Ciuman Pertama Aruna

III-206. Pelacak Ulung



III-206. Pelacak Ulung

0Perempuan yang baru mendapatkan telepon dari seseorang -Oma Sukma-, yang saat ini diperkirakan keberadaannya tidak jauh dari suaminya, tertangkap membuat perenungan mendalam.     
0

Tak lama, Aruna yang berada di kamar lantai dua, bergegas turun mencari ajudannya.     

Alvin yang melihat nonanya menuruni tangga spontan datang lekas menyambut. Ajudan ini dengan setia menunggu di lantai bawah rumah Lesmana. Perilaku yang spesial tersebut begitu menarik perhatian Aliana dan mbak Linda. Mereka merasa asing dengan pertunjukan yang tersaji antara Aruna dan ajudannya.     

"Non Aruna benar-benar beda ya sekarang non," celetukan mbak Linda di sela kegiatannya menemani baby Alan bermain, mendorong rasa penasaran Aliana.     

Aruna yang dikira akan bergabung dengan kedua nya, ternyata terlihat tergesa-gesa menuju arah ruang tamu. Kemudian keluar dari pintu rumah keluarga Lesmana.     

Si bungsu bahkan tidak sempat menyapa kakaknya. Dia tidak melihat keberadaan Aliana dan Alan, apalagi Mbak Linda.     

"Alvin," suara perempuan ini mendesah lelah tatkala keduanya memasuki mobil mewah yang terparkir di depan rumah Lesmana. Hendra menyiapkan mobil untuk istrinya, agar mempermudah ketika Aruna ingin berpergian.     

"Iya nona, Ada yang bisa saya bantu?". Sigap sang ajudan menjawab.     

"Menurutmu apa yang terjadi pada suamiku saat ini?" Nona yang biasanya menyajikan ekspresi ceria bercampur lemah lembut ini, nampak sedang dalam kondisi cemas. Bukan sekedar kerutan yang tersaji dalam raut wajahnya, tangannya yang menggenggam erat handphone, menunjukkan dia sedang merasa khawatir.     

Sayangnya Alvin belum membuat jawaban, ajudan ini diam seribu Bahasa.     

"Keluarkan saja yang ada di dalam kepalamu?" perintah Aruna bukan lagi permintaan hangat, melainkan sebuah desakan.     

"Anda lebih tahu suami anda dari pada saya nona. Jika anda mengizinkan saya, saya akan menghubungi yang lain untuk mengetahui kondisi saat ini di rumah induk," dan keduanya terdiam.     

Aruna nampak mengamati layar handphone dengan seksama, dia melihat sebuah foto profil yang tersaji pada aplikasi pesan dan panggilan. Foto yang terpasang pada nomor ponsel suaminya adalah wajahnya sendiri, yang di ambil lelaki bermata biru pada honeymoon mereka di pantai Lovina.     

Sekali tekan ia sudah bisa berkomunikasi dengan suaminya, akan tetapi perempuan ini tengah bergulat dengan batinnya sendiri.     

Apakah dia perlu membuat panggilan ataukah mencukupkan diri dengan percaya pada Mahendra, -bahwa ayah dari janin di perutnya sedang baik-baik saja-. Kalaupun Hendra sedang berbuat hal di luar kendali, Aruna yakin dia akan mengingat keberadaan dirinya dan calon babynya.     

Aruna memejamkan mata, tangannya bergetar mengusap perutnya sendiri. Perempuan ini mengurungkan niatnya untuk menelepon sang suami. Tak lama dia berinisiatif dengan berswafoto, yang kemudian dikirim kepada suaminya.     

[Daddy, sayang.. istri cantik dan baby kangen Dad, we love you] pesan ini di bingkai dengan senyuman manis, serta sebuah tanda love dari tangan kanan perempuan.     

Aruna bahkan menunggu pesannya bercentang biru -yang artinya dibaca-, sayang sekali belum ada tanda-tanda Hendra membuka pesan tersebut.     

***     

Sekelompok tentara berkaki empat yang berlarian masih sibuk dengan penjelajahan mereka. Sedangkan pria yang terlihat nyaman dalam duduknya, sangat bertolak belakang dengan raut wajah yang disajikan kumpulan asisten rumah tangga -mereka masih berdiri di hadapan tuan mudanya-.     

Hendra seolah menikmati suara-suara bising yang melambangkan kekacauan. Dia memejamkan mata, menjelma menjadi pria yang tengah jeli mendengarkan tiap-tiap gesekan kaki, pecahan benda jatuh, termasuk suara yang di long-longkan tentaranya. Bahkan denting jam klasik yang berdiri kokoh di sisi kiri ruangan turut terdengar. Saking membisunya kumpulan manusia yang berdiri di hadapan Mahendra.     

"Bagaimana bisa seorang manusia masuk kedalam rumah yang penghuninya sebanyak ini tak ada satu-pun yang melihatnya?" dia membuka mata.     

"Dan kalian?" Hendra menatap tim keamanan, "Apa CCTV rumah ini sangat mudah di hindari?" dia menatap tajam sekelompok keamanan rumah induk yang menunduk.     

