Ciuman Pertama Aruna

III-202. Putra Mantu



III-202. Putra Mantu

0Rombongan suami istri tersebut baru saja turun dari mobil mereka. Sang pria sedang mempersiapkan diri supaya bisa berbicara dengan lancar kepada ayah mertuanya. Walaupun semalam mereka sudah saling bicara via telepon.     
0

Mahendra merasa dia perlu memberi penjelasan secara tatap muka sebagai bentuk kesopanan terhadap Ayah mertuanya. Hendra sejujurnya kesulitan, bahkan lupa cara mengawali basa-basi kesopanan yang ingin dia tiru dari buku.     

Sayang sekali, ketika Mahendra hendak mencari inspirasi dengan bertanya pada istrinya, berharap mendapatkan ide cemerlang. Ia malah melihat wajah Aruna yang konsisten di tekuk, raut muka tersebut belum juga luntur sejak setengah perjalanan, "Herry," Pria bermata biru terpaksa memanggil ajudan setianya. Dan sang ajudan-pun mendekat.      

Mahendra dengan sengaja merundukkan tubuhnya, supaya bibirnya lebih dekat kepada telinga sang istri, "Tolong beritahu Alvin, dia sudah boleh bekerja menjaga istriku,".     

"Baik," Herry mundur sejenak, merogoh handphone dari dalam celananya.      

Tentu saja perempuan yang telinganya baru mendapatkan bisikan, merubah ekspresi wajahnya. Aruna tersenyum manis, kemudian menoleh kepada suaminya.      

Perempuan hamil tersebut mencoba membalas kebaikan sang suami. Ia menarik lengan kiri Mahendra untuk merundukkan tubuhnya, detik berikutnya kecupan kecil mendarat di pipi lelaki bermata biru.     

.     

.     

"Lihatlah Bunda, tidak terjadi apa pun di antara mereka," suara ayah Lesmana menyapa sang istri.     

Beliau sempat menghentikan langkahnya untuk menyambut kedatangan sepasang suami istri, sejalan dengan ajudan yang menurunkan koper besar.     

Lesmana terhenti sebab istrinya -Indah-, mengintip sepasang suami istri tersebut dari balik jendela ruang tamu, yang mengarah kepada pelataran depan rumah.  Indah sedang resah, menduga-duga apa yang terjadi sehingga Aruna di haruskan pulang ke rumah ayahnya.     

"Anak pulang ke rumah orang tuanya bukan berarti terjadi hal yang buruk. Aruna merindukan kita, dia juga ingin belajar jadi ibu dari kamu," Lesmana tersenyum ringan sejalan mengelus bahu istrinya.     

Dia keluar, berinisiatif menyambut putri dan menantunya.     

"Ah, akhirnya ada yang ingat sama ayah," suara Lesmana yang menenangkan membuat Hendra sadar ada sebuah keberuntungan, ketika dirinya menikahi putri mantan ajudan terbaik kakeknya.     

Padahal semalam keduanya berdiskusi terkait kedatangan Aruna, yang secara tidak langsung menggambarkan kondisi rumah induk yang di rasa kurang kondusif.      

Namun ekspresi Ayah Lesmana begitu tenang dan hangat, seolah tidak terjadi percakapan serius semalam.      

Mahendra menatap pria yang kini memeluk putrinya.     

"Bagaimana kabar cucu ayah? Sehat?" Mahendra mundur sejenak, memberi ruang yang lebih lebar untuk istri dan ayahnya bercakap.     

Lelaki bermata biru selalu terpana tiap kali melihat interaksi ayah dan anak tersebut. Secara tidak langsung, Mahendra berharap dia bisa menjadi seperti ayah mertuanya.     

Lesmana satu-satunya gambaran sosok Ayah di mata Hendra. Keluarga Djoyodiningrat tidak memiliki kerabat lain. Dan dia sendiri tidak memiliki sosok ayah. Untuk itu Lesmana satu-satunya sudut pandang yang bisa ia amati.      

