Ciuman Pertama Aruna

III-214. Berteriak Kesetanan



III-214. Berteriak Kesetanan

0"Tunjukkan padaku kebenaran!"     
0

Aku tahu, keputusanku begitu mendadak ketika tiba-tiba aku berjalan kepada Kihrani, dan memintanya berhenti bekerja.      

Gadis itu masih duduk tenang di sampingku, kadangkala ekor matanya melirik ku diam-diam. Kala mobil suamiku bergerak menembus kerumunan mobil-mobil lain. Aku tahu dia bahkan mengamati jariku, yang mencoba membenarkan sweater di bahuku.      

Aku tidak tahu apa yang salah pada diriku, karena gadis itu suka sekali mengamatiku. Aku juga menangkap mata Alvin yang menatapku dari celah kaca di atas kepalanya. Spion mobil itu menangkap raut wajahnya yang penasaran atas tindakan ku.      

Aku sadar detik ini Alvin sedang kecewa, namun aku tidak bisa apa-apa. Naluriku sebagai korban menuntunku untuk menjawab ini semua. Tidak ada orang yang bisa merasakan rasa sakit orang lain, ketika ia tidak benar-benar mengalaminya.      

Orang lain bisa bersimpati, bisa juga merasakan kesedihan yang mendalam. Tapi hati perih yang sesungguh-sungguhnya, hanya bisa di rasakan oleh penerima cobaan.      

Sejak pertama aku menyadari diriku jatuh ke bawah, di lantai dingin dengan bersimbah darah. Aku selalu berusaha membuka mata, sayup-sayup ku dengar pecahan kaca. Aku tahu seseorang telah memecah pintu untuk ku, lalu meneriakkan namaku, tapi aku tak bisa menjawabnya.      

Hari itu aku berpikir adalah hari terakhirku bernafas. Aku tidak bisa bergerak. Nafasku mencekik diriku sendiri. Suaraku hilang sebab aku dalam posisi syok atas apa yang aku alami.      

Tubuhku tidak benar-benar merasakan sakit, walaupun aku tahu seputar tempatku terkapar telah bersimbah darah. Tapi aku tidak bisa menghentikan mataku yang ingin menutup. Saat itu pula aku merasakan dingin hingga tubuhku menggigil dan ketakutan. Ku sebutkan nama satu orang berulang-ulang -Hendra-. Akan tetapi suaraku terlalu lirih dan rendah, kemudian hitam menjemputku dan aku tak ingat apapun.      

Saat aku membuka mata, ku dapati seluruh tubuhku tak bisa di gerakkan. Kemudian rasa sakit itu menghujam, menelanjangiku sampai relung hati terdalam. Di tengah keadaan yang bahkan membuatku tak bisa berkutik sedikitpun. Aku melihat suamiku datang, dengan penutup mata yang ia kenakan.     

Ia bergerak perlahan-lahan di tuntun seorang perawat. Aku tahu dia mempertaruhkan seluruh keberaniannya dengan mendatangiku, memastikan aku benar-benar masih memiliki denyut nadi. Atau sekedar mengecek pendingin ruangan, agar membuatku tetap nyaman.     

Sepanjang pemulihan, aku tak pernah mengeluh sedikitpun. Aku tahu, tidak ada gunanya melakukan itu. Aku tidak ingin melihat Hendra semakin kacau dengan keluhanku. Selain itu, aku ingin bayi yang sudah aku lindungi ini kian kuat di dalam perutku.      

Awalnya aku pikir dia ingin merusak rahim ku. Sebab yang dia lakukan adalah terus menerus menendang perutku. Sedangkan aku berusaha meringkuk, mempertahankan argumentasi tentang perut yang dia jadikan sasaran.      

Dan setelah ku tahu ternyata aku hamil, aku bersyukur aku tidak mengucapkan kalimat keluhan. Aku sangat bahagia bisa mempertahankan sekuat tenaga apa yang ada di dalam rahimku. Tidak ada keberuntungan selain bayi yang kini sudah mulai tumbuh membesar dalam perutku.      

Aku bukan sekedar  ingin menuntut balas. pada detik ini, lebih dari itu. Aku benar-benar ingin berjumpa dengan lelaki yang kabarnya sengaja di bunuh,  tubuhnya di buang ke dalam aliran sungai deras. Kemudian tubuh yang membusuk dan hampir mati tersebut, di temukan bapak dari gadis berseragam minimarket di sampingku.     

Detik ini, aku sedang berada pada hasrat tertinggi untuk menemukan pria bernama Thomas. Lelaki yang mengalami nasib sama buruknya denganku.      

Selepas itu, Jika benar Thomas perlu di selamatkan. Aku akan memohon pada Mahendra.     

Seperti aku dan dia yang sesungguhnya ingin merintih tiap saat. Sebab di hantui oleh bayang-bayang menakutkan hari naas tersebut.       

