Ciuman Pertama Aruna

III-219. Makna Kata Bersalah



III-219. Makna Kata Bersalah

0"Bruak.." Mahendra membuat dorongan kasar, hingga tubuh Perempuan itu terpelanting jatuh di ranjang, sisi kanan tubuh mata biru terbaring.     
0

Netra yang ia lihat bukan milik perempuan bermata coklat, melainkan mata bulat penuh dengan warna yang jelas-jelas bukan milik istrinya.     

Hendra berupaya bangkit, namun kakinya sempat tak seimbang ketika menapaki lantai. Kesempatan itu tak di lewatkan oleh perempuan yang sempat terbanting di ranjang -yang sempat di tiduri keduanya-, ia bergerak cepat memeluk tubuh Mahendra dari belakang.     

Hendra masih menstabilkan nafas, ketika dia mencari keseimbangannya dengan duduk di tepian ranjang. Seperti tak punya rasa takut, tangan perempuan tersebut mendekap punggung lelaki bermata biru.     

"Hendra aku tahu.. istrimu tak bisa memenuhi keinginanmu sebanyak dulu.. Aku bisa-" Pria ini menghirup nafas dalam-dalam ketika telinganya mendapatkan bisikan perempuan, yang merintih mengharapkan dirinya.     

Detik berikutnya Mahendra membalik tubuhnya. Dia mencoba mengenali wajah perempuan dalam gelap, sayang sekali usahanya gagal, ia tak bisa melihat apapun. Lelaki bermata biru menggerakkan tangan yang sebelumnya terkepal kuat. Hendra berusaha meraih leher atau mungkin dagu seseorang yang ada di hadapannya.     

Pria dengan mata biru yang menyala-nyala -tanda kemarahan- mampu mendorong gerakan mundur seorang perempuan, dia yang menatap mahendra terintimidasi oleh rasa takut. Mahendra menaikan satu kakinya -menapaki ranjang-, dan detik berikutnya dia coba menangkap leher perempuan tersebut.     

"Siapa yang mengirimmu..?!" sayang sekali, sejalan kalimat ini Mahendra belum bisa menangkap leher perempuan itu. Akan tetapi, lelaki bermata biru tanpa sengaja menggores sudut dagu wanita tersebut.     

Si perempuan sadar, pria di hadapannya tengah mencapai puncak kemarahan. Ia mencoba melepaskan diri, tatkala Hendra berhasil mendapatkan lehernya. Hendra tersenyum mengerikan sembari mencekik perempuan tersebut, di tengah ranjang tidur lebar dalam ruangan gelap.     

Dia yang tercekik meronta-ronta, menendang Mahendra, mencakar lengannya, berusaha mati-matian supaya terlepas .      

"Kau ingin jadi wanitaku?" Mahendra mendekatkan wajahnya kala dia menghentikan sejenak penyiksaan, "Heehe.. hahaha," terdengar tawa aneh dari lelaki bermata biru. Kemudian ia kembali mencekik lagi, sampai perempuan tersebut terbatuk-batuk.     

"Wanitaku tak boleh takut mati, karena aku punya hasrat membunuh yang tinggi," Dia yang bersuara mencekam dan menakutkan, sejenak melepas cengkraman. tatkala rasa pening menerpa kepalanya.     

Mehendra menggerak-gerakkan kepala, dia mencoba menemukan keseimbangan dari pertarungan melawan rasa pening hebat.      

"Huuh.. huuuh.." ini suara nafas perempuan yang mencoba menyusun prediksi terkait cara untuk melarikan diri.     

Ia meraih bantal, kemudian mencoba merobohkan pria berkepala pening dengan memukulkan benda tersebut ke arah kepala, beserta tendangan kaki menuju perut Mahendra.     

Mahendra sempat oleng sesaat. Sesungguhnya dia bisa bergerak untuk mengejar si perempuan sialan yang berani menjebaknya. Orang tersebut nampaknya mengunci dirinya di dalam kamar mandi.     

