Ciuman Pertama Aruna

III-223. Jubah Es



III-223. Jubah Es

Aku datang menemuimu malam ini. Oh, mungkin ini sudah dini hari. Aku di bawa melaju dengan mobil yang di hadiahkan padaku ketika pernikahan kita. Ajudanmu setia melirik ku setiap saat, mungkin ia takut terjadi sesuatu padaku. Dia yang terlihat kuno dengan segala kepatuhannya yang ekstrim padamu dan kepada keluargamu, membuatku kadang kala merasa terganggu.     

Tapi ku coba memaklumi hal itu. Mungkin ia berbuat seperti itu karena takut pada ancamanmu, atau mungkin dia menirukan caramu memperlakukanku.     

"Apa Ac-nya terlalu dingin nona?" pertanyaan Alvin seakan mengetahui hawa dingin bulan Desember, telah berhasil menusuk hingga ke dalam tulangku. Mungkin kamu tak mengira bahwa tubuhku kini benar-benar menggigil, padahal aku mengenakan sweater merah yang kurajut bersama tatapan hangatmu.     

"Tolong naikkan suhunya," Aku mengamini dugaan Alvin.     

Mungkin engkau tak akan mengira. Sweater hangat yang menelungkupi tubuhku ini, bisa menjelma menjadi selimut salju yang memberiku kedinginan nyata. Kau pasti akan menertawakanku sekiranya aku menceritakan hal ini kepadamu. Delusi ini semacam imajinasi tolol yang bisa kau tertawakan terbahak-bahak, atau mungkin aku yang ingin tertawa keras pada saat ini.     

Bukankah dulu aku sangat membencimu? Aku ingin berlari darimu ? Bahkan aku mencari ribuan alasan palsu agar bisa menolakmu. Menghempas seluruh pernyataan cintamu, sampai aku pura-pura tuli dan bisu.     

Entah sihir apa yang kau gunakan? Hingga aku tetap ingin memelukmu selarut ini. Menanggalkan rajut merah buatanku, yang tiba-tiba menjelma menjadi jubah es. Sweater yang ku buat dengan menautkan helai demi helai benang, seiring dengan tatapan lekatmu sembari memijat kakiku.     

Aku akan di sampingmu, seburuk apapun kondisimu. Kita terikat oleh sumpah, dan aku akan selalu hadir di sisimu. Inilah caraku mempermudah dirimu, memenuhi janji di antara kita.     

Sepertinya, premis ini akan aku tuangkan pada kertas yang baru berisikan tiga, dari sepuluh prinsip hidupku.     

Ya, aku yakin!, ini akan jadi nomor empat. Tinggal enam lagi, sebelum aku siap menemui kakekmu -tetua Wiryo. Aku yakin pada masa-masa ini, dia sedang mendidikku dengan caranya yang unik.     

.     

.     

Menjelang berhentinya sebuah mobil yang membawa Aruna, perempuan bermata coklat ini sempat tersentak dan bangun dari diamnya -setengah tertidur-. Alvin nampak mencengkeram kuat benda bulat melingkar, yang bisa memandu arah gerak kendaraan beroda empat berwarna hitam.     

Ajudan tersebut terperangah, dan mengumpat setelah terbangun dari rasa terkejutnya. Selepas itu ia turun dari mobil dengan wajah suram. Dia mendekati pengendali gerbang utama rumah induk.     

Pintu yang biasanya terbuka secara otomatis, tatkala mobil-mobil yang teridentifikasi milik keluarga sang empunya rumah megah ini melaju.  Sehingga tidak ada yang perlu menurunkan laju kecepatan.     

Alvin nampak sedang berdebat pada celah di tepian gerbang. Kemudian datanglah seorang pria, yang biasanya menjaga pintu utama rumah megah tersebut. Dia keluar membawa alat detektor dan memasukkan kepalanya, -menengok ke dalam mobil. Memastikan yang di dalam kendaraan beroda empat tersebut, benar-benar nona muda istri pewaris tunggal keluarga ini.     

"Maaf, ada prosedur baru.." selepas kalimat itu terdengar di telinga Aruna dan Alvin. Pintu gerbang terbuka dan sang ajudan membawa nonanya melintasi tikungan melingkar, dengan gemericik air hasil lompat-lompatan indah air mancur, pada taman sisi muka rumah induk.     

Saat sampai di depan rumah megah tersebut, Alvin bergegas membuka pintu mobil.     

