, raut wajahnya dipenuhi guratan tegas. Hendra mencengkeram pintu lift yang terbuka.      

Aruna yang gemetaran selepas mendengarkan informasi dari Kihrani. Berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Perempuan tersebut berjuang untuk menyajikan senyum termanis. Menatap Kihrani penuh isyarat. "kihran, Terima kasih banyak,"      

Kihran mengerutkan kening, apa daya gadis tersebut harus berupaya menelan rasa tidak suka dengan kata 'terima kasih' dalam-dalam. Dan detik ini harusnya Kihrani membuka mulutnya untuk membantu Thomas. Sebab tuan muda yang ada di dalam cerita Thomas berdiri di hadapannya.      

Anehnya gadis pemberani tersebut tiba-tiba kehilangan nyali, terlebih ketika dia menoleh kepada nona Aruna. Perempuan tersebut memberi kode 2 jari tangan. Kode berupa gerakan jari telunjuk dan jari tengah yang menggambarkan seolah-olah seseorang berlari pada permukaan piyama di atas paha.      

Aruna merasakan gadis di dekatnya tidak sadar bahwa ada seseorang yang siap meledak menyemburkan kemarahannya. Aruna bergerak lambat meraba lengan atas Kihrani, "sudah malam, baiknya cepat pulang,"     

"Tuan.. " ini suara Kihrani menyapa Mahendra.     

Aruna lekas mencengkram lengan tersebut, "Please, pergi!" perempuan tersebut berbisik namun nadanya jelas dan tegas. Berpadu dengan nafas lelah serta tangan gemetar.      

"sampai jumpa Ran," Aruna melepaskan cengkraman tangan di lengan Kihrani. Gadis itu mengangguk, setelah memahami maksud Aruna.      

"biarkan temanku keluar Hendra.. "      

"beri aku alasan!, Kenapa kau pergi seenakmu SENDIRI!" Hendra membentak bergerak masuk ke dalam lift. Aruna mendorong Kihrani, mumpung ada celah dan kesempatan di sana. Tepat ketika gadis tersebut  terbebas dari ruang kotak -lift. Aruna memencet tombol tutup, lalu memastikan life bergerak naik.      

"siapa dia?" Mahendra sempat menoleh ke arah perginya Kihrani, Aruna menggeleng ringan.     

"Kau mengunciku di kamar, hanya demi dia?  Demi mengiringi kepulangannya? Aneh sekali kau ini!!" Mahendra suguhan marah besar. Aruna kian sayu memandang suaminya kakinya terasa lemas.     

"KEPUTUSAN MACAM APA ITU!!"      

"BRUK..!" Istri Mahendra pingsan.      

***     

Aroma segar, aroma ruangan yang tak asing baginya. Aruna terdorong untuk bergerak lambat mencari rasa yang lebih nyaman dan dan menenangkan.      

Telinganya mulai mendengar suara burung berkicau dari jendela. Musik gesekan daun pun terdengar. Seperti suasana kamarnya,  kamar tempat dimana dia menghabiskan malam bersama suaminya dan terbangun di pagi hari.      

_ini bukan hotel_ "huuuh.." perempuan membuka matanya seiring nafas yang terhembus. Dia baru menyadari kalau dirinya pingsan semalam, kehilangan tenaga setelah diterpa informasi luar biasa beratnya untuk dicerna kepala.      

"sudah bangun?" suara tegas penuh penekanan. Tampaknya Mahendra masih marah sebab kejadian semalam.      

Ternyata benar dirinya sudah berada di kamar rumah induk.      

"kau mau minum?" Mahendra memanggilnya dengan sebutan 'kau' dan tidak ada kata 'sayang' dibelakangnya. Tak perlu berpikir ulang  untuk menduga bahwa Mahendra masih diliputi kemarahan besar. Aruna tak berselera mengatakan iya -ingin minum-.     

Sama seperti Aruna yang  belum mau menatap Mahendra, bibir Aruna juga masih enggan bicara. walaupun secara tidak langsung intuisinya menyadari Mahendra detik ini tengah mengamatinya. suaminya kemungkinan besar tidak tidur semalaman guna menunggunya bangun. Ia seringkali seperti itu tiap Aruna mulai menunjukkan tanda-tanda tidak sehat apalagi pingsan.      

Dan biasanya Aruna akan tersentuh. Entah apa yang terjadi, hatinya beku hari ini, tidak ada rasa tersentuh sama sekali. Aruna memilih memutar tubuhnya ke arah yang berlawanan dari keberadaan Mahendra yang duduk di sofa.      

Suasana kamar mewah tersebut kembali membeku lama, sampai akhirnya kecamuk yang memenuhi isi kepala laki-laki bermata biru tak tertahankan.      

"aku tahu kau tidak cerdas, tapi semalam kau sungguh terlalu bodoh!" Mahendra bangkit dari tempat duduknya. Aruna tahu Mahendra punya cara menggunakan kata-kata kasar dengan nada sempurna. Terlebih saat dia marah.     

"Aku memang bodoh, karenamu aku kelihatan kian bodoh," Aruna membela diri dengan kalimat aneh.      

"Apa kau tak sadar? Tindakanmu semalam menimbulkan kegaduhan!!" Mahendra duduk di tepian Rajang, tepat di belakang punggung Aruna yang tengah terbaring menghadap Arah lain.      

"Apa kau tidak sadar ketidak peka-an mu membuatku begini!?" kalimat ambigu lagi-lagi meluncur dari bibir Aruna.      