Aku yakin, pria bernama Thomas sama persis dengan diriku yang masih menyimpan bongkahan besar rasa sakit akibat di permainkan seseorang.      

***     

Mahendra melihat jav berlari, setelah ia menerima panggilan. Lelaki bermata biru meminta Herry menariknya sejenak sebelum ajudan tersebut benar-benar pergi menghilang.     

Ajudan Mahendra tidak boleh membuat keputusan secara spontan sesuai keinginannya sendiri, di tengah suasana pesta yang penuh kerumitan ini.     

"Tuan Hendra mohon maaf, senior Raka menghubungiku"     

Mahendra mengerutkan keningnya mendengar pernyataan Jav. "Apa yang terjadi?" kalimat tanya Ini mendorong sang ajudan untuk menjelaskan sesuatu.      

"Senior Raka adalah pimpinan divisi, jika ia mengambil alih untuk menyelamatkan Juan, ini akan berbahaya,"      

"Juan?" Mahendra memastikan.     

"Saya juga tidak tahu apa yang terjadi, senior Raka meminta saya segera datang kesana,"      

Mahendra menganggukkan dagunya,  membiarkan Jav berlari cepat kemudian menghilang dari ballroom.      

_Apa yang terjadi pada anak itu?_     

"Apa Saya perlu membantu Jav dari jauh tuan?"     

"Tidak usah, Herry"     

Mahendra sadar jika pada detik ini, Raka mencoba menyelamatkan Juan -tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada pemuda itu-, otomatis baku hantam bisa saja terjadi, bahkan di dalam ballroom ini. Berbagai pasang mata putra-putra Tarantula beserta bawahannya, secara terang-terangan melihat gerak-gerik Mahendra. Bahkan cara Hendra melipat kakinya pun di amati.     

Sehaus apapun lelaki bermata biru beserta ajudan-ajudannya -terlebih Anantha dan Surya-. Pria ini tidak mengizinkan siapapun menyentuh makanan ataupun minuman yang tersaji pada pesta, kecuali mereka mengusungnya sendiri dari luar.     

Ini sedikit gila?!, Akan tetapi begitu juga cara mereka untuk selamat, dari berbagai hal buruk yang mungkin saja terjadi jika mereka menyentuh sajian dari pesta tersebut.     

.     

.     

"Pakai penutup wajah," Raka berdiri dari balik mobil, mengamati sekelompok lelaki yang menendang tubuh pemuda tak berdaya.     

Juan tahu cara beladiri. Harusnya pada detik ini, hantaman demi hantaman yang dia terima dari 2 orang sekaligus dapat ia taklukan. Anehnya, dia hanya bertahan bahkan ketika wajahnya sudah menunjukan lebam.     

"Bugh.. bugh.."      

"Argh.. argh.."      

"Bilang pada ayahku, aku menyesal, katakan ampun kepada ayah." suara Juan yang terdengar samar-samar oleh Jav.      

Jav terus berjalan menyusuri mobil-mobil yang berjajar di basement gedung bertingkat. Nampak Juan sudah mulai berlutut di hadapan dua laki-laki berjas hitam, lengkap dengan dasi mereka. Rintihan kalimat permintaan maaf, dan permohonan ampun berulang kali terdengar. Akan tetapi sungguh mengerikan apa yang di lihat Jav dan Raka saat ini.     

Raka menyelinap di balik salah satu mobil yang terparkir. Ia masih bisa mengamati Juan, ketika sebuah kaki lelaki berjas hitam terangkat. Lalu mendarat dengan kasar di dada putra terakhir Rio.     

"Bugh!!" Sekali lagi terdengar hantaman keras dari tendangan lelaki berjas hitam.     

Suara keluhan Juan terdengar menggelisahkan di telinga Raka dan Jav. Pemuda yang baru di tendang bergulung-gulung kesakitan dengan memegangi dadanya. Dia meringkuk dan kemudian mencoba kembali duduk perlahan-lahan. Bersimpuh di hadapan dua orang yang sudah keterlaluan kejam, terhadap pemuda yang memiliki senyum menawan.     

"Beritahu ayahku, aku menyesal dan mohon ampun, katakan pada ayahku, aku memohon ampun," lagi-lagi suara itu terdengar.     

Suara pemuda merintih, memohon ampun kepada ayahnya melalui dua orang yang berdiri angkuh di hadapannya.     

Sangat di sayangkan. Salah satu pria bertubuh kekar berbalut jas hitam tersebut, kembali mengangkat kakinya dan berniat membenturkan sepatu itu menuju kepala, atau mungkin wajah Juan.     