"Kenapa cucunya? Harusnya Ayah tanya kabar putrinya dulu dong..?" suara Aruna terdengar manja.     

Belum sempat Lesmana menjawab. Perempuan mungil itu berlari menuju ke arah pintu rumah. Selepas ia melihat ibunya hadir di sana. Bunda Indah muncul dari balik pintu yang sejak awal setengah di tutup.      

"Em.. ayah.." Mahendra mengucapkan kata 'ayah' dengan bibir sedikit bergetar. Pria berperawakan tinggi tegap tersebut menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat. Lesmana segera merengkuh tubuh anak mantunya, lalu menepuk pundak tersebut.      

"Bagaimana kabar tetua Wiryo? Baik?" Mahendra sampai hafal betul pertanyaan pembuka, yang akan di ucapkan Lesmana tiap kali mereka bertemu. 'Bagaimana kabar tetua Wiryo'     

Mahendra mengangguk ringan, dia bingung harus menjawab apa, "Semakin keras kepala," dan akhirnya kalimat ini yang meluncur dari bibir Hendra, mengiringi perjalanan keduanya memasuki rumah 2 lantai yang bagi Mahendra terlalu sederhana.      

"Haha," terdengar tawa Lesmana. "Kau sudah berani menghina kakekmu?" kata 'menghina' begitu lirih diucapkan Lesmana. Membuat Hendra ikut tersenyum.      

Dengan segala hormat, putra menantu menarik lengan sang ayah.      

"Ada apa?" tanya ayah Lesmana heran.     

"Boleh saya minta waktu sebentar, Maaf saya tidak suka basa-basi," mendengar ucapan Mahendra. Lesmana menyingkir berdua dengan menantunya.      

.     

.     

"Aku Mengerti, karena aku bukan orang baru di keluargamu," selepas Mahendra mengurai permintaan maaf karena harus menitipkan istrinya di rumah sang ayah. Kalimat jawaban Lesmana begitu menenangkan.      

"Sekali lagi saya berterima kasih atas pengertian ayah,"      

"Maaf, ayah belum mampu memberikan bantuan lain," ujar Lesmana ringan.     

"Jangan minta maaf, ayah membuat saya kelihatan lebih buruk," mereka sempat berdebat. Atas rasa saling menghargai yang luar biasa.     

"Haha.." Lesmana terkekeh, "Aku yang harusnya berterima kasih, kau memberi Anantha wadah baru untuk merajut harapan kembali," mata Lesmana mengarah pada Mahendra. Tatapan seorang ayah yang tertangkap demikian dalam.      

"Rey, rekan kak Anantha, mereka putra Tarantula, mana mungkin saya tinggal diam," ujar Mahendra, "Sudah menjadi hak kak Anantha mendapatkan tempat baru. Lagi pula aku yang memintanya memimpin mengembangkan start up Aruna, serta konsultan di beberapa sistem teknologi penjualan di DM grup."     

"Karena, kakak punya kemampuan yang bagus di bidang itu, anda tahu saya tidak memilih seseorang berdasarkan ikatan keluarga semata," Mahendra menjaga nama baik ayahnya.     

Lelaki bermata biru tahu ayahnya tidak suka andai pernikahan dengan Aruna, membuat saudara-saudara istrinya mendapat tempat dan jabatan yang bagus.      

"Aku bukan hanya menyoroti Anantha, aku dengar Aditya juga punya tempat baru di sisimu?"     

"Kenapa kita jadi membahas ini Ayah?" Mahendra nampak tak suka dengan arah pembahasan mereka.     

Lesmana menarik berdirinya mendengar protes Mahendra.     

"Kamu membuatku mengingat kakekmu. Sama seperti dia, ketika hatimu teraih banyak timbal balik yang kalian berikan. Tapi, ingat nak, tidak semua orang yang kalian anggap baik selamanya baik. Bisa jadi mereka berubah dan menginginkan lebih, karena cara kalian berterima kasih terlalu kelewatan,"      

"Kenapa anda bicara seperti itu ayah?"      