"Aku atau kau yang harusnya peka?" suara Mahendra konsisten meninggi di akhir ucapannya.      

"Iya.. aku atau kau yang harusnya peka??" Aruna masih belum mau melihat suaminya.      

"Kau.. kau ini kenapa Aruna?" Alis Mahendra kian mengerut. Rabaan tangannya menyentuh istrinya sengaja di sisihkan oleh perempuan tersebut, Aruna bergerak menjauh tiap kali Hendra menyentuhnya.     

"Aku tidak kenapa-napa, aku normal, aku juga tidak berhalusinasi waktu itu. Aku bicara fakta!" pikiran perempuan ini masih tersita pada kotak lift bersama penjelasan-penjelasan Kihrani, bahwa dia bukan satu-satunya korban sekretaris suaminya. Dan penjelasannya di depan penyidik kepolisian yang sampai detik ini belum ada perkembangannya bukan lah halusinasinya sendiri. Kemarahan Aruna kala itu sebagian ikut serta dalam kemarahannya pagi ini.     

"Aruna? Apa yang terjadi padamu?" Isi kepala Mahendra lebih kepada keputusan-keputusan yang berbahaya yang tampaknya tidak disadari istrinya.      

"Tahukah kamu keputusan janggal mu membuatku men-skors Alvin hari ini, entah Aku menginginkan Ajudan itu lagi atau tidak," Mahendra menyentuh punggung Aruna sekali lagi. spontan perempuan hamil tersebut merebahkan tubuhnya dan menangkap telapak tangan Mahendra. Aruna membuang telapak tangan suaminya. Perempuan tersebut menepis sekali lagi  tangan suaminya yang berusaha mendekatinya tanpa putus asa. Tapi Aruna konsisten tidak ingin disentuh suaminya sendiri.     

Aruna menyadari kali ini emosinya menjadi berbeda. Sungguh pagi ini dirinya tidak tahan. bagaimana bisa Hendra masih mempertahankan emosi kemarahannya, padahal tindakannya semalam untuk mencari informasi yang sejalan dengan kasus penyerangan dirinya.      

"Apa maksudmu?!" suara Mahendra meninggi walaupun dia masih berupaya menekannya dalam-dalam.      

"Keluarlah! Aku ingin sendirian," volume suara Aruna sama meningginya.     

"yang benar saja, -Aruna?? Kau berani berkata seperti itu pada suami mu?!" Mahendra muntap.      

"Aku ingin sendirian dulu! Aku capek mendengarkan mu marah-marah!" Hormon yang tidak stabil menjadi bahan bakar yang sempurna untuk merubah karakter perempuan. Aruna yang biasanya lebih bersabar menghadapi suaminya yang keras kepala, hari ini kesabaran itu tidak nampak padanya.      

"sama dong! Aku juga capek! kian ke sini, kau kian sulit diatur," Mahendra lelah secara fisik dan psikis setelah melihat istrinya pingsan dengan riwayat kurang sehat. Sebab rasa kalut, dan takut bercampur jadi satu. Hendra putuskan tidak tidur semalaman. Mahendra memang paranoid terhadap perempuan sakit dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.      

"Oh, begitu ya.." Aruna bangkit dari duduknya. "Aku memang sulit diatur sejak awal.. sejak hari pertama pernikahan kita, -baru sadar sekarang? Harusnya kau sadar sejak dulu, Dan Menikahi perempuan yang layak untukmu! Kalau perlu nikahin sekretarismu!" Mata Mahendra yang sayu sebab belum tidur, berubah menyala-nyala. Pria tersebut tak pernah menduga Aruna bisa membalas kalimat dengan ungkapan seperti itu.      

"bicara apa kau ini?!" amuk Mahendra.      

"Bicara kenyataan... Aku bebanmu kan? jujur saja! Tak perlu ditutup-tutupi. Aku menyumbang kemerosotan saham. Aku bodoh! Tak cakap menjadi pendamping mu. Dan saat ini  pekerjaanmu kacau karena kau memilih menjagaku. Mengaku saja.. tumpahkan kekesalan mu.. tak usah cari alasan lain" monolog berantakan ibu hamil yang berpadu dengan nafas ngos-ngosan meluluhkan hati seseorang.      

"Aruna.."     

"Jangan sentuh aku! Pergilah dari sini aku mau sendirian!" Rambut Aruna yang sudah mulai memanjang tersebut dia sibak ke belakang.      

"Harusnya saat ini aku yang marah sebab kelakuanmu, kenapa kau malah mengusirku?" Mahendra bicara dengan intonasi lebih normal.      

"Baik! Biar aku saja yang keluar.." Aruna bangkit dari duduknya dia kembali merasakan pening di kepala. Otomatis Mahendra mendekatinya menangkap punggungnya. "Aku bilang jangan sentuh aku!" Aruna melepaskan diri dari rengkuhan suaminya. Perempuan ini berjalan menuju Arah pintu dan tentu saja Mahendra tak terima dia khawatir luar biasa.      

Di tariklah tangan tersebut hingga terhempas ke dalam pelukannya. "Sudah cukup, aku yang salah.  Aku tak sanggup harus bertengkar denganmu, aku yang tak bisa membahagiakan istriku, memberi rasa aman saja aku tak mampu, yang bisa aku lakukan sekedar mengungkung mu dalam kekhawatiran ku sendiri," Mahendra mendekap erat tubuh istrinya. Tak diizinkan bergerak.     

"bukan karena kamu yang tak cakap.. aku yang tak bisa membawamu bepergian bersamaku.."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.