"JAWAB AKU!!" lelaki bermata biru mulai habis kesabaran. Suaranya membumbung memecah kebekuan yang tersaji sejak beberapa menit silam. Sayangnya tak dapat balasan. Mereka yang berdiri kian mengerut dan tak terdengar suaranya.     

"Tuan saya minta maaf," seseorang dari penjaga ruang CCTV menjatuhkan kakinya, dia berlutut pada Mahendra, "..Saya dan yang lain sudah berusaha memeriksa. Kami tidak menemukan apapun," si pemberani mendorong penghuni ruang CCTV dan satpam keamanan yang lain menekuk kaki. Meletakkan lutut mereka di lantai.     

Hendra sekedar menatap lesu mereka. Seolah tak berminat, dan terlihat lebih bodoh lagi di mata mahendra. Apa gunanya berlutut kalau tidak membuahkan hasil. Tuan muda bermata biru ini enggan menanggapi.     

Hendra terlihat memegangi kepalanya, tak lama ada lagi yang menjatuhkan lututnya, "Tuan, maaf saya.. em.." ini si penakut yang sempat mendapatkan perhiasan mewah dari nona Aruna. "Saya.. em.." dia mau bicara, sayangnya suaranya tersekat.     

"Huuh," Hendra hanya menghela nafasnya. Merasa malas melihat pemandangan ketakutan orang-orang di hadapannya     

.     

.     

"Aku tidak tahu, apakah aku perlu Bahagia atau bersedih," Wiryo membagi resahnya kepada sang sekretaris yang masih berdiri menjaga pintu -padahal terkunci dan tentu saja Wiryo akan kesulitan membuka nya sendiri-.     

"Aku yang menumbuhkannya seperti itu," lelaki paruh baya ini Kembali membuat pernyataan. "Dia tidak akan bisa dihentikan kecuali kemauannya sendiri," helaan nafas terdengar dari lelaki paruh baya ini.     

"Anda menyesal?" Andos tergelitik dengan tiap-tiap kalimat Wiryo.     

"Em.." lelaki paruh baya terlihat berpikir, dia benar-benar tengah membuat konklusi di otaknya.     

Menimbang dan merasa-rasakan, apakah dirinya menyesal membuat Hendra berbeda? -di didik menjadi pria yang punya kemampuan ala petarung dan bermental pemburu-. Mahendra ditumbuhkan dengan disiplin tinggi selayaknya militer sejak kecil.     

"Tidak," tegas Wiryo.     

"Hehe.." Andos terkekeh, "..Untung saya menolak permintaan anda tadi -permintaan menghentikan kegilaan cucu Wiryo-," ujar Andos berikutnya.     

"Dia pemburu yang hebat," Wiryo malah berbalik membanggakan cucunya, "..hari terbaikku bersama Hendra saat aku membuangnya ke hutan, dan dia bisa kembali ke Camp tenda kami dengan membawa kijang yang dia seret sendiri," mata Wiryo berbinar, "Usianya masih 12 tahun waktu itu,"     

"Anda membuangnya tanpa memberinya apa pun?" Andos lagi-lagi didera penasaran.     

"Hanya senapan dan satu tas kecil berisi sebotol air, parafin dan korek api," jawab wiryo, gairah kebanggaan Wiryo mengembang, "Sepotong kue pun tidak aku bekali," ada kekeh tawa di sana, "Dia makan sebatang tebu sampai ada bekas robekan di sudut bibirnya,"     

"Apa anda tidak takut dia menghilang waktu itu?," tanya Andos.     

"Kami berencana mencarinya setelah matahari menghilang. Kenyataannya dia pulang sebelum cakrawala merah tertelan malam, dan hari ini hasilnya bisa aku lihat sendiri. Mahendra menjadi keturunan Djoyodiningrat yang tangguh dan mematikan," Wiryo menatap Andos sambal memasang senyumannya.     

Andos merasa biasa saja atas apa yang dia dengar dan lihat. Tuannya pria paruh baya ahli strategi jangka panjang.     

***     

"Tuan saya diberi tahu Alvin, anda mendapat pesan dari nona," suara Herry menyusup di telinga.     

"Kau memberi tahunya apa yang aku lakukan di sini?" tanya Mahendra.     

"Tentu saja tidak tuan," jawab herry secepat mungkin.     

Secara mengejutkan Hendra terkekeh, "Ada yang memberi tahunya, pasti," lalu nafasnya berhembus.     

"Sebaiknya anda melihat pesannya sebelum membuat dugaan," Herry mencoba mengembalikan kewarasan tuannya.     

Sayang sekali, ketika lelaki bermata biru merogoh handphone-nya dengan tujuan membuka pesan dari sang istri. Dua ekor pelacak ulung membawa sesuatu, di bimbing penjaga nya untuk berlari menuju tuan muda Djoyodiningrat.     

Hewan berkaki empat tersebut menggigit baju serpihan kain, di susul ajudan yang membawa tas besar lalu melemparnya ke lantai ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.