Ciuman Pertama Aruna

III-215. Sepasang Angsa



III-215. Sepasang Angsa

0Di sudut lain, di tengah hiruk-pikuk musik beradu dengan lalu-lalang tamu undangan. Ada seseorang yang merasa dirinya amat sepi pada detik ini.     
0

Siapa gerangan yang merasakan hal itu?, Tentu saja si mata biru yang selalu di amati, dan menjadi pusat perhatian.     

Terutama perhatian putra-putra Tarantula yang duduk menyebar di seputar tempat duduknya, seolah membuat formasi melingkari dirinya. Tatapan mata mereka penuh permusuhan, kadangkala dia berpikir -mengapa seperti ini dunia?!.      

Hingga lari seseorang menuju sudut ruangan, menggerakkan langkah anak-anak Tarantula. Walaupun Mahendra fokus membaca sesuatu di tangannya. Tapi matanya tak lepas dari pengamatan.      

Pria yang berlari menuju ke arah Rio nampak tergesa-gesa, dengan kondisi acak-acakan.     

Herry mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Mahendra, "Tuan, Jav dan Raka terpaksa melarikan Juan ke rumah sakit, anak itu dalam kondisi buruk,"     

"Jangan Raka, cukup Jav saja, biarkan Raka kembali ke sini." Mahendra mencium bau tidak menyenangkan di ruangan ini.     

Ballroom yang megah, menyajikan gerakan penuh ancaman di sela-selanya. Sebab kali ini mata Rio mengarah kepada Mahendra, setelah anak buahnya seolah membisikkan banyak hal di telinga laki-laki tersebut.      

Rio berdiri lalu berjalan lambat, yang kemudian menyelinap entah kemana. Anehnya gerakan itu di ikuti oleh putra-putra Tarantula. Kecuali Gibran, yang sedang menjadi pusat perhatian. Pria tersebut sedang berdansa dengan tunangannya yang bernama Shakila.      

Perhatian Mahendra sempat teralihkan, ketika mengamati perhiasan yang di kenakan Shakila. Mirip dengan apa yang dia berikan kepada Aruna, kala membeli pengganti liontin merah delima.      

Mahendra terpaku cukup lama menatap Shakila dan Gibran. Dia merasa bahwa dua orang ini tidak lah asing.     

_Bukankah dia pacar Juan? Apa maksudnya ini? Apa mereka bertunangan dengan anak kembar?_ Mahendra benar-benar tergelitik oleh penglihatannya.      

Menit berikutnya langit-langit ballroom berubah temaram. Lampu indah menyorot seputar ruang dansa. Pria ini menarik bibirnya -tersenyum-, mengingat dansa pertamanya bersama malaikat yang di kirim Tuhan untuknya.      

"Hendra.. mau berdansa denganku," suara perempuan menggugah lamunan Mahendra.      

"Kamu datang?" sahut Mahendra sedikit heran.     

"Ya.. tentu saja, kamu tahu kan.. aku sekarang sebagai apa?" kalimat ini mendorong Mahendra menarik bibirnya lurus. Tangan perempuan itu masih menengadah kepada Mahendra.     

"Aku punya istri, dan baby kecil di dalam perutnya, tidak elok jika aku menikmati tempat ini bersamamu," Mahendra menolak perempuan itu dengan halus.      

"Baiklah kalau begitu, aku akan duduk di sini," perempuan tersebut maju beberapa langkah, kemudian membaringkan tubuhnya di sofa. Mengikuti cara cucu Wiryo.      

"Mengapa kamu tidak membawa.. " kalimat perempuan itu terputus. Teralihkan oleh kedatangan seseorang.     

"Apa yang terjadi?" dalam temaram gelap sosok tinggi besar datang mendekati Mahendra. Raka yang mengusung langkah-langkah tergesah, turut duduk di samping pewaris tunggal Djoyodiningrat. Kemudian membisikkan sesuatu.      

