Ciuman Pertama Aruna

III-200. Lelaki Paling Beruntung



III-200. Lelaki Paling Beruntung

"Aarrgh.. kamu tahu.. Aku bisa lupa makan kalau kamu tidak pakai baju! Pakai bajumu!" perintah Mahendra dengan frustasi.      

"Nggak mau.. aku mau makan tanpa pakai baju," si wanita hamil menjawab dengan santai.      

"Hais! isi perut kita sebentar!".      

"Mengisi perut dengan gaya seksi adalah trend terbaru, hehe.." kilah Aruna.      

"Ah.. terserah lah.. " mulut Mahendra berkata terserah sambil meletakkan makan malam di meja.     

Akan tetapi dia tetap berjalan ke belakang memasuki kamar lalu meraih selimut tebal. Tubuh Perempuan hamil mendapatkan pelukan selimut hangat. Dan laki-laki bermata biru mulai duduk di samping istrinya.       

Perempuan hamil tak habis akal, kakinya naik menumpang di paha Mahendra. Terdengar kekeh tawa si pria tatkala dia mengusir kaki telanjang tersebut, akan tetapi masih saja kembali ke tempat semula. Tiba-tiba Aruna menjadi handal dalam merayu, kalau sudah ada maunya.      

"Selesaikan makanmu dengan cepat, akan aku turuti mau mu," Dan pria itu memenuhi apa yang dia ucapkan di sofa yang sama. Bahkan tanpa sempat meletakkan piring kotor bekas spageti di pencucian. Tangan mungil tersebut mendekat, bergerak lincah membuka sweater putih Hendra.       

"Haha," Hendra terkekeh, ketika pada akhirnya Aruna masih saja malu-malu mengawali tiap adegan malam mereka. Perempuan tersebut memilih bersembunyi dengan memeluk erat tubuh suaminya. Lalu mengubur wajahnya di dada hangat itu. Setelah berhasil melepas sweater Mahendra.      

"Keluarkan wajahmu, Aku ingin melihatnya," dia yang di ajak bicara nampak merah padam hingga telinga. Mahendra mencoba melepasnya, tapi Aruna konsisten memeluk tubuh suaminya.       

Melihat Aruna tampak nyaman mendekap dadanya. Pada akhirnya Mahendra turut melakukan hal yang sama. Dia memeluk erat tubuh istrinya dan mulai mengelus rambutnya.       

.      

.      

Aku tidak tahu kenapa, hatiku hari ini begitu resah. Semenjak hamil, aku merasa semua perlakuan Hendra yang sejujurnya sudah luar biasa, tidak cukup untuk meredam hausku atas perhatiannya. Yang aku inginkan berada di dekatnya tiap detik, tiap menit dan setiap hari.       

Sayang sekali, hari ini secara mengejutkan dia berkata, bahwa mulai besok aku harus pulang ke rumah Ayah. Jujur aku ingin bertanya banyak hal, tapi aku ingat pesannya, dan aku tidak mau mengusik keputusannya.       

'Seseorang yang percaya tidak akan banyak bertanya'. Ku gigit bibirku, dan meleburkan diriku di dadanya.     

Aku pasti merindukan pria angkuh ini. Aku, entah mengapa begitu berubah. Aku tak sanggup jauh darinya walau semenit saja. Aku bahkan takut, hatiku di liputi rasa kosong, ketika tidak ada Hendra yang hobi menggangguku dengan berbagai aturan uniknya, dan berbagai permintaannya yang wajib di turuti.       

Saat aku mulai berani melepas pelukanku. Dia menyingkap wajahku, Hendra tersenyum dengan lesung pipinya. Dia sangat tampan, aku tahu di dalam perutku akan lahir bayi seindah dia. Tiba-tiba saja aku merasa bangga. Entah lah, dia begitu sempurna detik ini.      

Sebesar apapun masalah yang kami hadapi, aku tak pernah merasa terbebani. Aku tahu dia punya kesungguhan yang berlebih untukku. Hal tersebut sudah berhasil menjadi obat mujarab, untuk mendorongku lebih siap menghadapi hal buruk dari yang terburuk. Bahkan kehamilan yang dulu aku takutkan akan merenggut banyak mimpiku, ternyata menjelma menjadi rasa baru yang teramat indah untuk di resapi.       

Bersama lidahnya yang kini menyusup ke dalam bibirku. Ku tahu Hendra sedang memujaku, aku menjelma menjadi ratu di rumah keluarganya.      

Dia mulai meraba perut ku. Kurasakan sentuhan kulit dan tangannya yang besar, mengirim sinyal cinta pada baby dalam rahimku. Tubuhnya merunduk, membuat kecupan hangat di sana.     

Sekujur tubuhku menghangat . Seperti seseorang yang kedinginan di lembah pegunungan tinggi, lalu ada pria yang menyalakan api unggun untuk menghangatkan.     

Sejalan cara Hendra berbicara dengan baby kami, tak henti pula ia mengecup perutku -tanda sayangnya-. Aku seolah mendengarkan dendang cinta, yang di lantunkan seorang pria rupawan dengan suara menawan. Padahal Hendra tak pandai bernyanyi, dia juga tak punya kemampuan merangkai kata-kata indah. Bahkan tak suka di bilang hobi mendongeng, padahal kenyataannya dia memang suka melakukan hal tersebut. Aku menelan dalam-dalam rasa di dadaku yang ingin tumpah, dan menangis meraung-raung –kalau perlu.       

"Hen.. aku tidak akan bertanya apa pun?" kuberanikan diri membuat permintaan berawal dari pertanyaan.       