"Sebab Rio dulu posisinya juga sama. Dia membantu tetua menjalankan banyak hal.. menjadi sekretaris paling muda kakekmu sebelum aku. Dewan-dewan tarantula, mereka para pemimpin berprestasi yang memberikan banyak kebaikan, tak terkecuali saham perusahan, namun semuanya tiba-tiba berubah," kembali mata Lesmana menatap serius menantunya.     

"Jangan sampai kamu memberikan tempat pada kakak-kakak Aruna karena alasan yang sama, aku tak suka!" Lesmana mulai bergerak menuju ruang tamu.     

"Aku tidak seperti kakekku, Ayah," padahal banyak hal dari Mahendra yang sangat mirip kakeknya "Tunggu, apa anda punya masukan, untuk ku?" sejalan ucapannya, Hendra menghentikan langkah kaki Lesmana.      

"Periksa tiap-tiap orang di lingkaran terdekat," pesan Lesmana, "Jangan menutup mata atas pengkhianatan, hati orang tidak ada yang dapat memprediksi. Andai kamu bisa seperti ucapanku, baru aku percaya.. kau berbeda dengan kakekmu.."      

"Oh, jadi itu kelemahan kakekku?!" Hendra menarik lurus bibirnya -tersenyum-.     

Lesmana mengiyakan. "Kakekmu tidak suka di khianati. Tapi kenyataannya dia sering kali menutup mata atas tindakan tersebut, itu-lah kenapa dia menciptakan lantai di bawah tanah dan meletakkan anak-anak angkatnya di sana. Divisi-divisi tersebut di jadikan alat untuk mengatasi berbagai penghianat baik dari dalam DM grup dan luar, bahkan calon para kolega," pada detik ini, mata Mahendra terbuka. Ucapan Lesmana membuktikan bahwa ayah mertuanya -yang dulu menjadi bawahan terbaik- adalah satu-satunya teman sang kakek.     

Dan ucapan Lesmana sama sekali tidak meleset, tiap divisi di bawah naungan lantai D seperti penangkal pengkhianatan. Dibawahnya terdapat Tim Thomas -negosiator, Tim Vian -Investigasi internal, Tim Pradita -IT/Teknologi, dan sekelompok ajudan yang punya disiplin tinggi di bawah pimpinan Raka. Kenyataannya itu semua wujud kelemahan Wiryo.      

Bahkan kekurangan Wiryo menjelma menjadi kelebihan dengan kegilaannya membangun ruang bawah tanah yang di takuti banyak orang, sebab banyak rumor misterius yang menyelimutinya.     

Padahal di bawah tanah Djoyo Rizt Hotel adalah sekelompok pemuda ber-IQ tinggi sesuai kapasitas mereka masing-masing.      

"Tunggu? Ayah tahu Lantai-D," Lesmana tidak menjawab, sebab ada panggilan lain yang lebih riuh. Suara para perempuan yang akan memberi makan kepada dua lelaki yang sibuk berdiskusi.     

***     

"Ke mana baju-baju ku??" seorang perempuan menatap tercengang isi lemari khususnya. Baju, sepatu dan tasnya menghilang. "Sial!" Umpatnya, "Darko hilang! Kalian juga ikut di ambil?!" setelah mengumpat, dia bergetar menatap dirinya di cermin.     

"Darko? Baju-baju Aruna di kamarku? Kenapa bersamaan?" Perempuan ini menutup mulutnya sendiri, _apa Hendra yang menangkap Darko? Tapi kenapa para Ajudannya masih mencari Darko?_ kemelut di kepala Anna tak bisa terelakkan.      

Mahendra pria yang mengerikan, Anna tahu dengan cermat, sejak kecil dia pandai memainkan banyak permainan yang menguras pikiran. Pria ini tidak bisa di prediksi, bodohnya dia di kendalikan istrinya yang lemah gemulai tak berdaya itu.      

Apakah dia sudah tahu segalanya lalu pura-pura, seolah membiarkan semuanya berjalan normal?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.