Ciuman Pertama Aruna

III-216. Kau Lagi! Kau Lagi!



III-216. Kau Lagi! Kau Lagi!

0Mobil mewah memasuki kampung pinggiran sungai. Aruna mengamati dengan penuh kesan, perempuan tersebut tidak asing dengan hal-hal semacam ini.     
0

Sebelum dan sesudah menjadi istri Mahendra -sebelum ia mengandung baby di dalam perutnya-, suaminya masih mengizinkan dia berkeliaran mengajar di sudut kota, yang penampakannya tidak jauh berbeda dengan kampung yang kini ia lalui menggunakan mobil mewah Hendra.      

"Berhenti di situ.. itu rumahku," Kihrani turun lebih dahulu, ia berusaha berlari lebih cepat menuju rumahnya.      

Berbeda dengan Aruna yang menuruni mobilnya dengan pengamatan lekat sang ajudan. Alvin nampak kecewa karena dia tidak lebih cepat dari cara nonanya turun, dari mobil. Perempuan dengan mata coklat menyala lebar, ia merapikan sweater rajut yang membungkus dirinya.     

"Nona anda tidak apa-apa berada di tempat seperti ini?" Alvin mulai khawatir. Nonanya melangkah terlalu jauh.      

"Aku berasal dari tempat seperti ini Alvin.." jawaban Aruna membungkam mulut ajudan dengan kalimatnya.      

Di sudut lain, seseorang yang sedang memburu informasi yang sama begitu terkejut, mendapati mobil Bentley Continental dengan plat nomor yang jelas milik keluarga Djoyodiningrat. Parkir di hadapan rumah perempuan yang dia tunggu kepulangannya.      

Vian menggunakan motornya, dia parkir di sudut lain kampung. Lelaki ini punya misi tersendiri untuk menangkap Bomb malam ini. Tujuannya sederhana, dia belum bisa membuka mulut Kiki terkait komunikasi dengan Thomas yang terjadi di lantai bawah tanah.      

Bomb sangat menyebalkan, menghindarinya berhari-hari dan menutup mulutnya rapat sekali. Satu-satunya yang terjadi ketika mereka bertemu adalah pertengkaran.     

Namun malam kemarin ketika pada akhirnya Vian sempat menyerah, ia sendiri tidak mengerti. Mengapa ada yang kurang ketika ia tidak sempat bertengkar dengan Kiki.      

"Siapa yang datang ke rumah Kiki?" Vian mengendap-ngendap mencuri penglihatan.      

.     

.     

"Nona.. Maaf ya kondisinya berantakan," suara Kirani disambut dengan gigi rapi yang menyajikan senyum manis. Aruna mendapati mata bulat yang cantik sedang menatapnya.      

"Apa si cantik ini adikmu?" sapa Aruna mendekati Laila.      

"Oh.. perkenalkan ini Laila," ujar Kiki mendorong adiknya untuk bersalaman dengan Aruna.      

Aruna diam-diam mengamati seisi rumah sederhana ini. Pantas saja perempuan tersebut bekerja demikian keras, -sepanjang penglihatannya di teras minimarket tempatnya menunggu.      

"Laila.. aku bisa dipanggil lala" Laila mendekat. Dan Aruna menangkap kedua tangan gadis mungil tersebut.      

"Kamu hanya tinggal bersama adikmu Ki?" kalimat ini sejalan dengan kegiatan Kiki yang tergopoh-gopoh menyiapkan minuman hangat, dari sudut ruangan yang terlihat. Seiring pula dengan cara Alvin menggeser tempat untuk nonanya.     

"Sudah aku bilang biasa saja Alvin.." bukan satu atau dua kali Aruna menegur ajudan yang terlalu berlebih ini.     

Perempuan hamil tersebut sering merasa kurang nyaman dengan Alvin. Perilakunya agak berlebihan -dalam segala tindakan memperlakukan Aruna.     

