Ciuman Pertama Aruna

III-207. Ada Di Pelupuk Mata



III-207. Ada Di Pelupuk Mata

0Dua ekor pelacak ulung di bimbing penjaganya untuk berlari menuju tuan muda Djoyodiningrat. Hewan berkaki empat tersebut menggigit serpihan kain di susul ajudan yang membawa tas besar lalu melemparnya ke lantai.     
0

Tas tersebut menumpahkan baju branded, tas mewah dan beberapa benda yang tidak asing. Mahendra mengerutkan keningnya. Berjalan mendekati benda-benda tersebut. Ia menendang tas besar itu, lalu membiarkan isinya berserakan tumpah ke mana-mana.     

Anjing yang dilindungi penjaganya ditarik oleh Mahendra. Sehingga tali pengendali hewan berkaki empat tersebut berada ditangan Mahendra. Mata biru membiarkan pelacak ulung mengendus, tidak semua benda di dalam tas besar menarik minat hidung sang pelacak.     

Belum usai Mahendra membuat pengamatan terhadap gerak gerik yang di sajikan anjing pengendus. Termasuk menanyakan siapa pemiliknya, seorang asisten rumah tangga menjatuhkan dirinya ke lantai. Kali Ini bukan sekedar berlutut.     

Ia bersimpuh, luruh, meraung-raung dan memohon ampun. "Tuan, walaupun benda tersebut berada di seputar ranjang tidur saya.." Mahendra tidak mau menoleh kepada sumber suara.     

Lelaki bermata biru menatap Herry dan yang lainnya, sekejap ia tertangkap menggerakkan jemarinya. Spontan asisten yang meluruhkan diri diseret mengikuti langkah tuannya. "jebloskan dia ke ruang putih!"     

Hanya ada segelintir orang yang mengerti maksud permintaan Mahendra. Salah satunya ialah ajudan ajudan tertentu yang kini 2 di antaranya menyeret perempuan yang enggan pergi. Perempuan tersebut konsisten berteriak-teriak hebat,     

"Tuan... tuan.. tuan Hendra.. saya tidak bersalah.. saya sekedar menuruti permintaan istri anda. Benda tersebut bukan milik saya.. sungguh tuan.." padahal tubuh Perempuan itu sudah menjauh tapi teriakannya masih terdengar hebat. "Tidak adakah yang mau menolongku?" yang lain hanya bisa membungkam.     

"Tuan.. tuan, Saya punya saksi.. yang tahu bahwa benda tersebut bukan milik saya tuan.. sungguh.." tubuhnya sudah menghilang tapi suaranya masih terdengar.     

Tak lama Hendra kembali berbalik badan. Orang-orang yang berdiri, berbaris di hadapannya terlihat lebih lega daripada sebelum.     

"yang itu.. bawa sekalian," titah Mahendra.     

Ajudan Mahendra dan sekelompok orang di hadapannya mencoba menelusuri Arah mata tuan muda Djoyodiningrat.     

Dan mereka mendapati asisten rumah tangga yang tadi sempat menjatuhkan lututnya selepas para penjaga dan pengamat CCTV membuat permohonan maaf, tengah di tatap tuan muda bermata biru yang menyala-nyala.     

Tentu saja ajudan Mahendra langsung meringkusnya, dan perempuan tersebut terlihat pasrah, amat jauh berbeda dengan yang pertama. Dia ketakutan akan tetapi tidak mengeluh.     

"Bersihkan semua, sebelum Oma Sukma dan mami di izinkan keluar," Mata biru melempar titahnya. Mahendra pergi bersama para ajudan yang setia di seputarnya. Tertangkap menyusul arah kepergian dua asisten rumah induk yang tertangkap.     

.     

Selepas kepergian Mahendra dari rumah induk, satu persatu gelombang besar orang yang Meruntuhkan dirinya menjadi pemandangan biasa. Bahkan ada yang berakhir menangis, membagi embusan nafas panjang, mencoba pulih kembali.     

selebihnya penghuni rumah induk berusaha menghibur diri mereka masing-masing dengan saling bertukar kelegaan maupun saling bertukar rasa takut mereka.     

