Ciuman Pertama Aruna

III-196. Hand Grinder



III-196. Hand Grinder

0"Lama aku tidak melihatmu berpakaian sesuka hatimu, atau melihatmu menikmati hal-hal sederhana.. aku.." dia yang bicara mengambil nafas, "-Merindukan Aruna ku yang dulu.. yang suka menggunakan aksesoris gelang lucu atau hidup di rumah penuh pernak-pernik aneh.. aku.." Nafasnya tersekat, Mahendra tak bisa melanjutkan ucapannya.      
0

Aruna menganggukkan kepalanya yang berada di bawah dagu suaminya. Aruna tidak tahu kenapa lelakinya terdapati tengah berduka. Aruna sekedar mengandalkan intuisinya sebagai perempuan, yang berstatus istri, "Ayo kita berangkat," tanpa bertanya dia membalik tubuhnya.     

"Kita pakai motor yang dulu," ujar Mahendra.     

"Boleh.." Jawab Aruna ringkas.     

"Tunggu sebentar," dan pria tersebut berlari, entah kemana Aruna tidak bertanya akan tetapi raut muka Mahendra sudah berubah, dukanya telah pergi. dia bergerak mundur sambil setengah berlari. Mahendra mengumbar senyumannya.     

"Cie nona mau jalan-jalan," canda para asisten yang menguping pembicaraan mereka.     

"Tuan muda bisa ramah ya.." yang lain melempar ujaran random.     

"Bisa dong," ibu hamil menarik bibirnya, tersenyum malu-malu.     

.     

***     

"Kau -hebat, Pulang juga kamu pada akhirnya., aku hampir menganggapmu sudah di alam lain," lelaki yang bicara baru saja menghembuskan tembakau. Asap tersebut membumbung tinggi hingga menghilang. Tak lama dia berdiri dan mematikan tembakaunya.     

Ruang kerja dengan ornamen kepala macam kumbang yang di awetkan, menjadi asing bagi lelaki yang kini duduk di kursi menjalin.     

Si pria pengisap tembakau melangkah menuju Hand Grinder Kopi atau alat manual Grinder (penggiling) kopi, Zassenhaus Coffee Grinder La Paz– Dark Stained dengan tinggi 23.5 cm, berbahan beech dark stainned, tampak berwarna emas setengah lingkaran dan setengah lingkaran bagian bawah berwarna hitam. Lingkaran dua warna tersebut bertumpu pada kotak berbahan kayu dan berwarna kayu dengan bentuk menyerupai laci yang dilengkapi bulatan kecil warna emas sebagai buah hendel laci.     

Penggilingan kopi dari perusahaan yang berdiri sejak 1867 tersebut adalah favoritnya dari sederet Hand Grinder yang berjajar pada mini bar kuno di sudut ruangan.     

Pengamat yang duduk di kursi depan meja kerja mengarahkan matanya pada sang lelaki yang saat ini meraih kotak-kotak berharganya, tak lain dan tak bukan ialah deretan toples kecil yang berisikan biji kopi.     

Pria tersebut menuang beberapa biji ke dalam bola di atas laci. Setengah lingkaran berwarna emas terbuka, sesaat kemudian tertutup -setelah di tutup kembali- pria penyuka tembakau dan kopi tersebut mulai memutar hand Grinder.     

Dan laki yang tengah duduk tersenyum senang. Penggiling kopi adalah tuannya, tuan yang menyajikan kopi terbaik pada rekan dan bawahan terbaik. Detik ini tampaknya hasil gilingan itu akan di sajikan pada si bawahan yang hampir berbulan-bulan tidak pulang mungkin hampir 2 tahun.     

"Anak istrimu aku rawat dengan baik," kopi tersebut di sedu, tentu tanpa gula.     