Mungkin itu wujud rasa terima kasih. Namun kabarnya ajudan tersebut memang taat prosedur, kecuali malam itu. Ketika ia membiarkan nonanya berlari menemui gadis yang kini membawa nampan berisikan teh hangat, lalu di letakkan di hadapan Alvin dan kemudian di depan Aruna.      

Selepas meletakkan teh yang menerbangkan suhu hangat tersebut, Kiki mencoba duduk di hadapan keduanya. Namun sebelum itu, ia membisikkan sesuatu di telinga adiknya -Laila-. Sehingga gadis mungil tersebut berlari kecil menuju kamarnya. Tidak lupa Lala membereskan buku pelajaran yang tergeletak di atas meja.      

"Di rumah ini ada adik laki-laki dan bapak, " Kiki menatap mata Aruna. Perempuan hamil itu selalu tersenyum setiap kali mendengar suara gadis berambut hitam pekat.     

"Apa Thomas tinggal di sini?"      

"Oh, tunggu sebentar supaya anda tahu buktinya," Kiki bangkit dari kursinya. Gadis itu menuju salah satu pintu, memasuki sebuah ruangan yang pintunya di biarkan setengah terbuka. Tampaknya ia mengambil beberapa barang. Sebelum akhirnya barang-barang itu di letakkan di atas meja.      

"Ini, beberapa barang milik Thomas, ketika ia tinggal di rumahku,"      

Tangan Aruna bergerak lambat meraih baju koyak bermotif biru putih, "Apakah Thomas menggunakan baju ini ketika di temukan bapakmu?"      

Kiki mengangguk ringan, "Dari mana nona tahu?"     

"Baju ini seragam pasien Rumah Sakit Salemba. Rumah sakit yang biasa di gunakan keluarga Djoyodiningrat dan orang-orang di bawah naungan Djoyo Makmur Group," Alvin yang menjawab pertanyaan Kiki, dan gadis tersebut mengatupkan bibirnya. Mencoba melukis imajinasi terkait Rumah Sakit Salemba. Rumah sakit termahal di kota metropolitan.      

"Jam tangan ini juga milik Thomas?" Lagi-lagi pertanyaan Aruna kepada Kiki seperti sebuah konfirmasi.      

"Aku mendapatkan jam tangan itu sebagai kado perpisahan ku dengan Thomas," ada semburat duka di raut wajah Kiki.      

"Alvin, apa kamu bisa membedakan, apakah benda ini asli atau palsu?" pertanyaan Aruna disambut oleh ajudannya.     

Alvin meraih jam tangan dengan brand ternama tersebut. Selepasnya ia nampak membolak-balikan benda itu, tak lama kemudian ia meletakkannya kembali dan mengangguk kepada nonanya.      

"Ini asli nona," suara Alvin memberi konfirmasi.     

Aruna menatap Kiki lekat-lekat. Di balik percakapan yang mulai mengarah pada inti tujuan perempuan hamil, di luar sana -lebih tepatnya di teras. Ada pria yang sedang merapatkan telinganya. Dia berusaha mencuri dengar pembicaraan yang tersaji di dalam rumah. Lelaki bermata sendu, mencoba mengarahkan matanya ke celah sempit yang berada di sudut jendela.      

Mata itu membelalak lebar. Dia tertegun mendapati istri tuan muda Djoyodiningrat duduk bersama Kiki. Mereka saling berhadap-hadapan.     

Lebih tidak percaya lagi, ketika nona muda Djoyodiningrat meraih tangan Kiki. Dan Bomb yang harusnya pemarah malah mengangguk-angguk, mengiyakan setiap permintaan nona yang duduk di hadapannya.      

Bomb bahkan menyerahkan handphonenya, kemudian ajudan yang diketahui Vian bernama Alvin, memeriksa smartphone sederhana milik Bomb.      

