Ciuman Pertama Aruna

III-205. Matahari Bertemu Meridian



III-205. Matahari Bertemu Meridian

"bisakah anda menurunkan telapak tangan anda?"     

"Oh' tentu.." ia mengangkat kedua telapak tangannya. Kemudian berujar: "jangan memandang rendah diriku.. posisiku sekarang sangat penting, oh' bukan, lebih tepatnya -menguntungkan, menguntungkan bagimu terutama bagi ayah dan nenekmu," dia tersenyum dengan percaya diri. Sebelum meninggalkan Gibran yang masih tercengang oleh seseorang yang terpaksa dia sebut 'paman' sebab permintaan ayahnya.     

***     

Sarapan pagi yang tersaji di meja makan rumah induk mendingin, tak satu pun keluarga datang mengunjungi meja makan. Koki yang kini lebih berani memutuskan menu makanan -tanpa menunggu perintah dari Anna- tertangkap murung.     

Manajer asisten rumah induk khusus dapur dan kebersihan memutuskan hidangan di meja makan diundur ke belakang. Kemudian para ajudan perempuan diminta menanyakan apakah Oma Sukma dan bunda Gayatri menginginkan sarapannya diantar ke kamar mereka.     

Semuanya terlihat masih baik-baik saja ketika pada akhirnya Susi sang ajudan menyatakan bahwa nyonya besar dan nona utama keluarga ini akan menyantap sarapan paginya di balkon belakang rumah.     

Tapi rasa baik-baik saja tersebut tidak berlangsung lama, salah satu asisten yang biasa membantu koki mendengar percakapan nyonya mereka. "Berapa lama Aruna dipulangkan ke rumah Lesmana? Aku merasa ada yang tidak beres -Gayatri," kalimat ini menyulut tanda tanya Besar yang mendorong asisten lain memburu informasi pada Tika dan Ratna.     

"Apakah benar nona Aruna sengaja pulang ke rumah ayahnya?" Satu persatu mulai mendesak Tika dan Ratna. Sampai keduanya merasa risi.     

"Bukan sengaja pulang. tapi, tuan muda mengizinkan nona bertemu keluarganya," ini jawaban Ratna, asisten tersebut cenderung bijak.     

Beda dengan Tika yang usianya jauh lebih muda, "aku juga khawatir, Kenapa Nona pulang ke rumah-nya.. ya? Tuan Mahendra sendiri yang merapikan koper nona," dan boom, raut wajah lesu terpasang di wajah setiap asisten rumah induk. Seolah mereka faham, Tuan mudanya punya rencana gila. Atau bencana besar bakal terjadi.     

.     

.     

Tengah hari adalah saat ketika Matahari bertemu dengan meridian langit lokal. Pada saat itu, Matahari tampak mencapai titik tertingginya di langit, yaitu pada pukul 12.00.     

Tepat di saat suasana terik mengikat hawa panas di angkasa siang ini. Tuan muda Djoyodiningrat keluar dari mobil hitam legam, dia menapaki rumah induk dengan langkah lebar gesit dan tentu saja di ikuti sekelompok ajudannya. Herry, termasuk yang lain mengekor di belakang.     

Asisten yang sempat membuka pintu utama tempat berlalunya sang tuan muda. Menarik diri dan masuk ke dalam, seperti seorang pembawa gosip besar ia menyebar informasi terkait raut muka yang ditunjukkan tuan muda.     

Berita terkait ekspresi wajah tersebut masuk dalam kategori urgensi tinggi. Bagaimana tidak? Gerak mimik yang disajikan pewaris Djoyodiningrat yang terprediksi mendingin tanpa istrinya yang cerah itu. Menjadi pertanda besar, akan bencana bakal datang lebih cepat Atau kah sedikit melambat.     

.     

Lelaki bermata biru dengan rambut kecokelatan, tiba-tiba memutuskan duduk di ruang tengah.     

Mahendra Djoyodiningrat merebahkan punggungnya pada sofa kulit Italia kualitas tinggi yang terpasang sempurna di tengah ruangan lantai pertama -ruangan besar dengan lampu kristal di atasnya-. Sebuah ruangan yang menghadap langsung ke kamar pribadinya ketika ia mendongak ke atas, tempat yang jarang ia pedulikan apa lagi ia duduki sofanya.     

Herry dan juga yang lainnya berdiri kaku, saling melempar lirikkan mata antar ajudan. Mereka memprediksi terkait: Apa yang dipikirkan tuan muda tersebut. Selang berapa saat, kalimat perintah meluncur dari bibir tuan muda, "kumpulkan semua penghuni rumah ini kecuali keluarga inti," lalu ia terlihat berpikir, kemudian berdiri tegap mendekati Herry. Sedangkan yang lain gelagapan melihat mata birunya yang berkilat-kilat.     

Ajudan selain Herry terlihat segera memenuhi perintah tuannya, Herry yang sudah terbiasa dengan ekspresi Hendra, -sering berubah-rubah-. Kali ini sang ajudan terdekat ikut bergetar ketika tangan tuannya masuk ke dalam sudut jasnya, merengkuh senjata api yang biasa di sembunyikan di sana, di balik jas.     

"berapa isi pelurunya?" tanya Mahendra. Suara tersebut mendesah rendah, tidak ada senyum dan tidak ada ekspresi tertentu yang bisa di prediksi, apakah pria tersebut sedang berada dalam kondisi emosi, resah atau penuh amarah. Herry yang dekat dengan Hendra kesulitan menerka-nerka tuannya sendiri.     

"penuh tuan," Ucap Herry.     

