Ciuman Pertama Aruna

III-197. Simbol Merah Biru



III-197. Simbol Merah Biru

0Dia berjalan menyusuri tangga yang tak lagi memiliki pembatas untuk pegangan, namun tangan kirinya bertautan dengan tangan kanan suaminya sehingga perjalanannya menaiki tangga terasa lebih seimbang dan lebih nyaman.     
0

Ada sesuatu yang menggelitik hatinya, Aruna masih ingat betul seperti apa rasa di hatinya waktu pertama kali datang di tempat ini. saat ia diam-diam menyimpan sepenggal hati untuk Mahendra, akan tetapi tak berani mengungkapkannya -Aruna punya janji kepada ayahnya.     

Tempat ini terasa lebih kusam di banding malam itu, akan tetapi rasanya masih sama. Hatinya masih bergetar kala menaiki tangga. dadanya berdegup tak berujung. Apakah grafitti buatannya masih bisa diamati? Sudah 1 tahun tidak melihat tempat ini lagi.     

.     

Tangga terakhir di lantai ketiga telah ditinggalkan. Menyisakan Mahendra yang tersenyum cerah, lelaki bermata biru yang kini berstatus suami mendorongnya hingga berada tepat di depan graffiti H E N D R A, lukisan huruf yang mengusung dua warna.     

"Andai tempat ini tidak berada di atas tanah pemerintah, aku sudah membelinya," ujar Mahendra memeluk Aruna dari belakang. Mata keduanya menatap Graffit yang sama.     

Tepat seperti dugaan Mahendra, Aruna malah membeku. Seolah-olah tak mendengar apa yang ia ucapkan. "mengapa kamu membawaku kemari?" pertanyaan Aruna sama persis dengan yang ia ujarkan beberapa menit yang lalu, tatkala perempuan tersebut baru turun dari motor Mahendra.     

"Aku penasaran, bagaimana cara membaca graffiti di depanku? Apakah sekedar melambangkan nama Hendra?" Aruna sempat mendongak ke atas, dan Mahendra mencium ubun-ubunnya.     

 Perbedaan tinggi badan membuat Mahendra leluasa melihat ekspresi wajah Aruna yang tersaji, sebab perempuan tersebut menengadah ke atas, "Aku merasa ada pesan terselip, sengaja di sembunyikan pembuatnya, graffiti nama ku punya banyak simbol. -benar tidak?" Hendra sedang mengkonfirmasi pada perempuan mengesalkan yang pernah membuatnya terpuruk, hingga memukul graffiti di hadapannya berkali-kali, kesel di hati Mahendra kala itu bukan main rasanya.     

"kamu bertanya seperti itu? Artinya kamu tahu dong," Aruna melepas pelukan yang menjeratnya dari belakang. Dia bergerak mendekati graffiti berdebu yang sebagian warnanya telah pudar.     

Mahendra tidak menjawab, dia tersenyum menampilkan lesung pipinya. "sebagai pengamat Aku hanya bisa menebak, sang pembuat yang paling tahu maknanya,"     

Aruna menoleh sejenak, perempuan hamil ini sempat ingin memegangnya. Akan tetapi suaminya melarang. Dinding di hadapan mereka Sudah usang dan kotor. Maka dari itu Aruna kini berdiri di samping sisi kiri tulisan tangannya.     

"apa aku.. belum pernah mengatakan: Aku mencintaimu Hendra?" ini suara Aruna yang terdengar samar.     

"entah, jujur.. aku tidak peduli, em.. kamu mencintaiku atau tidak.., Aku mencintaimu secara egois, -kau tahu itu. entah kamu membenciku atau menyukaiku, aku akan tetap berperilaku sama -menjadikanmu tujuan hidupku," Mata Mahendra sayu.     

"Lalu kenapa kamu membawaku kemari?" tanya Aruna, intuisi seorang istri menunjukkan ada makna berbeda mengapa Mahendra membawanya ke tempat ini. Mahendra bukan sekedar ingin memecah simbol grafitti buatan istri nya, lelaki bermata biru tersebut secara tidak langsung sudah memberitahu bahwa dirinya (hendra) sebenar-benarnya sudah tahu makna dibalik simbol tersebut. Tapi mengapa ia membawa Aruna ke tempat ini?     

Si pria terdiam lama, "sepertinya aku sudah berubah, Aku ingin mendapatkan cintamu. Terlebih hari ini,"     

"Mengapa begitu?" Aruna bertanya.     

"em.." Hendra mengangkat wajahnya menatap istrinya yang berdiri tak jauh di depannya. "huuh.." nafasnya terdengar, tangannya mengepal. "aku selalu takut saat kau pergi ke rumah ayahmu tanpa aku, aku takut kau tidak kembali. Walaupun jelas-jelas hal itu mustahil kamu lakukan, tapi rasa takut ku tak bisa aku hentikan,"     

Aruna mengernyitkan keningnya, "dengan berat hati," mata biru berhenti berucap.     

"Kamu ingin aku pulang ke rumah Ayah," suara Aruna mendesah pelan.     

Dan Mahendra mengangguk. Dada Aruna sesak seketika. Seperti ada bongkahan dinding mengimpitnya.     

"kenapa?" tanya Aruna bingung. Sungguh perempuan ini belum bisa menangkap isi kepala Mahendra.     

"Andaikan seorang suami diperkenankan sujud di hadapan istrinya, akan aku lakukan detik ini," hanya itu kalimat terakhir Mahendra. Pria ini seolah kesulitan mengungkapkan isi hatinya.     