Nampak di dalam sana sepertinya terjadi diskusi hangat. Di antara ketiga orang yang beberapa kali terlihat saling menatap satu sama lain, dari gerak tangan termasuk gerak mulut mereka. Jelas hal tersebut bukanlah diskusi sederhana.      

"Apa yang kamu intip?" suara pria mengintrupsi kegiatan Vian.     

"Hush! Jangan berisik," pria tersebut mengikuti cara Vian mengintip melalui celah jendela. Dia bahkan meletakkan kepalanya di daun jendela yang sedikit terbuka, "Hai jangan meng.." Vian baru saja menoleh dan "Aaargh..!!" pria bermata sendu terkejut bukan main. Ia mundur dan jatuh di lantai.     

Ternyata lelaki yang ikut-ikutan mengintip seperti dirinya adalah Bapak Kiki.      

Dan Ricky buru-buru menangkap lengan kekar milik lelaki yang terjatuh di lantai.      

"Dasar penguntit!" Ricky benci kakaknya di intip. Sasono biasanya melakukan ini. Beberapa kali ia menangkap basah Preman -sekaligus rentenir tersebut, lalu melemparnya dengan batu.      

Namun Sasono tidak pernah terang-terangan segila pria ini. Giliran keduanya mengamati siapa orang yang terperosok di lantai tersebut. Barulah bapak Kiki dan juga adiknya menyadari. Lelaki penguntit adalah pria yang sama -yang sering mengganggu Kiki, hampir setiap hari pada akhir-akhir ini.     

"Ya Tuhan.. kau lagi! Kau lagi! Kau lagi!" suara Ricky yang jengkel, sejalan melepas dekapan tangannya terhadap pria yang hari-harinya mengganggu kakaknya.      

"Apa kau tidak lelah mengganggu anak ku?" bahkan Bapak Kiki bosan melihat Vian yang selalu berdebat dengan anaknya di ujung gang, sebelum belokan menuju kampung mereka.      

Pernah suatu ketika, Kiki minta adiknya berjaga-jaga untuk menjemputnya. Supaya pria menyebalkan yang biasa menunggu kepulangannya tidak mengganggunya.      

Mendengar ribut-ribut, Kiki berniat bangkit membuka pintu rumahnya. Akan tetapi bapaknya keburu membuka benda persegi panjang dengan bahan kayu tersebut, begitu juga adik laki-lakinya. Seketika pula menghadirkan pria berhidung lancip dan bermata sendu, tertangkap mata tiga orang yang berada di dalam rumah.     

"Senior Vian?" kalimat tanya yang juga bermakna panggilan tersebut berasal dari ajudan Aruna.      

Aruna langsung menolehkan wajahnya kepada Alvin, kemudian perempuan bermata coklat itu mengamati Vian. Ia merasa tidak asing dengan pria tersebut, tapi Aruna tidak mengenalnya.      

"Selamat malam nona," suara Vian terdengar malu, -ketahuan Kiki dan keluarganya. Dia lebih sungkan lagi terhadap Alvin dan juga istri dari bosnya.      

"Siapa dia Alvin?" pertanyaan Aruna tidak di jawab oleh Alvin.     

Ajudan tersebut malah berdiri. Lalu ia mengamati mata vian yang tertuju pada Kiki.      

Kemudian kepala Alvin merunduk, membisikkan sesuatu kepada Aruna, "Gadis ini benar-benar jujur nona, Vian salah satu pimpinan divisi lantai bawah tanah, -lantai D. Di mana di dalamnya ada ruang putih, yang biasa di gunakan untuk memenjarakan orang-orang tertentu,"      

"Aku kemari dengan tujuan yang masih sama.. " suara Vian terdengar kikuk, lelaki tersebut menggaruk sudut lehernya, "Aku mencari informasi tentang Thomas,"     

Kiki sekedar melirik laki-laki tersebut dengan ekor matanya. Yang kemudian disusul hembusan nafas lelah, "Kau lagi.. kau lagi.."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.