Ciuman Pertama Aruna

III-194. Kotak Beludru



III-194. Kotak Beludru

0Tidak ada yang bisa mengerti hati Aruna. Dua asisten yang menundukkan wajahnya sontak mendongak, saling menatap -hampir tak percaya- nona polos istri tuan muda, kini menjadi orang yang berbeda. Perempuan yang menjelma sebagai pribadi superior secara tiba-tiba.      
0

"Kenapa? Kurang banyak? Cobalah kalian buka dulu.."     

Salah satu asisten rumah tangga yang menjadi pendukung Anna mencoba mendekati kota tersebut. Kotak beludru berwarna navy dia buka perlahan, si asisten tersentak -gelang tangan emas dengan bandul berkilauan.     

" kalian bekerja satu tahun pun, tak akan sanggup membelinya. Kecuali kedua gaji kalian di gabungkan, barulah bisa," ujar Aruna. Suaranya datar di barengi ekspresi santai. Istri Mahendra memandang bergantian kedua assistant dengan mengusung tatapan penuh makna. Benda-benda yang tersaji adalah kado pernikahan dari kolega Djoyodiningrat yang tak tersentuh semenjak pertama kali memenuhi salah satu lemari besar di ruang display baju.      

"Nona.. saya.." ini suara salah satu dari mereka. Asisten yang berada di sisi kanan menjatuhkan dirinya di atas karpet yang menghiasi permukaan di bawah meja dan sofa tempat duduk mereka. Asisten yang sejak awal lebih ketakutan dari yang satunya tengah menyentuhkan lututnya ke lantai. Asisten ini tidak melirik sedikitpun kota bludru. "-mohon ampuni saya nona, kesetiaan saya tidak perlu di beli.. saya akan tunduk pada nona," dia berlutut dia hadapan Aruna.      

Aruna menarik bibirnya, senyum tipis itu berpindah arah ke pada perempuan di sisi kiri yang masih asyik mengamati isi kotak beludru.      

Tahu Aruna menoleh kepadanya, terlebih temannya menjatuhkan diri di lantai. Asisten tersebut buru-buru meletakkan benda yang ia Kagumi dan ikut-ikutan meniru perilaku temannya.      

"jadi, aku bisa membeli kesetiaan kalian?" tanya Aruna. Yang satu konsisten mengatakan bahwa ia tak perlu dibeli. Yang satunya lebih banyak diam. Dengan anak mata melirik kotak beludru.      

"baiklah, duduklah yang benar.. Aku ingin tahu, seberapa layak kesetiaan kalian aku beli?" mendengar monolog Aruna keduanya saling memandang untuk kesekian kali.      

"apakah di antara kalian, ada yang pernah masuk ke kamarku?" Aruna mendapatkan gelengan dari keduanya.     

"oh, begitu ya.." Aruna terlihat berfikir sejenak.      

"lalu, apa yang kalian lakukan selama ini -bersama Anna?" tanya Aruna berikutnya.      

"Membantu nona Anna menyiapkan kebutuhan tuan Mahendra," jelas salah satu dari mereka, lebih tepatnya si pemberani.      

"Hanya itu?" Aruna bertanya sekali lagi.      

"sungguh hanya itu nona.. tidak ada yang lain" si penakut melengkapi penjelasan temannya.      

"apa saja yang kalian siapkan untuk suamiku dengan membantu Anna?" Aruna meminta penjelasan yang terperinci, gerak-gerik nona ini sangat berbeda dari kebiasaannya yang terlihat amat ramah serta mustahil memojokkan seseorang seperti yang terlihat detik ini.      

"Baju suami anda," jawab singkat si pemberani.      

"sebelum suami anda berangkat bekerja, tuan akan menggunakan tujuh outfit yang mengusung tema dan warna senada. kami membantu nona Nana menyiapkannya," lagi-lagi si penakut melengkapi.      

"Artinya kalian pernah masuk di kamar ini?" Aruna mengerutkan keningnya.      