Aruna bergerak melangkah ke depan, perempuan ini memeluk suaminya. "Jangan khawatir, mau pulang di rumah ayah, atau pun berada di rumah induk, baby dan aku selalu sayang pada Dady. Kami mencintai Dady," ujar Aruna mendekap erat Mahendra.     

"Oh' maafkan aku.." Ujar Mahendra terdengar paruh, dia memeluk lebih erat. "Maaf belum bisa memberikan tempat teraman untukmu dan baby,"     

"tak apa.. tak masalah," ucap Aruna menenangkan.     

"pembuat janji harus memenuhi janjinya, dan aku pria yang memegang teguh janjiku," kalimat Mahendra terdengar sangat mirip dengan kakeknya Wiryo.     

Walaupun Mahendra tidak menjelaskan secara detail, Aruna bisa menangkap makna dibalik ucapan-ucapan sepenggal suaminya. Sepertinya Mahendra akhirnya sadar rumah induk sudah tak aman untuk istrinya.     

"Sebenarnya aku Sempat berpikir untuk membawa mu tinggal bersamaku di mension lain, akan tetapi.. kejadian di mension sky tower membekas padaku. Hunian di lantai tertinggi Djoyo Rizt Hotel cukup baik untuknya. Sayang kau akan kesepian. Rumah Ayah yang terbaik.. bunda Indah bisa menjaga pola makanmu yang sembarangan.. kak Aliana bakal mengingatkanmu minum vitamin, aku sudah memikirkannya matang-matang," Mahendra merenggangkan pelukannya, kedua telapak tangannya meraih dagu mungil istrinya. "aku akan ikut pulang ke rumah ayah setiap saat,"     

Aruna mengangguk, walaupun jujur -sejujur-jujurnya. Di kepalanya ada sederet pertanyaan.     

Aruna mundur mendekati graffiti tersebut, "biru dan merah," ucapnya selepas itu menatap Mahendra. Lalu berbalik mengamati grafiti nama HENDRA.     

"Sebuah identitas visual akan berkompromi dengan petunjuk visual, seperti bentuk, simbol, angka dan kata." seorang mahasiswa desain sedang bertutur, "Tapi komponen visual nomor satu yang paling banyak diingat adalah warna. Pada kenyataannya, warna meningkatkan 80% pengakuan pengamat. Merah adalah aku dan biru ialah kamu,"     

"Merah memiliki kemampuan untuk rev desire; dan tidak mengagetkan ketika merah adalah warna dari api, bahaya dan darah pada satu sisi; dan cinta, seksualitas, gairah pada sisi yang lain. Em.." Aruna berbalik mengamati suaminya yang saat ini mengikat matanya dalam tatapan,     

"sejujurnya aku ingin memberitahumu, aku munafik kala itu, aku selalu memosisikan diriku dalam kondisi terancam, tertekan, seolah kau membahayakan hidupku, padahal di saat bersamaan Aku jatuh Cinta dan mengharapkanmu seperti perempuan dewasa terhadap laki-laki dewasa," Aruna tersenyum mengingat dirinya di masa lalu. Senyuman yang sama juga ditunjukkan Mahendra. Bedanya Mahendra saat ini sedang merah hingga telinga.     

Aruna berbalik lagi menangkap penampakan karyanya, "Warna biru juga diapresiasi untuk ketenangan dan kualitas harmoni yang berasosiasi antara laut dan langit. Meski pun begitu, dapat diasosiasikan sebagai emosi; 'blue' digunakan untuk mengekspresikan kesedihan termasuk depresi," Aruna memberi jeda sejenak pada ucapannya, perempuan ini menghirup nafas dalam-dalam, "gadis munafik detik itu sadar, kamu pria yang melambangkan depresi, laki-laki yang akan mengalami kesedihan mendalam saat dia pergi,"     

"si munafik, ingin sekali mengatakan banyak hal tentang rasa di hatinya, tapi dia tak bisa.. dia menggambar grafitti ini untuk menyimbolkan hatinya yang asli," kembali Aruna menjelaskan.     

"sedalam itu artinya?" Ucap Mahendra.     

"Ya.." tak lama terdengar suara tangisan, lalu perempuan tersebut berbalik, berlari kecil menghampiri suaminya. "I love you Hendra,"     

"hiks.. aku mencintaimu.. aku tak ingin jauh dari mu.." Aruna tak bisa mengendalikan dirinya. Kali ini Dia lah yang resah di pulangkan ke rumah ayahnya.     

"hai.. jangan menangis.. ini tidak baik buat baby," Hendra meraih dagu istrinya, pria tersebut menghapus air mata perempuan, "Aku janji aku akan bekerja cepat, sehingga kepulanganmu ke rumah ayah tak butuh waktu lama, okey.. stop," pria tersebut kembali meletakkan kepala istrinya di dada. Meminta Aruna berhenti menangis.     

_izinkan aku mengungkap kasusmu, maaf aku belum bisa menunjukkan sisi lain ku padamu_ Mahendra punya tekat yang dia simpan rapat, dan tidak untuk di lihat Aruna. Istrinya cukup perlu melihat hal-hal baik tentang dirinya, untuk itu perempuan dalam pelukan sementara di pulangkan ke rumah Ayahnya.     

.     

.     

"Hen.. kita ke rumah ayah malam ini?" Mahendra menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan Aruna.     

"Kita bersenang-senang malam ini,"     

.     

______________     

Ciuman Pertama Aruna hanya ada di aplikasi W e b n o v e l. Jika pembaca membaca karya berikut di aplikasi lain artinya karya sedang di bajak. Mohon dukung penulis dengan membaca di aplikasi W e b n o v e l.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.