Ciuman Pertama Aruna

III-203. Mengambil Nafas (Menikah+)



III-203. Mengambil Nafas (Menikah+)

0Mahendra pria yang mengerikan, Anna tahu dengan cermat, sejak kecil dia pandai memainkan banyak permainan yang menguras pikiran. Pria ini tidak bisa di prediksi, bodohnya dia di kendalikan istrinya yang lemah gemulai tak berdaya itu.      
0

Apakah dia sudah tahu segalanya lalu pura-pura, seolah membiarkan semuanya berjalan normal?     

Inilah yang amat sangat di takuti Anna, jika dulu semua orang merinding dengan Wiryo. Orang-orang tersebut hanya tak bisa meraih hati tentua Wiryo, berbeda dengan Mahendra yang sangat sulit di dekati atau di pengaruhi. Pria keras kepala dalam wujud yang sebenar-benarnya.     

Anna menutup lemarinya, dia merasa ingin lari detik ini juga.     

Ketika mendekati handphone dan membaca beberapa pesan yang tersaji di layar utama, ia membuka salah satunya.     

[Ibu pimpinan, dengan hormat kami sampaikan jadwal meeting mentari plaza] Pengirim pesan tersebut menambahkan file PDF yang berisi Agenda meeting. Anna bergegas bersiap berangkat.     

***     

Pintu berwarna putih kamar Aruna terbuka. Mahendra masuk terlebih dulu dengan menyeret koper besar dan membukanya.     

Aruna terlihat mengerutkan keningnya. Benda-benda yang dulu terpasang manis, kini bercampur dengan barang-barang milik kak Anantha. Bahkan seprai ranjang tidurnya berubah motif menjadi seprai klub bola kesayangan kakaknya.     

Tak lama seseorang masuk, "Tolong bayar uang sewa! Ingat, kamar ini sudah menjadi milikku setelah di tinggalkan Aruna," dia mengacungkan jari telunjuknya pada Mahendra.     

Hendra hanya menarik lurus bibirnya. "Jadi, proyek yang kemarin di ajukan perlu di tandatangani atau.."      

"Bos, ucapanku aku tarik kembali," Anantha menutup pintu kamar rapat-rapat. Terdengar suara langkahnya bergegas pergi.     

Anantha tertangkap sangat jahil, dia tak sadar di tertawakan adiknya.     

Selepas suami istri tersebut bantu membantu mengosongkan koper, kemudian meletakkan baju dan benda lainnya bersisian dengan barang milik kak Anantha. Pintu kamar kembali terketuk. Sang kakak jahil menyelinap masuk, "Aku mau ambil laptop," sangat merusak momen Aruna dan Hendra yang ingin memanfaatkan celah waktu sebelum berpamitan.     

Mahendra tampak menatapnya dengan kesal. Lelaki bermata biru bersedekap, mengetukkan kakinya tak sabar ingin mengusir Anantha.     

Akhirnya si perusak suasana menghilang     

"Sayang.. peluk aku," ujar Mahendra sejalan merengkuh tubuh Aruna.     

"Sebentar-sebentar, maafkan aku.." Anantha masuk kembali, "Pemotong kuku ketinggalan," mencari barang sepele yang sengaja di buat berlama-lama.     

Aruna yang sungkan dengan kakaknya, mundur dan melepaskan diri dari suaminya.     

"Sabar ya Hen.. kamarnya cuma Tiga.. Kakak sudah baik tiap malam akan tidur di depan televisi," Aruna tahu Mahendra ingin meledak.     

Setelah kakak usil tersebut pergi, Mahendra buru-buru menangkap dagu istrinya dan menyesap di bibir.     

"Klik.. krek" pintu kembali terbuka, dan Aruna berusaha mendorong dada suaminya.     

Tampaknya Mahendra terlanjur jengkel, menyadari Anantha sengaja mengusik dirinya.     

Lelaki bermata biru mendekap erat Aruna, dan menyelipkan lidahnya ke dalam bibir istrinya. Bukannya pergi, si kakak jahil malah mengamati adegan suami istri tersebut.     

Aruna yang sangat malu memukul dada suaminya supaya terlepas.     

"Hais' kau.. Aargh!! Kalau bukan kakakku, sudah aku.." Hendra mengangkat tangannya. Ingin sekali bergulat dengan kakaknya yang kelewat batas tersebut.       

Anehnya Anantha malah mendekat, lalu menarik lengan Mahendra keluar kamar, "Apa-apaan sih! Aku bosmu!" ujarnya terdengar sombong.     

"Iya, tapi kau adikku! Adik yang baik harus mengikuti permintaan kakaknya," Anantha tak mau mengalah.     

"Ada apa??" tanya Mahendra acuh.     

Anantha mendekati Mahendra, ketika keduanya berada di sudut yang tampak sepi.     

"Bagaimana caramu minta cium Aruna?" Pertanyaan polos dari Anantha -yang baru memiliki kekasih- kelewat penasaran.     

"Apa??" Hendra tercengang bukan main. Selebihnya sang adik tersebut tertawa terbahak-bahak.      

"Kau -kan' sakit.. entah kau sakit apa, tapi kamu bisa mencium perempuan?" Ekspresi Anantha campuran dari rasa penasaran, bingung dan berharap.     

Mahendra belum menghentikan tawanya, sampai Anantha memukul bahunya.     

"33 tahun belum berciuman.. hahaha," tawa Mahendra tak bisa di kendalikan lagi. Dia memegangi perutnya sebab terlalu geli.      

"Aruna tidak aku izinkan tidur di kamarku!" gertak Anantha.     

"Jahat sekali.." protes Hendra.     

"Kamu yang.. Ah sudahlah," Anantha mengusung langkah pergi.     