"Tidak nona, kamar ini di kosongkan, ketika anda keluar dari rumah ini. tuan tidur di kamar lain dekat kamar nona Anna,"      

"Oh'," Aruna menatap mereka lebih lamat, "lalu siapa yang merapikan baju-bajuku? make up ku? seluruh benda yang aku miliki saat aku pulang kerumah orang tuaku?" suara Aruna tajam mengintimidasi.Tubuh perempuan hamil ini tak lebih tinggi, maupun terlihat lebih sehat. akan tetapi istri Mahendra benar-benar terlihat bernyali sekali hari ini.      

"Saya tidak melakukannya," si penakut menjawab lebih dahulu.      

"Aku ikut membantunya," si pemberani terdengar jujur.      

"kau suka dengan benda yang aku siapkan untukmu?" tanya Aruna kepada asisten yang terdengar lebih jujur. dan dengan beraninya dia mengangguk.     

"Ambil kota beludru itu," asisten yang sejak tadi melihat penuh minat terhadap pemberian Aruna segera meraih kotak perhiasan navi dan memasukannya kedalam saku celananya.      

"kamu mau lebih banyak lagi?" tantang Aruna. dia terlihat berfikir sejenak.      

"Apa yang harus aku lakukan untuk anda?" Asisten yang duduk di sisi kiri Aruna memang terlihat lebih cerdas. Aruna berharap bisa menguasainya dari pada asisten tersebut dikuasai Anna.      

"Ambil barang-barang milikku di kamar Anna, Ambil sedikit demi sedikit. semua barang-barangku yang dia ambil cukup rebut kembali, lalu tunjukkan padaku! setelah itu benda tersebut boleh kamu manfaatkan. bahkan kamu buang -pun tak masalah," Aruna tersenyum tipis memainkan rambutnya.      

"Termasuk benda-benda anda yang bermerek?" tanya asisten tersebut.      

"termasuk jam tangan atau tas mewahku yang dia ambil, bahkan baju-bajuku yang di limited edition yang ada di lemarinya. itu semua akan jadi hak mu," dia yang diajak bicara Aruna berbinar seketika.      

"Bagaimana jika saya di tuduh pencuri??" si Asisten kembali bertanya. Dia butuh keamanan.      

"bilang saja aku yang menyuruhmu," jawab Aruna.      

"kalau nona Nana mengeluh pada tetua Wiryo, bagaimana?" Aruna tertawa mendengarkan kalimat asisten tersebut.      

"Apa menurutmu posisinya Nana lebih luar biasa di banding aku," perempuan dengan perut yang mulai membesar tersebut merebahkan punggungnya, Aruna mengelus perutnya.      

Asisten yang menjadi lawan bicara Aruna menarik bibirnya, tersenyum lurus, dia memahami kekuatan yang di miliki istri tuan muda. Aruna tampak lebih mungil di bandingkan Anna. tapi tak ada yang bisa mengelak posisinya yang lebih magis dari siapa pun di lingkaran keluarga Djoyodiningrat.      

"Boleh saya realisasikan sekarang -keinginan anda nona?"      

"silahkan!" Asisten yang tampak berani tersebut pergi meninggalkan kamar pewaris tunggal Djoyodiningrat lebih dahulu dari pada temannya.      

Aruna memulai basa-basi dengan asisten yang masih gemetar ketakutan di hadapannya, "Kenapa kamu memilih menjadi asisten setia Anna?" Aruna tahu sepertinya perempuan yang ketakutan ini punya jiwa yang lebih baik dari pada yang keluar duluan.      

"kau diancam?" dia menggeleng.      

"kau terpaksa?" dia menggeleng.      

"lalu apa?" tanya Aruna mulai jengkel.      

"saya tidak mengenal anda, dan anda terlihat tidak peduli dengan keluarga ini, nona Anna terlihat lebih baik saat melayani suami dan tetua Wiryo dibandingkan em.."      