Bersama alunan musik lembut nan sendu, terdapat sederet pasangan lelaki perempuan yang menikmati gerakan dansa di bawah sorot lampu temaram. Ballroom mewah menyajikan proyeksi unik. Hingga tiap pasang manusia yang berdansa, layaknya sepasang angsa yang berenang di tengah-tengah danau indah.      

Mahendra sempat tertegun dan berpikir, -bagaimana jadinya kalau Malaikatnya di bawa ke tempat ini, menikmati indahnya beradu langkah kaki dan dekapan di bawah lampu tersebut-.     

Sayang sekali, kabar yang ia dapatkan tidak sejalan dengan indahnya pemandangan di pelupuk mata. Mahendra mendapatkan kabar yang menyayat hati, sepupunya di bawa ke ruang ICU (Juan).     

"Hanya karena dia duduk bersamaku?" Mahendra coba memastikan dugaannya.     

"Entahlah.." keduanya tidak tahu kenapa Juan diperlakukan seburuk itu.      

Mahendra menghela nafas panjangnya, ia tidak mengerti akan hadirnya bencana yang demikian menggelisahkan pada Juan. Kabar ini belum seberapa, hingga Herry kembali mendekat.      

"Tuan sensor mobil kita menyala, sepertinya ada yang mencoba berbuat sesuatu," maksud Herry ialah, perlunya seseorang untuk melihat situasi di dalam bestment tempat mobil mereka terparkir.      

"Kemana Rolland?" harusnya pengawal tersebut, serta salah seorang anak buah lain berada di sana.      

"Maka dari itu tuan.. entah apa yang terjadi pada Rolland.. saya pun tidak tahu. Panitia acara baru saja datang menemui saya, mengabari supaya segera mematikan sensor," Herry memberi pemahaman terkait situasi saat ini.     

"Waktunya kita pulang Raka," suara Mahendra memberi perintah, dan kepala divisi tersebut bangkit dari duduknya.      

Raka membuat panggilan untuk mobil lain. Kemudian dia memerintahkan Wisnu termasuk ajudan lain -yang membawa pay dan Pengki-, menyingkir dan mengamankan diri lebih dahulu, dari pada yang lain.      

Untuk itu Wisnu dan timnya bergerak lebih awal. Membawa tawanan mereka.      

Sialnya, sebelum rombongan kedua menembus kerumunan orang untuk meninggalkan ballroom, di mana rombongan tersebut membawa Hendra, Surya dan yang lainnya. Lampu benar-benar padam, sehingga pergeseran orang-orang Mahendra terhenti.     

Mereka pun menghentikan langkahnya. Awas memperhatikan setiap gerakan.      

Dan beberapa detik kemudian ada nyala lampu, akan tetapi hanya pada hall utama. Panggung yang menjadi pusat acara.     

"Sial.. Ayo.. bergerak lebih cepat!" Raka memerintah. Earphone bluetooth di dalam telinganya ia tekan.      

"Rolland!! Kemana kau!!" tidak ada jawaban ketika Raka mengutarakan perintahnya berulang kali.      

"Wisnu jangan mengarah pada mobil kita! Rolland tidak ada di sana!" perintah Raka kembali terdengar. Seiring lelaki pria bertubuh kekar tersebut memegangi lengan Mahendra.      

"Herry mobilnya sudah sampai mana?" Tanya Raka. Tampaknya pimpinan tersebut sedikit panik.      

"Tenanglah... sebentar lagi sampai, kita sudah memprediksi ini -bukan?" Mahendra menenangkan Raka. Sambil berjalan bersama, membuat benteng perlindungan untuk orang-orang Djoyo Makmur Group.      

Kelompok tersebut bergerak, membelah lautan manusia yang sedang memperhatikan atraksi spektakuler di atas panggung utama. Launching produk digital pertama Tarantula telah di mulai.      

"Beri aku senjata, aku bisa melindungi diriku sendiri!" Mahendra melepaskan diri dari Raka.      