"Saya suka manis tuan,"     

Si penggiling kopi terkekeh, "kau bisa menyuruhku sekarang?" dia tidak menuangkan gula sedikit pun. Akan tetapi membawa satu toples penuh gula. Lalu berjalan menuju meja kerjanya kembali. Dan meletakkannya cangkir kopi pahit serta toples gula di hadapan bawahannya.     

"Hadiah apa yang kamu inginkan? Rumah mewah?" si bawahan yang di tawari tuannya menggelengkan kepala.     

"liburan?" menggeleng lagi.     

"em.." tuannya berpikir, sembari mengamati bawahannya yang sedang menuangkan butiran-butiran gula pasir ke dalam kopi pekat menggunakan sendok kecil, "bukan materi lalu apa?" dia yang bicara tidak menemukan ide.     

"bagaimana dengan menjadi kerabat," mendengarkan monolog bawahan, si tuan tertawa.     

"Geraldin dan anakmu? Kau.. em.." memandang bawahan, dia memunculkan semburat amarah yang di tekan, "Apa yang kau tawarkan dengan kompensasi sebesar itu?" Aroma kopi membumbung. yang baru bicara menghirupnya dalam-dalam seolah menikmati secara maniak aroma-aroma tersebut.     

"kepulanganku yang luar biasa, tak layak mendapatkan penghargaan sehebat itu. -saya tahu," bawahan ini baru usai melarutkan gula dengan zat cair pekat dia mengaduknya lalu mulai mengangkat kopi tersebut. Sejalan dengan caranya menyeruput kopi dengan cara menghisap salah satu sisi tepian cangkir -Si bawahan berani menatap atasannya selepas itu- "saya tahu detail bungker yang anda takuti, rumah megah di lereng perbukitan yang ingin anda dekati, serta informasi tentang penerus yang sebentar lagi di lahirkan,"     

Tuannya membuka mata lebar-lebar, pupil matanya ikut membesar. Dia bukan lagi tertarik melainkan berhasrat.     

"Akan aku buka semua informasi ku secara detail setelah kita menjadi besan," ucap bawahan tersebut kembali menyesap kopi terbaik yang di sajikan tuannya.     

"Ah' kau sangat cerdas setelah pulang, seperti apa mereka mendidik mu? Aku penasaran," celetuk sang tuan yang kini kembali meraih cerutunya.     

.     

***     

Angin sore menerpa rambut perempuan, helmnya sengaja di buka sempurna. Kaca yang membatasi terpaan udara perempuan tersebut naikkan ke atas. Matanya terpejam hingga tangan di pinggang minta terlepas, Aruna ingin mengangkat tangannya untuk menyapa udara.     

"ibu hamil di larang ceroboh," Mahendra berhasil meraih salah satu tangan istrinya.     

.     

.     

"Hen.."     

"Hem.."     

"kenapa hari ini kita tiba-tiba baikan? Dan kamu tiba-tiba mengajakku jalan-jalan," tanya Aruna.     

Lelaki tersebut tidak menjawabnya, dia sekedar mengelus perlahan salah satu punggung telapak tangan istrinya. Setelah sang perempuan kembali mendekap erat tubuhnya. Mahendra memacu laju motornya kian cepat. Melesat menembus jalanan, Mahendra menuju sebuah tepat yang ingin ia kunjungi.     

Kecepatan tersebut membuat si perempuan kian bahagia, Aruna tersenyum lebar, perempuan dengan selera unik ini makin mengencangkan pelukannya, kadang kala ikut histeris bahagia saat Mahendra bisa melesat lebih cepat dari dugaannya.     

.     

.     

[Pradita.. cari lokasi mobil B 27xx AN,]     

[Mobil Anna maksud anda tuan?]     

[Kau tahu dari mana? aku mencari mobil tersebut?]     

[Maaf, Raka baru saja menghajar Jav dan Roland supaya mereka buka mulut setelah mencuri barang-barang kami. Kami sekalian mencari tahu buat apa benda-benda tersebut. Kami tidak menduga anda membuat tim sendiri, sampai kapan anda tidak percaya pada kinerja kami]     

Hendra menghembuskan nafas panjang setelah mendengarkan pernyataan berani Pradita.     

