Ciuman Pertama Aruna

III-195. Rambut Palsu



III-195. Rambut Palsu

0"Tidak ada yang lebih baik dari hari ini," ujar Aruna menutup pintu.     
0

***     

"Tuan, mobil nona Anna menghilang bersama dengan aroma seseorang yang tercium oleh anjing pelacak." Lapor salah satu ajudan.     

"Mobil tersebut belum kalian temukan sampai detik ini?" Mahendra meminta penjelasan.     

Herry dan yang lain menggelengkan kepala.      

"Bagaimana bisa mobil itu menghilang semudah itu?" tanya Mahendra.      

"Sepertinya, jika anda berkenan melibatkan tim lantai D, saya yakin mereka bisa dengan mudah menemukan mobil tersebut,"     

Mahendra terdiam sejenak.     

"Pos penjaga pintu gerbang rumah induk, mengira nona Nana lah yang keluar mengendarai mobilnya sendiri," Mahendra mengerutkan dahinya saat mendengar penjelasan sang ajudan.     

"Ketika mobil tersebut lewat, mereka seperti melihat siluet nona Nana di dalam mobilnya"     

"Dia juga tahu cara menghindari CCTV Tuan" tambah ajudan yang lain.     

"Orang tersebut laki-laki atau perempuan?" Mahendra melempar pertanyaan.      

"Kalau di lihat dari jejak kakinya, dan kemampuannya mendaki tebing. Jelas dia laki-laki,"     

"Namun penjaga pintu gerbang konsisten mengatakan seolah baju, scraf dan penampakannya perempuan, pakaian yang dikenakan menunjukkan nona Anna,"      

"Artinya pelaku sengaja menyerupai Nana?" Mahendra meminta argumen anak buahnya.      

.     

.     

Deg     

"Aarh.." Desah nafas terengah dengan dada naik turun.     

Mata biru itu terbuka lebar, padahal 1 detik sebelumnya lelaki tersebut seolah terlelap dalam tidur. Tampaknya tidurnya tak begitu nyenyak. Sehingga percakapan dengan para ajudannya menyusup di sela-sela istirahat.      

'Seolah baju yang di kenakan menyerupai nona Anna,'.     

Kalimat ini terus terngiang di kepala Mahendra, dari pada kalimat-kalimat lain.     

Lelaki bermata biru bangkit dari tidurnya, dia bergerak menuju meja kerja yang berada di sisi kiri ranjang. Laptop usang yang telah lama tidak ia buka -lebih kurang hampir 1 bulan- akhirnya tersentuh lagi.     

Mahendra membuka laptopnya lalu menggeser kursi untuk duduk. Jemarinya bermain di atas keyboard, kemudian dia menyusuri folder-folder yang di dalamnya berisi foto dari beberapa penyidik. Baik kepolisian maupun tim lantai D terkait kasus istrinya yang di tangguhkan. Sebab minimnya bukti terutama saksi mata.      

Pria tersebut beberapa kali terlihat berhenti. Tangan lelaki itu nampak memegangi pelipis, saat melihat foto yang menggambarkan ceceran darah di tempat kejadian perkara. Dadanya berdesir mengingat tangan Aruna yang terkulai meneteskan darah segar, ketika di angkat ajudannya kala itu.     

Mahendra hampir mengakhiri pengamatan, saat mata birunya melihat gambar gunting berlumur darah. Kedua tangannya menutupi wajah, matanya memerah, dia tengah berduka.     

Wajah pucat di atas pembaringan rumah sakit memasuki ingatannya. Istrinya sudah cukup sabar menanti janjinya mengungkap kasus penyerangan.      

Lelaki bermata biru kembali membuka matanya, mengumpulkan niat sekali lagi. Hembusan nafas yang terbuang dari bibirnya melukiskan keresahan. Mahendra membuka mata lebar-lebar, mengamati lagi benda-benda yang menjadi barang bukti tragedi buruk yang menimpa istrinya.      

Gunting, potongan rambut istrinya, sobekan baju dan…     

dia perbesar benda tersebut -rambut palsu warna campuran hitam coklat, panjang bergelombang di ujungnya, mirip model rambut seseorang-      

"Mirip rambut Anna?" gumamnya.     

Mahendra bangkit dari kursinya. Pria tersebut merundukkan tubuh mencari sesuatu di laci. -tidak ada-     

Laptop di atas meja ia tutup. Mahendra menggenggam benda persegi empat dengan tangan kanannya. Dia menyadari berkas yang di cari berada dalam laci meja kerja lantai 1. Sebelum keluar kamar Hendra menyambar kunci, pria ini jarang sekali mengunci apapun di rumah induk, dan hari ini lelaki bermata biru berubah.      

Hendra menuruni tangga, dan langsung berbelok ke arah ruang kerja. Namun ada yang mengusik pandangan matanya -dia menoleh sejenak. Istrinya terlihat sekilas tengah berjalan. Mata biru tersenyum sembari membuntuti wanita hamil dengan kuncir kudanya yang khas.      

Ternyata Aruna menemui sekelompok asisten rumah induk yang biasa bertugas di dapur, maupun sebagai tim kebersihan. Si mungil mengusung kalimat-kalimat tegas yang jarang keluar dari caranya bicara, dia memprotes manager yang bertugas mengawasi bagian dapur.      

"Kenapa anda tidak seperti dulu?!". Walaupun suara Aruna tegas, kenyataannya, saat mulut wanita hamil tersebut di tekuk tetaplah nampak lucu. Sekelompok asisten yang mendapatkan komplain sesekali tersenyum di antara anggukan penyesalan.      

"Maaf nona.. saya ingin memegang kendali dapur, tapi siapa saya di banding.. em.." manajer tidak berani menyebut nama Anna.     