Hendra tidak mau lagi ambil pusing. Dia mencoba melempar pengamatan ke sekeliling ruangan gelap, berusaha mencari letak jasnya.     

Selepas berhasil menyalakan lampu dengan meraba dinding. Lelaki bermata biru lekas menyambar jas yang tergeletak di sofa, ia mengenakannya sambil berjalan.     

Mahendra bahkan tidak menyadari kala hem di tubuhnya tidak lagi memiliki kancing. Pria tinggi tegap dengan dada bidang sempurna, mencukupkan tubuhnya dengan balutan jas yang terkait oleh satu buah pengait. Lantas bergegas keluar dari ruangan terkutuk tersebut.     

Mahendra yang masih pening, baru sadar betapa berantakan kondisi dirinya setelah beberapa pasang mata perempuan yang berada dalam lift yang sama, mengamatinya malu-malu.     

"Sial" kesal pria ini, selepas mengamati dirinya sendiri pada cermin yang tersaji di lift. Ia lekas menarik hem yang berantakan di dalam jasnya.      

Hendra meraba saku di jas maupun di celana. Dia tak menemukan Handphonenya, lelaki bermata biru menyadari benda tersebut tertinggal, atau mungkin sengaja di sembunyikan oleh perempuan sialan tersebut.     

Dalam kondisinya yang tidak begitu stabil, lelaki bermata biru mengabaikan setiap senyum maupun tawa kecil, yang di layangkan orang lain kepadanya.     

Dia berjalan dengan percaya diri menuju lobi dan mendekati resepsionis.     

Sampai di depan resepsionis, Mahendra meminta bantuan untuk menelepon nomor seseorang. Ia tak memperhatikan bahwa ada orang yang tak henti-hentinya mencuri lihat dirinya, dan sekilas kemudian menekan bibirnya untuk menahan rasa ingin tersenyum.      

Mahendra menghubungi Herry. Selepas ia berbicara melalui saluran telepon milik resepsionis gedung bertingkat tersebut. Pria itu duduk sendirian di sudut ruangan merenungi keadaannya.      

Tidak butuh waktu lama Herry datang dan berlari menuju tuannya. Bahkan Mahendra tidak menyadari, ketika ajudan tersebut sudah berada kian dekat.     

Tampaknya lelaki bermata biru benar-benar tengah merenung, atau mungkin sedang menghayati rasa pening di kepala. Herry perlu menyentuh pundak Mahendra, supaya tuannya tergugah dari lamunan.     

"Kau sudah datang?"     

"Apa yang terjadi padamu Tuan?"     

Mahendra menggeleng sekilas sebelum akhirnya ia berdiri, mengikuti langkah Herry keluar meninggalkan lobi. Kemudian memasuki mobil.     

Saat mobil mulai bergerak, Herry tidak berani bertanya. Dia hanya melirik tuannya yang duduk di bangku penumpang bagian belakang     

"Boleh aku minta minum?"      

"Oh, Ya Tuan," Herry menepikan mobilnya. Kemudian ia keluar, berjalan menuju jok belakang yang biasa terdapat air mineral di sana.     

Ketika membuka jok mobil bagian belakang, Herry memperhatikan tas ranselnya. Ajudan ini punya inisiatif sendiri, ia membuka resleting tas dan mengeluarkan sebuah hoodie.     

Ketika kembali duduk di kursi pengemudi, Mahendra mendapatkan dua benda sekaligus yang di sodorkan oleh ajudannya. Sebuah hoodie dan sebotol air mineral.      

"Apakah aku benar-benar terlihat berantakan?" tanya Mahendra saat melihat Herry memberinya sebuah hoodie.     

"Anda lebih baik ketika berganti pakaian," cara Herry memilih kalimat jawaban, selalu menyenangkan hati Mahendra.      

Mobil kembali melaju, membawa pria kosong yang menutup kedua pelupuk matanya, sebab rasa pening di kepala.     