.     

.     

Mahendra membuka handphone-nya, sang suami mendapati senyum cerah istrinya. Tangan lelaki tersebut masih membawa senjata api tatkala ia mengamati lamat-lamat ekspresi menenangkan perempuan. Pesannya pun turut serta menurunkan kadar emosinya.     

Lalu pria ini membalas pesan sang istri, [I love you, Miss you, honey]     

.     

.     

Betapa bahagianya Aruna, mendapati handphonenya menerima pesan dari Mahendra. Buru-buru dia mengangkat benda tersebut Lalu menekan tombol panggilan.     

[Aku udah kangen,] suara Aruna begitu manja.     

Mahendra tersenyum, tatkala mendengar istrinya mengeluh, [sudah makan siang?]     

[Kok makan siang sih..] Aruna kembali mengeluh manja [mataharinya sudah hampir lengser -Daddy]     

[Sorry, sayang.. Aku berada di dalam ruangan..] Padahal Hendra tengah melaju, duduk di dalam mobil menuju lantai D.     

[Lagi meeting ya,]     

[Ya..] sang pria berbohong.     

[Apa aku mengganggu?] Aruna masih menggunakan intonasi terbaiknya.     

[Mana mungkin,] maksud Mahendra tidak ada yang berani melegitimasi panggilan istri Mahendra sebagai gangguan.     

[Em.. nanti malam beneran nggak jenguk aku] cukup lama yang di ujung sana terdiam.     

[Entah.. tapi dilarang menunggu,] Akhirnya dia membuat balasan.     

[Semoga ada kejutan untuk ibu hamil yang merindukan pelukan suaminya] manja Aruna, kalimatnya pun diiringi dengan nafas yang sengaja diperdengarkan kepada Mahendra.     

[Semoga,] anehnya Mahendra sangat irit bicara. Dan Sang Perempuan tahu sesuatu pasti sedang atau telah terjadi.     

[Aku dan baby menunggu dan merindu..] detik ini suara Aruna sedikit berbeda. [Kami berdua mendoakan kebaikan untuk lelaki terpenting dalam hidup kami. Semoga kami berdua selalu ada di pelupuk matanya]     

Mahendra buru-buru menutup handphonenya, lalu melempar smartphone-nya ke arah kursi, tepat samping dirinya duduk. Kemudian ia memijat pelipisnya sendiri.     

"Herry," panggil Mahendra kepada ajudan yang duduk di kursi depan,     

"Ya Tuan," Herry membalik tubuhnya mengamati tuan muda Djoyodiningrat. Mahendra terlihat menyerahkan senjata api kepada ajudannya     

"Jangan biarkan aku memegang benda ini," ujar Mahendra. Herry mengangguk meraih benda yang disodorkan tuannya.     

"Tuan, Pak Surya punya pesan penting, dia ingin bertemu dengan anda," kembali Herry menyampaikan pesan selepas ia mengamati handphonenya. Tampaknya Mahendra tak membuka pesan apa pun kecuali dari sang istri.     

" pasti kan asisten yang tadi kita tangkap di interogasi Vian dan timnya,"     

"ia tuan," Balas Herry.     

"aku harus menemui Surya dulu, sepertinya.. hah haha" Mahendra tertawa di akhir kalimatnya. Ia baru sadar bahwa dirinya melupakan jadwal penting.     

"Rolland, katakan pada seniormu, Raka, untuk bersiap mengawalku." Rolland yang mengemudi mobil, memberikan anggukan kepada tuan muda Djoyodiningrat.     

"anda.. jadi membawa pay? Sesuai rencana anda?" ini suara Rolland.     