"Aku tahu itu" ini adalah ucapan minimnya, seolah sudah hafal dengan cara ku bicara kala mengharapkan sesuatu. Dia memang dingin dan pandai meringkas kata-kata. Padahal saat ini aku berharap mendapatkan dongeng sepanjang malam.      

"Aku ingin; kau bisa ku lihat setiap hari," entah mengapa hatiku begitu tersayat detik ini.      

"Hai.." tangannya meninggalkan perutku, dan detik berikutnya meraih wajah mungilku, "..Tanpa kamu meminta pun, aku akan pulang ke rumah Ayah. Kemana lagi aku pergi selain menemuimu di malam hari?!," Matanya menatap tajam, aku yakin dia sedang berusaha keras meyakinkan supaya aku tidak berduka. "..Aku usahakan tak lebih dari seminggu kamu di rumah ayah," mendengar kalimat Mahendra, aku tak bisa lagi menahan air mata.       

Aku yang satu bulanan ini selalu di temani oleh harum tubuhnya, dan mengitari seluruh nafasku di setiap saat. Tiba-tiba terpaksa berjauhan dengannya. Mungkin bukan aku saja yang detik ini tengah protes. Ku yakin janin di dalam kandunganku ikut merengek.      

Rasa resah di dada melonjak berlipat ganda dari biasanya. Sekali lagi Hendra menyusupkan lidahnya dalam bibirku, dia mengirim sinyal supaya aku berhenti merengek. Aku Benar-benar kacau, aku tak bisa membayangkan jauh dari suamiku. Pikiranku tidak mau di ajak berlogika, aku masih saja menangis. Aku lupa kapan berhenti, sebab saat ini tubuhku sudah berada di atas kasur empuk.       

Tapi Hendra tidak ada di sampingku, kemana dia? Aku bangun meninggalkan ranjang untuk mencarinya. Hunian mungilku mudah sekali di susuri, sebab hanya memiliki dua ruangan dan satu kamar mandi. Aku bahkan belum mengenakan luaran.     

Ku sambar kaos seadanya, ketiadaannya memberiku kesimpulan Mahendra tidak ada di dalam ruangan. Aku yakin dia sedang berupaya menahan dirinya, sebab itu yang sering kali dia katakan. Bentuk penyesalan mendalamnya setelah sempat berbuat kasar padaku, ketika menginginkan diriku.      

Ketika kubuka pintu, kudapati punggungnya. Mahendra duduk di bangku kayu, menatap langit malam di atas atap-atap rumah sederhana. Aku pacu langkahku mendekat, lalu duduk di sampingnya dan dia tersenyum melihat kedatanganku.       

"Kenapa di sini?" aku bertanya padanya.     

"Kau terlalu menantang,haha.." Dia tertawa, meraih jemari tanganku lalu mengecup ujung-ujung jariku.     

"Kenapa kamu manis sekali, aku bisa diabetes karenamu, hehe," kekeh tawaku terbit mencoba mencairkan malam kami, dan dia hanya melirik ku.     

"Selama aku masih bisa terlihat manis, akan aku manfaat keadaan itu," Mahendra terkekeh lagi, kemudian matanya menerawang kosong ke arah langit.       

Deg'     

"Kau akan terlihat manis dan indah selamanya. Aku akan menggunakan kaca mata kuda, agar aku hanya terpaku padamu," Aku sadar ini bukan obrolan ringan seperti biasa. Mungkin Mahendra tidak menyadari bahwa aku mengetahui beberapa hal yang dia sembunyikan.      

"Akan ku ciptakan kaca mata kuda untukmu," katanya sambil menoleh kepadaku.     

_kamu sudah menciptakannya dengan mengirimku ke rumah ayah_ aku hanya bisa bergumam. Ku ganti ungkapan hatiku dengan hal lain yang lebih menenangkan, "Boleh, kalau sudah jadi aku mau menggunakannya," jawabku dengan tenang.     

"Benarkah? Kamu tidak akan protes pandanganmu di batasi," tiba-tiba Mahendra berbalik penuh ke arahku.       

"Buat apa aku protes?, kalau dengan begitu aku akan melihat hal-hal yang indah saja," celetuk ku. Betapa tertariknya diriku dengan mata biru yang tiba-tiba berbinar dalam kegelapan.       

"Itu yang membuatmu tak bisa tergantikan," Mahendra kembali meringkas kalimatnya.      

"Benarkah?!" aku senggol bahunya.     

Dan dia merengkuh lenganku, mengusap lembut penuh perhatian.       

"Lelaki yang paling beruntung adalah dia yang memiliki perempuan lemah lembut dan tulus sepertimu. Rela, bahkan senang hati memenuhi keinginan suaminya tanpa berpikir dua kali, dan mampu menjaga rahasia dengan baik," Mahendra menatap ke depan akan tetapi anak matanya jatuh kepadaku,      

 "Andai kamu bukan penyimpan rahasia terbaik, sudah berapa banyak aib-ku yang terendus orang lain. Ayah dan ibumu saja tidak tahu aku pernah mencekikmu. Merusak putingmu tapi kau tetap berbinar saat pagi harinya, ketika ku ajak melihat lumba-lumba (Honeymoon di Bali). Sejak saat itu aku bersumpah tidak akan melepasmu. Jadi, siapa yang lebih beruntung dari pada aku?" tangan kanan Mahendra -yang tidak di gunakan merengkuh pundak Aruna- mengepal sampai seluruh otot tangannya timbul.       

Aku tidak tahu harus menjawab apa...       


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.