"Oh," kemudian Mahendra kembali duduk di sofa kulit Italia. Ia mengamati senjata api tersebut penuh minat, "seseorang memberitahuku agar aku mengendalikan diri, mengingatkan keberadaan istriku dan juga bayi yang akan ia lahirkan," tentu saja mata biru sedang berbicara dengan Herry.     

"ah' gara-gara Diana aku menekan keinginanku kuat-kuat, padahal aku sudah gatal sejak awal," rasanya bulu kuduk Herry berdiri detik ini.     

"gara-gara Diana pula, aku menahan diriku ikut campur menangkap pelaku, menyerahkan semuanya pada anak buahku yang lama-kelamaan kelihatan bodoh!!," Herry menelan salivanya. "Ah' Sial! Aku bakal berlumur dosa kali ini," Herry mencoba melirik pria yang saat ini sedang bicara padanya. "jangan coba-coba bercerita pada Aruna," tampaknya Hendra tahu anak mata Herry diam-diam menatap dirinya.     

Hendra lekas berbalik menatap mata Herry secara penuh, "kunci Oma dan mommyku di kamar," ujar Mahendra, Herry pergi, menyisakan Hendra yang sendirian duduk nyaman pada sofa kulit Italia, coklat gelap mengilat.     

.     

.     

Satu persatu penghuni rumah induk secara spontan membuat barisan rapi dalam dua kelompok, jumlah mereka tergolong banyak. Terlebih jumlah tim kebersihan rumah, dan keamanan yang kini mendominasi barisan.     

Mahendra tidak menatap mereka sedikit pun, dia lagi sibuk mengamati senjata apinya yang ia dapatkan dari Herry. Hingga salah satu ajudan memberitahu bahwa semuanya sudah terkumpul, kecuali penjaga pintu gerbang depan.     

"Oh," Mahendra meletakkan senjata apinya pada permukaan sofa. Sejalan kemudian ia menggerakkan jemarinya, "datang kan anjing-anjing kalian yang kemarin,"     

Sempat terdengar Wisnu menghela nafasnya, sebelum Ajudan tersebut dan Ajudan yang lain kembali memenuhi permintaan Mahendra.     

"Hendra.. apa yang kau lakukan!" ini suara Wiryo baru datang dengan kursi rodanya, ia didorong oleh Andos.     

"Mengerjakan apa yang tidak pernah anda kerjakan, bukankah ini menarik, kakekku?" Mahendra mengakhiri kalimatnya dengan kekeh tawa.     

Wiryo tak lagi bicara, ia terpaku menatap cucunya.     

"Andos, menurutmu seseorang seusia kakekku lebih baik melihat kelakuanku atau tidak?" Mahendra mengabaikan tatapan kakeknya. Lelaki tersebut memilih menatap Andos. Dan Andos memutar kursi roda tuannya sendiri. Menggiring kursi roda yang seharusnya bisa bergerak otomatis tersebut, menuju kamar pribadi tetua.     

"Sepertinya Kau lebih setia pada cucuku, Andos?!" Kalimat ini sempat terdengar sebelum keduanya menghilang. Andos tertangkap mengutarakan permintaan maaf.     

.     

.     

Hewan pengendus paling ulung tersebut sudah mendekati seputar tempat mata biru duduk, di hadapannya berjejer para asisten rumah induk yang gemetaran bukan main, bahkan ada yang mencoba menggigit bibirnya supaya tidak menangis.     

Kumpulan hewan cerdas tersebut sempat menggonggong, "aku tidak mengulangi pertanyaanku," akhirnya Mahendra menatap barisan penghuni rumah megah ini.     

"siapa yang pernah membawa orang asing masuk ke rumah ini?"     

Dan ke semuanya terdiam tanpa suara, Mahendra menunggu sekitar 30 detik.     

"siapa yang pernah melihat orang asing masuk ke rumah ini?" lagi-lagi tidak ada yang membuat jawaban semuanya terdiam.     

"Siapa yang mengunci kamarnya? Buka kamar kalian sekarang, dan kembali berdiri di tempat ini lagi," tertangkap beberapa asisten perempuan berlari menuju lantai tiga, tepat ketika mereka terlihat mulai kembali. Mahendra bangkit dari duduknya. Meminta para hewan pengendus ulung tersebut berkeliaran di seluruh rumah.     

Mahendra sempat mendengar suara tangisan, bercampur riuh lari hewan-hewan berkaki empat tersebut diikuti larinya para ajudan. Mereka yang menangis buru-buru menelan suaranya. Tatkala mata biru menyala-nyala menyoroti keberadaan suara pengganggu.     

Kepergian istri tuan muda seperti malapetaka yang siap membabat habis suasana hangat yang sempat memenuhi ruangan-ruangan megah rumah Djoyodiningrat.     

.     

.     

"Andos hentikan cucuku!" di dalam kamar yang terkunci rapat pria yang hanya mampu berdiri dengan satu kaki. Mendapatkan geleng-an kepala sekretarisnya.     

"Maaf tuan, andai saya menjadi tuan muda, saya bakal melakukan hal yang sama," Andos konsisten berdiri di depan pintu.     

Sama seperti Susi yang konsisten menjaga pintu tempat dikurungnya oma Sukma dan mami Gayatri.     

[Hallo,]     

[Ia mommy bisa di bantu..]     

[Biar aku yang bicara Gayatri,] dibalik smartphone, ada suara Oma Sukma yang menyusup.     

[Sayang.. Oma minta tolong telepon suamimu sebentar saja] cuma itu yang dikatakan Oma Sukma. Sepertinya nenek ramah tersebut tengah menjaga situasi, dia juga tak ingin Aruna terganggu, terlebih tahu apa yang detik ini dilakukan Mahendra.     

[Baik Oma,]     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.