"di bandingkan aku?? haha," Aruna tertawa nanar. dia menertawakan dirinya sendiri. ucapan asisten itu tidak salah. sayangnya asisten yang kini melirik Aruna takut-takut tampaknya cukup polos dan mudah di kelabuhi.      

"Kau mau lihat kenapa aku tidak bisa merawat suamiku?" Aruna bicara sambil meredam emosinya yang bergejolak. "Apa kau tak tahu aku.." ingin rasanya Aruna menceritakan tragedi yang menimpanya. tapi dia berubah pikiran. tidak ada guna menunjukan kebinalan orang lain. si penakut ini akan tahu sendiri pada akhirnya, entah kapan -yang pasti tidak akan ada bangkai yang bisa tertutupi sempurna-.     

Aruna merubah arah pembicaraan. "apa lagi yang biasa di siapkan Anna untuk suamiku selain baju?"      

"Makan, semua makanan yang tersaji di meja makan Djoyodiningrat, bagian dari kesibukan nona Anna, mana mungkin kami tidak membantunya. terlebih Oma Sukma kian berumur dan nona Gayatri punya jadwal terapi, nona Anna yang mengatur semuanya," Asisten tersebut membuat argumentasinya terkait sudut pandangnya tentang nonanya -Anna. Ia kini berani mengangkat wajahnya.      

"oke, aku paham sekarang," Aruna tahu dirinya sejak awal tak pandai mencuri perhatian. Jauh sekali jika di banding Anna, sayang sekali kembalinya dia ke rumah induk tidak disertai kesehatan yang stabil. sehingga Aruna jarang beraktivitas berat, -cenderung dilarang-.      

Akan tetapi kebiasaan-kebiasaan semacam ini tidak bisa dibiarkan lagi. Dahulu, pada tahun pertama pernikahannya dengan Mahendra. Walaupun Anna tidak ada di rumah induk, para asisten yang berada di bawah pimpinan kepala pelayan mampu menjalankan semua roda rumah induk. Kemana mereka semua? Aruna melamun.     

.     

.     

"Sayang.." Hendra masuk, mata biru baru saja menutup pintu, pria tersebut terlihat bingung dengan keberadaan asisten yang duduk di kamar bersama istrinya.      

"sepertinya sudah waktunya kamu keluar, oh iya.. Mulai sekarang kau bekerja untukku, membantuku menyiapkan kebutuhan suami ku dan seluruh keluargaku," Aruna tidak menjawab panggilan sayang suaminya. Dia melanjutkan percakapan.      

"Apakah termasuk menyiapkan kebutuhan tetua sehari-hari?" si penakut bertanya dengan polosnya.      

Aruna tersenyum, _Yang benar saja? Anna juga menyiapkan kebutuhan tetua? Pantas!_      

"Iya," jawab Aruna singkat dia menggerakkan tangan kanannya ke arah pintu memberitahu bahwa asisten tersebut boleh keluar sekarang.      

"Aku tidak suka pemberianku ditolak," tegas Aruna melihat kotak navy di tinggalkan.      

"tidak nona.. saya.."     

"Bawa!" Aruna menegaskan keinginannya.      

Asisten itu lekas memenuhi perintah dan keluar kamar, setelah mendapati wajah kurang nyaman nona muda.      

.     

selepas asister tersebut keluar. Aruna tidak menyapa suaminya sama sekali dia bergerak menuju pintu, "Sayang.. mau kemana?"      

"Tidurlah Hendra, kamu belum tidur sejak semalam -bukan? Aku ingin menikmati sarapanku,"      

"sendiri?" ini suara Mahendra.      

"ya aku ingin sendiri," kilah Aruna tak ingin di buntuti, "apa kamu mau -kusiapkan sarapan?"     

"apa kamu sudah sehat?" Mahendra berbalik bertanya. Lelaki bermata biru perlahan menikmati rasa nyaman punggung menyentuh sulur bunga Lily.      

"Tidak ada yang lebih baik dari hari ini," ujar Aruna menutup pintu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.