Ciuman Pertama Aruna

III-204. Teater, Taman Bermain Usang



III-204. Teater, Taman Bermain Usang

0Perempuannya terlelap, Mahendra dengan sengaja menunggu Aruna terbawa lelahnya. Dia tidak membiarkan dirinya ikut tertidur setelah memuaskan keinginan istrinya dan tentu saja keinginannya sendiri.     
0

Lelaki tersebut turun dari ranjang, meraih celana, lalu mengenakannya. Mata terpejam Aruna belum mau pergi dari tatapan. Lelaki tersebut masih mengamati istrinya, tatkala tangan kanannya meraih baju, lalu menelusuri lengan hem tersebut.     

Selepas memasukkan tangan, jemari mata biru lincah mengaitkan kancing demi kancing dari atas sampai ke bawah sambil tak henti-hentinya melihat istrinya yang kembang kempis bernafas ketika terlelap. Panorama yang teramat indah bagi pria unik ini.     

Mahendra turut serta meraih baju berserakan Aruna, lalu satu persatu di selipkan kain-kain tersebut ke sisi dalam selimut.     

Masih mengusung kejelian khasnya, lelaki bermata biru meraih remote AC dan menurunkan suhu udara. Isi kepala Hendra yang seringkali terlampau ajaib, sedang mencetuskan sebuah ide supaya istrinya tidak merasa kehilangan akan keberadaan dirinya.     

Dia membungkus Aruna dengan selimut tebal, seiring udara yang kian mendingin. Lalu mengambil sebuah guling, Mahendra menyelipkan benda empuk berbentuk tabung tersebut ke dalam selimut, tempat dimana ia terbaring tadi. Supaya Aruna merasa tubuhnya masih berada pada tempatnya.     

Nafas Hendra berembus detik-detik lelaki tersebut ingin melangkah pergi. Kenyataannya, ini lebih berat dari yang dibayangkan. Aruna terlalu cantik saat tidur, -selalu begitu-. tetap sama, sejak hari-hari pertama pernikahan mereka -sejak dirinya yang sering kali mati-mati berusaha tidur lebih awal, atau buru-buru mencari denyut nadi Aruna ketika ia terpaksa terbangun di malam hari- Aruna konsisten mengundang penasaran.     

.     

Tangan yang terlihat besar dibanding muka kecil Aruna, kembali mengelus wajah merona bercampur lelah khas sepasang suami istri yang baru usai merengkuh nikmat. Dia yang menatap istrinya mencoba menyingkirkan helai demi helai rambut berserakan menutup sebagian wajah.     

Sepintas berikutnya sang pria tertangkap menelusuri permukaan bibir, dan lagi-lagi menyisipkan kecupan. "Aku titip baby, sayang.." mata Biru berbisik.     

Setelah mencukupi amunisi, Mahendra berjalan menuju pintu, ia meninggalkan perempuan terbaring di atas ranjang.     

Dan ternyata perempuan yang sengaja ditinggal diam-diam membuka matanya lebar-lebar setelah pria tersebut menghilang di balik pintu.     

.     

.     

Mahendra baru saja usai menuruni tangga rumah Ayah Lesmana. Ia mencoba mencari bunda dan ayah mertua untuk berpamitan. Namun yang ia dapati malah ajudannya, ajuda tersebut kini mendekat menyajikan ekspresi canggung, bingung, bercampur resah, "Tuan, saya.." suara Alvin terbata-bata. Alvin memberi hormat dan menundukkan kepala. Akan tetapi kalimatnya tak dapat di lanjutkan. -ajudan tersebut bergetar-     

Mahendra menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya sejenak menghadap Alvin, "Angkat kepalamu!" perintahnya kepada Alvin. Dan Alvin buru-buru mengangkat wajahnya. "semua orang tahu istriku baik hati," mata biru bergerak satu langkah mendekati Alvin, "tapi tidak denganku," Mahendra mencondongkan tubuhnya demi membisikan kalimat tersebut di telinga Alvin.     