"Siapa anda? anda manusia.." asisten yang menjadi bawahan manajer tak sanggup menahan tawa. Mereka menahan geli, manajernya di bully nona muda.      

"Kalian juga.. huuh.. kenapa kalian tidak sehebat dulu?" dan mereka terdiam seketika setelah mendengarkan kalimat Aruna.      

"Apa yang salah dari kita nona?" tanya salah satu dari mereka.      

"Kalian tidak punya inisiatif!," suara Aruna tegas.      

"Bagaimaan lagi, negara Api sudah menyerang nona," celetukan ini mendapat lirikan Aruna. Dan si mungil pun tertawa.      

"Pengendali Air dan Angin akan memadamkannya," tambah Aruna selepas tertawa. Mereka pun akhirnya saling memandang, sempat terkikik geli.     

Tanpa mereka sadari, ada sebuah senyum manis menghasilkan lesung pipi dari lelaki bermata biru, yang sedari tadi memperhatikan dari balik tembok.     

"Bekerja seperti dulu.. sewaktu aku pertama kali bertemu dengan kalian. Walaupun rumah ini sering kali nampak suram, tak perlu kalian jadi ikut suram. Aku tahu, hanya aku yang di izinkan cantik di rumah ini.. tapi bukan berarti kalian tidak di perbolehkan terlihat cerah," dan mereka tertawa mendengarkan monolog Aruna.      

.     

.     

"Nona.. terima kasih banyak kami akan bekerja lebih baik lagi," kalimat terakhir sebelum Mahendra berhenti menguping diskusi para asisten rumah induk bersama istrinya.      

Mahendra kembali berjalan menuju ruang kerjanya sambil menatap tiap ruang yang dia lewati. Pria itu merasa rumah ini kian suram. Benar, seperti protes Aruna kepada para asisten rumah induk yang kehilangan daya inisiatifnya.      

Mahendra tidak tahu bahwa mereka bekerja dengan cara mengikuti satu komando yang di buat seseorang. Partner terbaik, tim tersolid biasanya di penuhi oleh kumpulan manusia berinisiatif tinggi.      

Lelaki ini memasuki ruangannya, kemudian bergegas memeriksa laci. Laptop yang dia bawa kembali di buka bersama rasa penasaran, memadu-padankan berkas di tangan dengan foto yang teramati.      

Rambut palsu yang ia amati dalam foto, di temukan berada di tong sampah dekat toilet lantai 5 tak jauh dari lift.     

Lelaki bermata biru bergumam.      

_Tunggu, Aruna merasa penyerangnya perempuan dan itu Anna?_ dia berbicara dengan dirinya sendiri.      

_Anjing pelacak mencium jejak seseorang yang membuat Aruna pergi dari tepian danau, dan orang itu menggunakan mobil Anna untuk melarikan diri. Dan penjaga gerbang rumah induk menduga itu Anna?_     

Mehendra meletakkan berkas di tangannya.     

Kenapa pelaku selalu berusaha menyerupai Anna?      

Lelaki bermata biru memeriksa sekali lagi foto-foto di laptopnya; toilet, tong sampah dekat toilet, pintu lift tidak jauh dari sana.      

_Jejak kaki di danau sepatu laki-laki_     

Mahendra merenung cukup lama, "Toilet.. dia berjalan menuju toilet, berganti penampilan, membuang rambut palsu lalu pergi ke lift," Istrinya tidak salah. Aruna benar, sebenar-benarnya bahwa dia merasa Anna yang menyerangnya.      

"Sebentar.. sebentar.." pria tersebut mencari pemahaman, dia berbicara dengan dirinya sendiri. "..CCTV trouble di lantai 5 seputar ruangan Aruna, dan di tempat lain tidak. Berarti CCTV tiap lift masih beroprasi," Mahendra masih mengamati laptopnya.     

Tak lama terdengar pekikan dari lelaki bermata biru.     

"Oh.. Tuhaaan.." pria ini bergegas bangkit dari duduknya. Dia meninggalkan laptop dan berkas-berkas perkara Aruna begitu saja.     

Mahendra berlari mencari perempuan mungil dengan mata coklat. Pria ini tengah mengutuki dirinya sendiri, yang selama ini enggan melihat secara langsung foto maupun berkas perkara istrinya.      

Selepas bertanya dengan beberapa asisten, dia menemukan istrinya sedang menyirami tanaman di taman samping rumah induk.     

Perempuan hamil sedang asik di sana, bercanda dengan sekelompok asisten yang menyajikan aktivitas bersama -berkebun, memotong rumput, merapikan dahan-dahan, menyingkirkan bunga yang mengering-.     

Mahendra menapakkan kakinya di atas rerumputan, berjalan menuju punggung perempuan. Sejalan dengan kedatangannya, beberapa asisten bangkit menyapa. Hendra tersenyum sekilas hingga pria ini berdiri di dekat istrinya dan memeluknya dari belakang.      

Aruna sempat tersentak sesaat, karena sang suami mendekapnya erat-erat, anehnya pria tersebut terdiam.     

"Ada apa?" tanya Aruna.      

"Ayo kita pergi sejenak.."     

"Kemana?" Aruna berfikir Hendra merayunnya, sebab pria tersebut tahu dirinya tadi pagi sedang marah.      

"Naik motor, kau suka naik motor -kan?" tawar Mahendra masih mendekap istrinya.      

"Lama aku tidak melihatmu berpakaian sesuka hatimu, atau melihatmu menikmati hal-hal sederhana.. aku.." dia yang bicara mengambil nafas, "-Merindukan Aruna ku yang dulu.. yang suka menggunakan aksesoris gelang lucu atau hidup di rumah penuh pernak-pernik aneh.. aku.." Nafasnya tersekat, Mahendra tak bisa melanjutkan ucapannya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.