Ciuman Pertama Aruna

III-211. Saudara Sepupu



III-211. Saudara Sepupu

0"Oh.  Anda ingin hadiah tambahan? Saya bisa meminta yang di panggung menyanyikan lagu yang anda sukai," Gesang lagi-lagi berusaha membuat suasana jenaka.      
0

"Ananta.. atau pangky.  Mungkin pay dulu yang berkenalan dengan anda,"      

"Kakak.. mudurlah kak," ada gelagat berbahaya tercium Gesang. Suara gesang berbisik pada telinga kakaknya.     

Dua pria yang sebenarnya sangat erat ikatan saudaranya tengah beradu mata. lekat mereka menatap. Kontur wajah yang sama cara menatap yang hampir serupa, hanya berbeda pada warna matanya. Jika Gibran hitam pekat di tengah-tengah warna putih. Mahendra tentu dengan warna birunya yang sangat asing tersebut.     

"Hendra.. bukan begini caranya." Bisik Surya mereda.     

"Selamat malam semua.." ini suara pembawa acara Byan dan Ayu, dua orang pembawa acara kawakan yang malang melintang di berbagai acara talkshow.     

"Malam.." dan riuh tepuk tangan mengubur ketegangan. Tetiba lampu padam. Beberapa orang bergerak lambat. Suara bunyi gesekan Langkah kaki terdengar Bersama sorot cahaya berupa lingkaran yang menyusuri ruangannya mencari seseorang.      

Ini hanya sekian detik Ketika Pay di tarik seseorang entah siapa dan membuat Wisnu sigap menodongkan senjata apinya terang-terang di kepala pay kala gelap menyamarkan segalanya. Di sudut terdekat Wisnu, gerak Herry tak kalah cekatan menendang kaki seseorang yang sempat mundur hendak berlari, dan malah terjatuh. Dalam gelap Herry menginjak punggung orang tersebut kuat-kuat namun korban tak bisa bersuara dia memikirkan cara pergi tanpa suara sekecil apapun. Sangat mustahil.     

"Oh.. mohon maaf karena gelap ada yang jatuh ya.." ini suara Ayu sang pembawa acara yang tertangkap begitu heboh nan ceria, dia mengamati Gerakkan samar-samar kumpulan riuh rendah bergeser lambat.     

Berkebalikan dengan gerak mengamankan yang terang terangan ditujukan  para ajudan. Sekian detik berikutnya sorot lampu seolah telah menemukan jejak seseorang yang tengah dicari.     

Ini berbeda dari rencana awal yang mengharuskan  Gibran -pemberi sambutan- berada di titik tertentu, bukannya berada di tengah tengah ballroom megah salah satu hotel bintang lima. Ballroom dengan lampu kristal super besar yang membentang di langit-langitnya memadukan nuansa perak gold, motif perak gold juga disajikan karpet tebal pada dasar ruangan.     

"Aduh kayaknya iya.." Byan turut bersuara, "Hallo kemana nih CEO Gibran boleh melambaikan tangan untuk kami..," pembawa acara mendengar permintaan dari pengarah acara di balik stage.     

Dalam kondisi yang kian genting menurut versi Gesang, mantan ajudan yang telah mengenal lawan rasa tuan tersebut, terus mengamati gerak lambat Mahendra dan orang-orangnya, "Tenanglah yang aku bidik bukan anak-anak malang," Mahendra tersenyum menatap gesang. Tepat Ketika sorot lampu yang sedang mencari Gibran malah jatuh kepadanya.     

Gibran sudah bergeser ke arah berbeda dipandu oleh anak buahnya. Pria bermata hitam pekat tersebut menuju titik dirinya seharusnya berada. Sayang sekali lampu sorot malah jatuh pada putra ketiga pimpinan dewan tarantula, Gesang Ajuang diningrat dan tentu saja CEO yang akhir-akhir ini begitu sulit ditemui, seolah di telan bumi setelah berhasil membangun kota metropolitan yang spektakuler dengan mengusung konsep sosial budaya yang unik dan tentu saja mendukung SDGs yang kini tengah diperjuangkan oleh tiap lapisan masyarakat bumi.     

Sebab jatuhnya lampu tersebut pada Mahendra, pria bermata biru sempat mendongak ke atas mengamati arah datangnya lampu. Dia yang berdiri dengan gesang mendapat riuh tepuk tangan di sangka akan memimpin penyambutan. keberadaannya yang diburu menambah meriahnya kehangatan.     

Dia yang bermata biru, yang menatap atas lalu menurunkan pandangannya ke arah pembawa acara sebagai lambang salahnya arah cahaya, kian memicu kehebohan salah  seorang dari dua orang MC, "Oh' CEO Mahendra datang.. hai.." pekik Ayu melambaikan tangan jenaka membuat beberapa orang tertawa atas kecintilannya.     

Bersama nuansa menghangat dan cahaya temaram yang dijatuhkan lampu-lampu -terhampar di langit-langit- ada yang ikut terbawa suasana dan lengah. Herry melepas pria yang sempat ia tekan.     

Begitu juga ketegangan Gesang, pemilik gammy smile menarik wajahnya. Senyum khasnya dan lambaian tangannya mendorong mahendra yang di todong oleh keadaan ikut memasang wajah ramah.      

Kembali keluhan dari backstage menyapa. Byan mendapatkan bisikan dari alat di telingannya bahwa arah lampu salah maka dari itu konsepnya akan berubah secara mendadak. Lampu menjadi terang seketika, byan memukul ringan Ayu yang masih berkedip mata jenaka untuk sadar pesan dari belakang panggung.     