"Tentu saja, itu akan jadi kesenanganku berikutnya," kemudian Mahendra memutar matanya, "Aku ingin membawa satu lagi, supaya suasana kian menyenangkan, siapkan Pengki untukku sekalian," Hendra benar-benar tertawa mengerikan di akhir kalimat.     

"Ah,.. hari ini akan jadi hari yang paling gila, huuuh," ada embusan nafas yang kemudian mengarah kepada handphone. layar tersebut masih menyajikan wallpaper senyum perempuan.     

"jemput Anantha, dan pastikan dia menggunakan jas terbaik," kembali dia membuat titah. Kedua anak buahnya saling melirik dan mengangguk.     

"malam ini, siapa pun tidak ada yang boleh memberitahu kondisiku, apalagi keberadaanku, baik kepada Alvin.. terutama kepada istriku," sekali lagi ucapan Mahendra mendorong mata Herry dan mata Rolland saling bertemu sebelum mengangguk.     

"mari kita siksa batin mereka, Ah' malam yang indah," Hendra tersenyum miris, sambil mengelus permukaan handphonenya.     

***     

Ruas jalan lain, berkilo-kilometer dari keberadaan Mahendra. Mobil istrinya melaju, menuju ke sebuah tempat yang telah di sepakati dengan seseorang.     

Perempuan tersebut baru saja berhasil meluluhkan hati ajudan Alvin. Hingga lelaki tersebut tak kuasa untuk tidak menuruti permintaannya. Menyerahkan nomor telepon yang memang seharusnya diperuntukkan kepada nonanya.     

"Alvin.. benar ini tempatnya?" Aruna yang baru turun dari mobilnya terlihat mengerutkan kening. Matahari belum benar-benar lengser. Mungkin sekitar 3 sampai 2 jam lagi langit hangat itu akan berubah menjadi cakrawala semburat merah yang kemudian ditelan malam. Sehingga Alvin lekas membuka payung untuk menghalau langit cerah menerpa tubuh nonanya.     

"Kalau berdasarkan map yang ia kirim.. tempatnya sudah benar nona," jawab Alvin menutup pintu mobil yang ditinggalkan nonanya. Lalu buru-buru mengejar langkah Aruna.     

Aruna mengamati sekitar, bukan cafe, bukan pula rumah, ataupun tempat yang layak untuk menjamu seorang teman. Tempat ini lebih kepada minimarket yang di terasnya menyediakan 2 buah meja dimana masing-masing dikelilingi 3 buah kursi.     

"Em.. coba kamu telepon lagi Alvin, sambil Carikan aku minum di dalam, aku tunggu sambil duduk di sini, -ya," Aruna duduk pada salah satu kursi yang tersedia di teras minimarket.     

"Ia nona.." Alvin lekas menutup payungnya, kemudian buru-buru merogoh saku celana. Ajudan tersebut membuat panggilan sambil membuka pintu minimarket untuk mencarikan air mineral yang di pesan nonanya.     

Sayang sekali panggilan Alvin tidak mendapatkan jawaban, Alvin sekali lagi mencoba membuat panggilan. Tangan ajudan tersebut sudah berhasil meraih air mineral, ia segera bergerak menuju tempat pembayaran.     

Meletakkan benda berbentuk tabung yang berisi cairan bening tersebut di atas meja aluminium. "Ada yang ingin anda pesan lagi, kak?" sapa pelayan minimarket.     

"kau??" ini suara Alvin, tengah tertegun. Handphone-nya tidak mendapatkan jawaban. Akan tetapi seseorang yang harusnya menjawab panggilan teleponnya telah berdiri di hadapannya.     

"nona sudah sampai??" Kihrani sama terkejutnya.     

"Ya.. dia di depan," jawab Alvin menyodorkan uang untuk membayar air mineral nonanya.     

Kihrani buru-buru melayani Alvin dengan mengambilkan kembalian. "mohon maaf, jadwal istirahat ku 4 menit lagi, tolong beritahu nona Aruna, -ya.." Kihrani menarik bibirnya, penuh penyesalan.     

"em.. okey,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.