"Jika kau berbuat kesalahan untuk kedua kalinya, bukan sekedar diskors, kamu bakal tahu arti penyesalan yang sesungguhnya," kalimat ancaman tersebut kembali mengingatkan sesuatu yang sempat hilang, sosok dingin yang misterius kembali merasuki tubuh Mahendra.     

Alvin mengangguk tegang, "tidak akan ada kesalahan lagi, -Tuan," Alvin belum bisa bicara dengan intonasi benar. Bahkan Herry yang berdiri tidak jauh di antara mereka mulai memahami ada gerak-gerik yang berbeda pada diri tuannya.     

Untung saja ketegangan ini mereda, Alvin merasa sedang mendapatkan keberuntungan ketika mertua atasannya datang membawa bungkusan di tangan. Otomatis Alvin bergerak menyambut benda tersebut untuk di tenteng. Di bawa menuju mobil tuannya.     

"Ada sedikit titipan untuk Oma Sukma dan ibu Gayatri, aku berharap mereka selalu sehat," Mahendra mulai bercakap-cakap, dia berpamitan. Lalu langkah tersebut menggiringnya keluar menuju Bentley.     

Ketika mobilnya melaju meninggalkan rumah Ayah Lesmana. Ia bahkan Belum sadar, ada perempuan yang berdiri di balkon menatap kepergian mobil suaminya. Perempuan yang terbungkus selimut tebal menatap lekat laju Bentley continental meninggalkan rumah ayahnya. Meninggalkan dirinya.     

_Baby jangan bersedih, semoga Dady lekas mengunjungi kita_ Sang perempuan berbicara pada janin di perutnya.     

Tak lama perempuan ini berbicara dengan dirinya sendiri _kau harus percaya pada suamimu Aruna.. dia pria baik, dia ingin kebaikan untukmu, bukan menyisihkanmu_ Aruna berupaya meyakinkan dirinya sendiri.     

***     

"Paman?" seorang CEO sedang memastikan persiapan acara besar perusahaan. Terlihat berjalan ringan sambil mengamati auditorium membentang dengan hiasan ornamen-ornamen memikat termasuk panggung yang hampir usai di tata.     

Pria tinggi, dengan brewok tipis, mendekat. Dia menyapa, kemudian menjabat tangan Gibran. "Lama sekali kita tidak berjumpa paman?" ini suara Gibran mengimbangi cara pria itu menyapa dirinya.     

Lawan bicara Gibran tersenyum ringan, "apa kau melupakan sanggar teaterku?" Gibran mencoba mencerna kalimatnya. Kemudian anak mata lawan bicaranya mengarah kepada panggung. Ah' Gibran merasa dia tahu maksud dan tujuan kedatangan yang penuh kejutan dari kemunculan lelaki tersebut.     

"Teater Paman masih..?? oh' maaf," seingat Gibran, teater tersebut sudah gulung tikar. Teater yang dulunya begitu megah, di salah satu pusat taman bermain, milik anak perusahaan tarantula. Sayang sekali pusat taman bermain tersebut perlahan ditinggalkan pengunjungnya, sehingga dianggap usang dan kurang menguntungkan.     

Kesimpulan akhir 2 tahun yang lalu, pusat taman bermain tersebut bakal ditutup total. Kenyataannya, Rio -sang ayah- membiarkan tempat tersebut tetap beroperasi padahal penampakannya mirip sekumpulan barang yang mangkrak selama 2 tahun. Tidak pernah ada renovasi, tidak pernah ada perbaikan, satu persatu pegawainya mengundurkan diri, entah apa yang bersisa di sana?     

Namun, tiap kali Pimpinan dewan -Rio- ditanya, terkait dibiarkannya tempat itu terus saja mengalami Depresiasi atau penyusutan barang, anehnya sang ayah membiarkan nilai penyusutan tersebut berjalan perlahan menuju grafik terburuk.     