Jalanan cukup padat malam ini, sehingga mobil yang di kemudian Herry perlu berdesakan dengan mobil-mobil yang lain. Tanpa sadar, kendaraan beroda empat tersebut kini sudah berada di tepi jalan depan rumah Ayah Lesmana.      

Mahendra kembali membuka mata. Ia menemukan kesadaran setelah Herry memberanikan diri menyentuh lutut tuannya, dan menggoyangnya beberapa saat.     

"Dengan keadaanku yang seperti ini, apakah aku layak menemui istriku?" dia yang bicara seperti tengah mengigau. Suaranya seolah mengambang di udara.      

Bibir Herry terbuka, akan tetapi ajudan ini tak bisa memberikan saran apapun. Keduanya menatap rumah sederhana 2 lantai yang berdiri kokoh di samping kanan keberadaan mereka.      

"Em.. mungkin suara nona bisa meyakinkan anda?" saran Herry mendapatkan senyuman kecil di bibir Mahendra.      

Sayangnya ketika terdengar 'Halo' dari perempuan yang menjelma malaikat untuk hidupnya. Sama suara yang menghantarkan getaran pada gendang telinga mata biru atau getaran yang terjadi pada selaput tipis pembatas telinga luar dan telinga dalam tersebut. Tangan Mahendra pun ikut bergetar.      

"Herry…" halus, lembut dan menenangkan "Ada apa?!.." Aruna tidak tahu, bahwa Mahendra yang menggunakan smartphone ajudan Herry.     

Sayang sekali Mahendra tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.     

"Apa terjadi sesuatu yang buruk pada suamiku?" dia yang mendengarkan suara lembut perempuan serasa kian tersiksa.     

Dosanya besar malam ini. Dan dia tidak punya nyali untuk menjelaskan apa pun pada istrinya. Terlebih berjumpa, entah sebesar apa cinta pria yang detik ini menyerahkan handphone kepada pemiliknya -Herry-.      

"Beri tahu istriku, aku tidak bisa mengunjunginya malam ini.. jadwalku terlalu penuh," dan Herry buru-buru membalas panggilan nonanya sesuai instruksi pewaris tunggal Djoyodiningrat.     

.     

.      

Apa yang terlintas di pikiran seseorang tatkala mencari makna kata "Bersalah?"     

Mungkin pikiran kita akan terbang menuju kenangan buruk di masa lalu, atau tiba-tiba merasa sakit di dada yang biasa di sebut kesal, dan yang paling fatal menganggap negatif diri sendiri.     

Siapa yang tidak pernah merasa bersalah dalam hidupnya? Sepertinya, setiap manusia pasti pernah merasakannya. Perasaan bersalah muncul lantaran pernah melakukan kesalahan atau menyakiti orang lain terutama orang-orang terkasih. Baik sengaja maupun tidak di sengaja, tiap-tiap manusia kadang kala terbawa dalam jalan hidup yang rumit.      

Menyinggung, mencerca, atau menyakiti orang lain padahal kita tidak pernah membayangkan akan mampu melakukan hal itu.      

Hendra tertawan dalam kehampaan, dia sering kali berbuat salah. Akan tetapi bukan salah yang seperti ini. Mahendra tahu dirinya tak menginginkan hal tersebut, dan bisa di sebut dia adalah korban. Akan tetapi istrinya sedang hamil, Aruna bisa terluka hebat andai telinganya mendengar kisah malam ini.     

Maka dari itu ia putuskan untuk mengubur dalam-dalam pada kesunyian.     

"Herry, aku tahu kau seseorang yang bisa di percaya,"     

Herry memasang telinga dengan baik-baik.      

"Malam ini aku terbangun di ranjang dalam kondisi membingungkan. Aku akan menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku tidak mau istriku yang berhati lembut tahu kejadian buruk yang menimpaku,"      

Herry mengangguk, "Kita ke rumah induk, Tuan?"     

"Ya,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.