"Jangan lakukan itu tuan! Kamu adalah King dan kita para prajuritmu. Kaulah sasaran utama mereka!" ucapan Raka, ketika mereka sampai pada bibir ballroom.     

Mereka semua tahu sekalinya mereka salah dalam memilih langkah. Bisa jadi akan ada segerombolan orang yang siap menghadang. Orang-orang yang kini menghilangkan Rolland, serta seorang ajudan lain yang menjaga mobil DM Group.     

"Sial!" Suara Wisnu memekik. Sekelompok tim yang membawa Pay dan Pengki -yang bergerak lebih awal, untuk mengamankan tawanan-.     

"Apa yang terjadi?" tanya Raka.     

"Mereka terlalu banyak!"     

"Kemana arah mu?!" tak ada jawaban dari Wisnu "Kamu mengarah pada mobil kita?!" suara dari earphone di sudut telinga mulai berisik.     

"Aku sudah sesuai instruksi, aku mengarah ke lokasi yang di tunjukkan Pradita." jawab wisnu.     

"Tuan mereka membaca arah kita," suara Herry memberi tahu Mahendra.     

Lelaki bermata biru berhenti sejenak, dia tengah berpikir dengan segala kemungkinan. Meminta yang lain menghentikan langkahnya.       

_Mereka tidak akan membuat kekacauan di dalam ballroom_     

Jika hal buruk terjadi, Djoyo Makmur group sudah menyiapkan mobil lain yang siap menyambut di pelataran sudut lain gedung bertingkat ini.     

Sayang sekali arah melangkah ke sana ternyata mengalami kendala. Wisnu dan kelompoknya mulai terlibat baku hantam. Belum ada suara tembakan, mungkin mereka sama-sama saling menjaga.     

Ada banyak pejabat di sini, tidak mungkin menjatuhkan martabat masing-masing perusahaan satu sama lain.       

"Kalian bantu Wisnu!" suara mata biru yang mulai resah.     

"Tapi Tuan.." ketika Raka memanggil Mahendra dengan sebutan Tuan, -bukan Mas, atau yang lain-. Itu artinya lelaki bertubuh kekar itu sedang serius.      

"Aku tidak mau orang ku terluka!" Mahendra memerintah sekali lagi. Dia menatap Raka sungguh-sungguh. Menyerobot senjata api lelaki itu.      

"Aku akan di sini bersama Surya dan Anantha, mereka tidak akan membuat kekacauan di ruangan ini. Kau tahu maksudku bukan?". Tidak mungkin Tarantula membuat penyerangan di Ballroom yang berisi tamu undangannya sendiri.     

Pebisnis ini tahu setiap perusahaan punya harga diri yang terlalu mahal, untuk sebuah pencemaran nama baik yang di bangun oleh perusahaan tersebut.      

Raka dan beberapa orang bergerak pergi menuju keberadaan Wisnu. Pimpinan divisi keamanan tersebut menghilang, bersama orang-orangnya yang membelah menuju dua arah. Yang satu pergi membantu Wisnu, dan sebagian yang lain mencoba mencari Rolland serta salah satu anak ajudan yang turut hilang.     

Tim lain dari lantai D tampaknya mengalami kendala untuk bergerak cepat menuju gedung ini.      

"Hendra.  Aku takut.." seorang perempuan menangkap lengan Mahendra. Mencoba mendekapnya erat, tubuhnya gemetar.      

Mahendra sekedar meliriknya sejenak, kemudian mengamati orang-orang di sekitarnya.      

"KEMANA ANANTHA!" lelaki bermata biru terkejut atas apa yang ia amati. Surya ada di dekatnya. Herry mencoba berada di sekitarnya. Termasuk perempuan yang tadi duduk bersama Mahendra, dan kini mendekap mata biru -ketakutan di bawah gelap-, tapi Mahendra tidak menemukan kakak iparnya.     

"Tuan aku akan mencari kakak anda!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.