"Hehe.. barusan iklan ya.." Byan tertawa bodoh dan jelas sangat canggung.     

"Bukan iklan Byan.. ini adalah penjernihan mata buat kita-kita, lumayan kan bisa melihat putra termuda dari pimpinan Tarantula.. tunggu-tunggu namanya siapa.. jarang kan ada yang tahu.. si pemilik senyum menawan.. iiih.." Ayu memekik imut akan tetapi menggelikan. Dan penikmat alias tamu undangan tidak menyadari adanya kesalahan, mereka menduga ini di sengaja untuk memperkenalkan putra pimpinan Tarantula yang bahkan tidak pernah terekspos.     

Salah satu tim EO berlari membawa mikrofon kepada Gesang, "hai.." gesang melebarkan senyum sumringahnya, dia berdiri tegap melirik kakak sepupunya. Lebih tepatnya sedang menirukan Mahendra. Dulu waktu menjadi ajudannya dia selalu mengidolakan gaya Mahendra Ketika tampil di depan public, "Perkenalkan.. saya putra terakhir Rio," _Putra yang di sembunyikan_ "Gesang Ajuang," sekali lagi si pemilik senyum khas bergeser makin dekat dengan Mahendra.     

"Apa yang kau lakukan," Juan sedikit sialan dia seolah memaksa Mahendra ikut serta dalam lingkaran pengamatan para tamu undangan.     

"Oh' Gesang.. salam kenal.. muda sekali," suara genit ayu Kembali mencerahkan suasana.     

"aku lebih suka dipanggil Juan," ujar putra termuda Rio, yang secara spontan mendapatkan tatapan terkejut mahendra. "Juan nama lainku yang aku sukai, bukan begitu Presdir?" sungguh sialan Mahendra merasa dipojokkan lelaki yang tak bisa dimusuhi. Bagaimanapun juga pria yang kini berdiri di sampingnya ialah ajudan yang diam-diam banyak membantu terutama pernah menolong Aruna.     

Sesungguhnya dua saudara ini secara tidak sadar memiliki ikatan hati yang masih bisa diselamatkan. Hendra mengangkat bahunya, "Juan.. Ajuang, artinya pejuang, lebih baik," kata Hendra ringan.     

"Oh iya.." Juan memindahkan mikrofon di tangan ke tangan kiri dan dengan berani mengangkat tangan kanan tersebut menuju bahu kiri Mahendra. Juan menepuk ringan bahu Mahendra, sigap di singkirkan pemilik bahu, "Mungkin jarang ada yang tahu.. mantan atasan saya, bukan lagi CEO, beliau sudah menjadi Presdir DM grup,"     

"Oh.. benarkah?" Ayu di panggung menimpali. Juan mengangguk mengiyakan.     

"apa tujuanmu.." suara rendah Hendra, mata biru dibuat amat jengkel oleh tingkah seenaknya Juan.     

"Kenapa saya tidak diundang.." maksud Ayu pesta peresmian.     

Byan yang sejak awal lebih banyak khawatir sebab keseringan mendengarkan pesan dari backstage, akhirnya memilih bergabung dengan ayu, dia melepas alat di telinga kanannya , "Ayu.. aku dengar, Mr. Hendra sebentar lagi jadi ayah.."     

"Duuh sedihnya.." suara Ayu.     

"Kenapa sedih?" tanya Byan.     

"Aku nggak mungkin lagi ngarep jadi istrinya dong," mimik wajah ayu mengundang tawa tamu undangan.     

Juan menyerahkan mic pada mahendra. Mata biru menggelengkan kepala dia hampir mundur dan memilih duduk. Tapi Juan tidak habis ide, menyenggol lengan Mahendra bahkan dengan terang-terangan menyodorkan pengeras suara tersebut untuk mantan tuannya. Sehingga orang lain mengamati lebih lekat sang Presdir baru, "kenapa kau begini?" mahendra masih sempat menanyakan keberanian Juan dalam cara tangannya menerima mikrofon.     

"Saya hanya ingin mencairkan suasana, bukankah begini lebih baik.. kakak?" ada tawa janggal mahendra untuk sepupunya yang mendadak kehilangan rasa takut terhadap dirinya. Mungkin karena mahendra pendatang sedangkan Juan adalah tuan rumahnya.     

"Saya.. em," Mahendra mulai berbicara. Dia membuka mata lebar menyapu pandangan kepada seluruh tamu undangan. "tak tahu apakah layak dan di izinkan bicara di sini.." dia yang bicara melempar senyum menawannya.     

"Em, maafkan aku Gibran, aku bicara dulu sebelum sambutanmu," entah ini kesopanan atau tanda lain, Mahendra sangat tak terprediksi, Gibran membalas dengan kesan ramah yang dia paksakan.     

"kami Djoyo Makmur Group punya agenda yang serupa dan mungkin lebih besar dari pesta ini," Ah ternyata pria ini tidak sopan menyebut perusahannya dengan lantang di muka tamu undangan lawan bisnisnya.     

"Bukan untuk menyambut pensiunya tetua Wiryo atau diangkatnya saya sebagai penganti .. tapi untuk istri saya yang banyak melewati kesulitan dan berjuang memastikan bayi kami tetap selamat.." kalimat ini sejalan dengan datangnya seseorang. Lelaki yang bahkan tanpa ragu membawa cerutu di dalam ruangan ber-AC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.