"Pura-pura saja tak sengaja bersentuhan bibir dengan Nabila, lama-lama dia juga mau," ini suara Mahendra memberikan ide cemerlang. Yang sebenarnya adalah pengalamannya sendiri.     

"Begitu ya.." Anantha terlihat berpikir keras, "..Bagaimana caranya?" pertanyaan Anantha membuat Mahendra ikut berpikir. Sebab pengalamannya benar-benar tidak sengaja.      

"Baca novel, yang penulisnya punya nama pena BentengTerbaik, nanti kamu bakal ahli merayu," lalu Mahendra, kembali menemui istrinya.      

Anantha hanya menggaruk sudut lehernya, mendengar saran sang adik ipar.     

.     

.     

"Apa yang terjadi pada kakak?," sapa Aruna, saat Hendra menutup pintu.     

"Entah.. dia aneh sekali," Jawab Hendra memeluk tubuh istrinya kemudian membaringkan di ranjang.      

"Apa nanti malam, Dad pulang menemui kami?" Mahendra menjawab dengan galengan kepala. Aruna serta merta murung.      

"Sudah.. tutup matamu, saatnya tidur siang untuk ibu hamil," bukan Mahendra kalau tidak mengatur hal-hal remeh termasuk memberi jadwal tidur siang untuk Istrinya.     

"Kalau aku terlelap kamu akan pergi?"      

"Iya.." singkat jawab Mahendra, sejalan tangan mengelus perut Aruna.     

"Kenapa begitu.. aku tidak mau menutup mataku,"      

"Aku tidak bisa melambaikan tangan padamu. Meninggalkanmu saat tidur lebih baik," jawab Mahendra yang sebenarnya berat menyuruh Aruna tinggal di rumah ayahnya.     

"Aku tak akan menutup mata," perempuan hamil nampak tetap pada pendirian.     

Hendra terkekeh mendengarnya.      

"Apa yang harus aku lakukan supaya di izinkan pergi?" Hendra yang sejak tadi duduk di tepian ranjang, menatap Aruna yang terbaring. Mengamati mata perempuannya terlihat berputar.      

"Em.. itu.." ini suara Aruna.      

"Itu Apa?" Mahendra sungguh tidak mengerti.      

Aruna hanya bisa menggigit bibirnya, perempuan ini bingung bagaimana mengutarakan keinginannya.     

Dia bangkit dari tidurnya meraih pergelangan tangan Mahendra. Lalu mengecup telapak tangan lelaki tersebut. Tak lama perempuan bermata coklat membuka satu kancing bajunya sendiri.     

Aruna menggeser duduknya, perempuan tersebut memberi separuh ruang kosong di ranjang. Lalu mengelus ringan permukaan tempat tidur, yang secara tersirat disuguhkan untuk suaminya.     

Ada senyum kecil yang terbit dari bibir lelaki.      

Mahendra mendekap tubuh perempuannya dari belakang. Dia membuka kancing baju yang lain. Bibirnya sudah menyentuh ceruk leher istrinya.      

"Pintunya sudah di kunci? Nanti kakak masuk?".     

"Haha, sudah," suara Mahendra menyelesaikan gerakan melucuti baju yang membungkus istrinya.     

Tubuh Aruna masih membelakangi keberadaan Mahendra, bahkan saat pria tersebut tidak menyisakan baju di tubuh istrinya. Hendra tidak mengizinkan Aruna berbalik, menghadap ke arahnya.      

"Supaya baby dan kamu aman, aku akan datang dari Arah belakang," Dan benar, lelaki bermata biru mengangkat sekilas kaki istrinya, sebelum akhirnya mereka bertautan di bawah sana.     

Hendra mengusahakan dirinya memberi ritme ringan, yang tidak berlebihan maupun tidak terlalu lambat.     

"Aku rasa yang kemarin ada sesuatu yang salah padaku," ucapan ini seiring hawa di tubuhnya yang meminta lebih, akan tetapi lelaki bermata biru masih bisa mengontrol diri.      

"Em.. huuh.. aku.. tahuu.." Aruna sulit bicara sambil mengambil nafas.      

"Aku janji, yang sekasar kemarin.. uuh.. yang terakhir.. andai tubuhku.. argh.. tak bisa di kendalikan.. aah.. Aruna.." dia berhenti bergerak. Melepas tautan.     

"Sayang kamu bisa pindah di pangkuanku," tawar Mahendra.     

Melihat istrinya mengangguk, lelaki bermata biru bangkit merengkuh dan membimbing tubuh sang perempuan.     

Aruna mengusir tangan kokoh Mahendra yang memegangi pinggulnya. Biasanya sang suami akan membantunya, akan tetapi perempuan tersebut nampak tidak mau di bantu kali ini.     

Ibu hamil tersebut merasa, dia bisa bergerak sendiri untuk memenuhi hasratnya.     

Mahendra terdiam mengamati istrinya yang bergerak, perempuan hamil tersebut lebih pandai daripada biasanya. Lelaki bermata biru lebih suka memegang perut berisi baby-nya, ketika istrinya terlihat menikmati dirinya.     

Cukup hebat ketika waktu terus berputar hingga perempuan hamil tersebut akhirnya jatuh di pelukannya. Setelah ia melelehkan hasratnya untuk pertama kalinya.     

Mahendra mendekap erat, lalu memberikan elusan lembut pada punggung kasar istrinya. "Mau lagi? Atau sudah?"      

"Lagi?" Aruna yang terkulai dalam pelukan masih sempat memberi jawaban menantang.      

"Haha," ada pria yang terkekeh, melumuri bibir sendiri lalu memanfaatkannya untuk menggigit ceruk leher, "Sekarang Aku yang bekerja," tubuh Aruna di baringkan di atas ranjang.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.