Senjata yang di gunakan si adidaya tarantula alias Rio ialah; ada seseorang yang sedang berjuang untuk mempertahankan tempat itu.     

Sejak kapan ayah Rio manusiawi?     

"Aku datang kemari bukan menginginkan teaterku tampil di panggung kecil tersebut," dia yang sedang bicara memasang wajah serius kepada Gibran. Akan tetapi ujung kalimatnya seolah tengah mencemooh, berani sekali si teater gulung tikar di tengah pusat taman bermain usang berani menatap jenaka panggung perhelatan Akbar perusahaan terbaru tarantula Group yang digembar-gemborkan bakal menjadi gaya bisnis baru perusahaan multinasional tersebut.     

"lebih dari itu," dia menyerahkan berkas, dan tatkala Gibran beberapa kali membolak-balik tumpukan kertas tersebut. Gibran mendapati tanda tangan ayahnya di sana, tepat di pojok kiri bawah artinya pengajuan ini telah disetujui oleh pimpinan tarantula grup. Dan Gibran -mau tidak mau- bertugas sebagai pelaksana. Bukankah CEO tugasnya melaksanakan perintah presdir?     

"akhirnya perjuangan anda tidak sia-sia," ucapan ini Gibran lempar sebatas dugaan terkait perjuangan sang pria selama 2 tahun. Sebab ia tak pernah terlihat sepanjang 2 tahun terakhir.     

Gibran mengingat betul pertemuan paling akhir dengan pria tersebut, tatkala pemilik pusat teater tengah memimpin demonstrasi besar yang berisikan seluruh pegawai taman hiburan. Mereka secara brutal mendatangi kantor pusat tarantula Group. Membawa berbagai poster dan spanduk besar. Yang kemudian memaki Gibran dengan kata-kata kasarnya. Dan keesokan harinya ia menghilang setelah semalam kabarnya berjumpa dengan sang ayah -Rio-. Gibran mencengkeram berkas tersebut, ia sejujurnya sangat tak setuju.     

Insting bisnisnya bergelut di kepala; walaupun tempat tersebut direnovasi ulang -sampai menyeluruh pun. Tetap, tak akan merubah apa pun, kebiasaan masyarakat telah bergeser, sudut pandang masyarakat penghuni kota telah berubah, mereka kini lebih suka menikmati indahnya alam nan asri dan sejuk, dibanding memacu adrenalin atau bermain-main di sebuah taman bermain yang terdapat di tengah kota padat penduduk.     

"Bekerjalah dengan baik ketika merenovasi tempat kami, kamu tidak akan menyesal, calon presdir," dia yang bicara menarik bibirnya hingga giginya terbingkai rapi menyapa Gibran. Bahkan berani menepuk bahu Gibran.     

Gibran tertangkap mengerutkan keningnya, lelaki tersebut bingung dengan ekspresi percaya diri yang disuguhkan lawan bicaranya. Bukankah ia, berkali-kali lipat di bawah Gibran, secara struktural, maupun secara sosial ekonomi?     

Tak ada kolega yang berani menyentuh bahu Gibran, bahkan kolega yang paling dekat sekali pun. Akan tetapi pria tersebut sangat pemberani. "iya, saya usahakan,"     

"Oh iya.. kabarnya kamu akan menikah? Lama sekali? Sejak tahun lalu aku mendengar kabar ini.. namun kamu dan tunanganmu sama sekali tidak beranjak dari status itu, ayolah.. jangan halangi keluargaku menjadi bagian dari keluarga tarantula, cepatlah merealisasikan pernikahanmu," ia menepuk bahu Gibran lagi.     

"bisakah anda menurunkan telapak tangan anda?"     

"Oh' tentu.." ia mengangkat kedua telapak tangannya. Kemudian berujar: "jangan terlalu memandang rendah diriku.. posisiku sekarang sangat menguntungkan, ... ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.