[Sampai kalian bisa menemukan seseorang yang merobek punggung istriku,] ujar Mahendra berikutnya.     

Giliran Pradita terdiam.     

[Temukan mobil tersebut!] Mahendra menggugah kebekuan Pradita.     

[Baik, tuan,]     

Hendra hampir menutup teleponnya, sebelum akhirnya pria ini kembali berujar [Pradita, apa kamu ingat? pukul berapa terjadinya penyerangan terhadap istriku?] Mahendra tidak bisa mengingat apa pun dia terlalu kacau hari itu.     

[Masih,] ini suara Pradita.     

[ oke, aku kirim pesan email padamu, aku punya hipotesis terkait kronologi kejadian selepas penyerangan Aruna,] Nafas Mahendra yang berat terdengar sampai di telinga Pradita. [Tolong kamu periksa CCTV lift malam itu, aku masih ingat lift berjalan normal seperti biasa,]     

Pradita mengangguk padahal gerakan tersebut tentu tidak terlihat oleh tuannya, Mahendra. [Vian lebih ahli memecahkan hipotesis anda,]     

[Terserah kalian, seperti apa caranya, yang aku mau -kalian bisa mengungkap kasus istriku] lagi-lagi Pradita mengangguk.     

[Tuan, jika kami bisa memecahkan kasus istri anda. Bolehkah kami meminta keringanan untuk saudara kami -Thomas,] Pradita mengusung kalimatnya dengan intonasi ragu-ragu. Pemuda berkacamata tersebut menghembuskan nafas, apa yang ia inginkan sulit dipenuhi Mahendra.     

[Katakan itu setelah kau berhasil mengungkap kasus istriku,] Mahendra menutup panggilannya.     

***     

Sebuah motor diparkir di antara semak-semak, perempuan tersebut turun sambil setengah membuka mulutnya. Dia Tak percaya dirinya dibawa ke sebuah bangunan usang yang hampir roboh.     

"mengapa kamu bawaku kemarin?" tanya Aruna. Langit cerah mulai menghilang, artinya tempat ini akan menyajikan malam dan mungkin saja dipenuhi nyamuk.     

"selama ini aku hanya menduga-duga sebuah simbol," ujar Mahendra menarik tangan istrinya. "hari ini aku ingin tahu, Apa arti simbol itu sebenarnya,"     

"kamu, membawa perempuan hamil menggunakan motor berkecepatan tinggi sekedar dibawa ke tempat seperti ini?" Mahendra tertawa mendengar protes Aruna.     

"nanti malam kita tidur di rooftop-mu," kali ini Aruna yang tertawa mendengarkan permintaan Mahendra.     

"Pasti tempat itu sudah jadi gudang debu," kalimat ini terucap bersama langkah perempuan di tarik suaminya untuk menaiki tangga yang sama usangnya.     

"siapa bilang," Mahendra sempat berhenti melangkah untuk menunjukkan bahwa ia tak membiarkan rumah mungil istrinya penuh debu. "seperti aku merawat start-up mu yang hampir gulung tikar itu, aku juga merawat tempatku pertama kali mencoba malam pertama,"     

Aruna tidak sanggup lagi melangkah dia tertawa terbahak-bahak. "apa kamu tidak malu menyebut tempat itu, tempat kita.. ah sudah lah kau memang gila.."     

"Buat apa aku malu.. malam itu aku berhasil menunjukkan pada Damar, aku yang berhak tidur denganmu,"     

Lagi-lagi ujaran Mahendra menggelitik, dan si perempuannya di buat cekikikan, dia terlalu percaya diri. Mungkin urat malunya sudah putus.     

Mahendra seolah berbangga oleh malam pertama mereka yang berantakan bukan main, di atas ranjang sempit, kamar mungil -di atas outlet Surat Ajaib-.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.