Raka sudah tidak tahan. Bagaimanapun juga, Juan pernah menjadi anak buahnya yang tersayang. Yang berhasil meraih predikat ajudan terbaik, mengalahkan yang lainnya dalam perlombaan unik. Memperebutkan posisi sebagai ajudan istri pewaris tunggal Djoyodiningrat.      

Ketika Raka mengambil 2 langkah kedepan, dia mendapati Jav sudah berlari kencang. Kemudian mengangkat kakinya melayang menuju dada seseorang, lelaki yang hampir membenturkan sepatunya di wajah Juan.      

"Bugh.."     

Gerak gesit Jav yang memutar, berhasil menjatuhkan lelaki tersebut. Dengan cekatan pula, ia menghindari perlawanan dari orang yang ia lumpuhkan. Kini, ia juga berhasil menghantamkan kepalan tangannya pada wajah lelaki berjas yang kedua.      

"Berhentilah ikut campur! Siapapun kamu!" suara Juan mengalihkan konsentrasi Jav. Dia memandang ajudan yang menolongnya dengan sorot mata menyala.     

"Kau gila! Apa kau tak sadar sedang di aniaya!" sayang sekali Jav lengah karena berkomunikasi dengan Juan.     

Juan mencoba berdiri, tapi akhirnya ambruk juga. Tampaknya dada pemuda itu benar-benar dalam kondisi sangat sakit. Atau mungkin kakinya cedera, karena terlalu banyak di hajar laki-laki berjas hitam.      

"Bruak!" Jav di hantam dari belakang, dan ia-pun terjatuh.     

Kemudian salah satu dari mereka menendang Jav. Pemuda tersebut di keroyok 2 orang sekaligus. Membuat Raka semakin tidak tahan. Sedangkan Juan yang mendapatkan robohan tubuh Jav, meringkuk dan kembali memegangi dadanya. Jelas dia sedang kesakitan.      

Terpaksa Raka berlari mengambil tindakan. Pimpinan divisi ini lupa tidak menyamarkan identitasnya. Walaupun pada akhirnya pukulan dari tubuh seorang pimpinan divisi keamanan yang kekar, langsung merobohkan lawannya.      

Jav yang bangkit pun melakukan hal yang sama. Dua pria itu baku hantam, dengan dua orang lain berjas hitam.     

"Berhentilah kalian, atau aku akan di bunuh ayahku," tidak ada yang mendengar keluhan Juan.      

"BERHENTILAH KALIAN!" Juan yang masih terbaring lemah berteriak sekencang-kencangnya. "AKU TIDAK MAU DI BUNUH AYAHKU!!" pemuda ini berteriak seperti orang kesetanan.     

Tapi semua sudah terlambat. Raka baru saja menghujamkan pukulan tangan kanannya di hidung lelaki yang tadi menendang Juan. Korban pimpinan divisi tersebut jatuh dengan luka memar di hidungnya, kemudian pingsan.      

Sedangkan lawan tanding Jav berlari entah kemana. Kini yang tersisa adalah tawa putra ketiga Rio.     

Pemuda ini tertawa cekikikan seperti orang hilang kewarasannya. Duduk di lantai kotor basement gedung bertingkat, yang menyajikan deretan mobil mewah para tamu undangan keluarganya.     

Juan tertawa terbahak-bahak sambil memukul lantai. Kemudian menangis meraung-raung memegangi dadanya yang sakit.     

"Hai kau.. apa kakak sepupuku yang membantuku? Oh.. kau Raka, kau pasti dikirim oleh dia.." Juan menghentikan tangisannya.     

"Baiklah.. sudah cukup.. bawa aku pergi dari sini.. lalu bunuh aku dan buang di semak-semak," tampaknya pemuda ini sedang frustasi.     

Raka menghembuskan nafas lelah, berdiri dengan tegap menatap pemuda yang meringkuk pasrah di lantai kotor.     

"Baiklah," Raka mengambil HS-11 dari dalam jasnya kemudian di arahkan kepada Juan. Pimpinan ajudan tersebut, berhasrat menarik pelatuk HS-11. Kemudian suara, "Dor!" meluncur.     

Akan tetapi bukan dari senjata apinya. Melainkan dari mulutnya, mulut Raka.     

Andai ada yang melihat ekspresi Juan detik ini, pasti akan ikut terharu. Jav hampir tak percaya, jika pemuda dengan gummy smile tersebut benar-benar ingin menerimanya. Dia sangat pasrah ingin mati detik ini juga.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

Bantu Author mendapatkan Power Stone terbaik ^^     

Gift anda adalah semangat ku untuk berkreasi. Beri aku lebih banyak Semangat!     

Silahkan tinggalkan jejak komentar, aku selalu membacanya.     

Review bintang 5, berupa kalimat lebih aku sukai     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak     

Novel CIUMAN PERTAMA ARUNA hanya ada di aplikasi WEBNOVEL. Dukung author dengan membaca di aplikasi asli.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.