Kemegahan di hadapan Aruna, terasa sungguh mengerikan bagi perempuan bermata coklat ini. Ia merasa baru kemarin meninggalkan rumah ini, tapi selalu saja ada getaran yang sama tiap kali kembali.     

Jika dulu dia merasa akan mendapati penjara kokoh yang membuatnya terbelenggu hebat. Kini kesan tersebut telah bergeser, menjadi rasa yang lebih besar dari sekedar penjara.     

Memasuki rumah induk, pertanda dia harus siap membopong seribu tanggung jawab yang di hadirkan statusnya.     

Aruna baru menyadari hal tersebut, selepas dia mendapatkan baby dalam perutnya, dan ancaman yang hampir merenggut dia dan janinnya.     

Langkah Aruna menuju kamarnya terasa lebih cepat dari biasanya. Dia meminta Alvin meninggalkannya, ketika sampai di depan pintu ukir yang menjulang tinggi di lantai dua rumah induk. Pintu yang terlihat jelas dari ruang tengah lantai pertama.     

Perempuan mungil nampak menghirup nafas panjang sebelum membuka pintu tersebut. Setelah ia temukan ketenangan dirinya, kenyataannya dia tak bisa membuat dorongan. Pintu kamar terkunci rapat oleh suaminya. Aruna terdiam, tak lama ia tersenyum. _Hendra sudah punya kebiasaan mengunci pintu kamar sekarang?!_     

Hendra pria yang jarang peduli atau mungkin sengaja membiarkan pintu kamar tak terkunci. Sepertinya perlahan lelaki bermata biru tersebut merubah kebiasaannya.     

Aruna mencari telepon rumah yang tersaji tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia coba membuat panggilan pada telepon di nakas kamarnya. Hingga sambungan yang kedua, dia baru menemukan suara suaminya dari ujung sana.     

[Aku berada di luar kamar, tolong bukakan pintunya]     

[Aruna??] Ada nada terkejut dari lelaki bermata biru.     

[Iya.. ini aku]     

[Apa aku sedang bermimpi?..] Terdengar suara khas Hendra yang nampak linglung. Dan perempuan bermata coklat seolah bisa melihat suaminya sedang mengernyitkan dahi, kemudian memutar matanya, -mencoba fokus. [Tunggu.. kamu di rumah induk?] dia bertanya sekali lagi untuk memastikan. Aruna seolah bisa melihat ekspresi terkejut Mahendra.     

[Aku ada di depan pintu kamar kita]     

Hendra terdiam lagi, tak lama Aruna mendengar seseorang menjatuhkan sesuatu atau membentur benda.     

[Hendra...] Aruna mulai nampak khawatir.     

Tidak ada jawaban.     

Tak lama kemudian, telepon di telinga Aruna terdengar sahutan dari lelaki biru [Lima menit.. ah tidak!, Tiga menit.. dua menit lagi aku buka pintu. Sabar..]     

[Iya aku sabar..]     

Aruna tidak tahu ada pria yang tergopoh-gopoh berlari ke kamar mandi sampai terpeleset, sebab berbalik lagi memberi tahu bahwa dia butuh menunggu sekian menit, untuk membuka pintu kamar mereka.     

Hendra melihat dirinya pada pantulan cermin di atas wastafel. Tak lama kemudian, ia tak ingin menatap gambaran yang tersaji di hadapannya.      

Lelaki bermata biru lekas mencuci wajahnya. Melepas hoodie milik Herry, lantas menyelipkan ke dalam laci paling bawah pada kabinet kamar mandi. Termasuk celana panjang yang ia kenakan.     

Mahendra lagi-lagi melihat dirinya pada pantulan cermin. Dia hampir frustasi, sesekali menyibak rambutnya sendiri. Kemudian kebingungan, bagaimana caranya menyembunyikan warna merah di lehernya?!.     

_Foundation.. ya  foundation.._ Hendra keluar kamar mandi, kemudian bergerak cepat menuju ruang display baju. Pria ini menyambar piyama, akan tetapi ketika di kenakan, lehernya masih nampak terbuka.     

Mengamati jam sekilas. Detik berikutnya bergerak cepat, menyusuri baju-baju yang mampu menutup lehernya. Hendra mendapatkan sweater yang bisa menutup leher hingga ke atas. Ini tidak cocok untuk seseorang yang sedang tidur di malam hari, tapi ia tidak peduli.     

Celananya pun tak menunjukan orang yang baru tidur. Bagaimana bisa, dia mengenakan celana olah raga yang biasa di gunakan untuk lari pagi?!. Otak mata biru tidak cukup untuk memikirkan ini.     

Lupa dengan foundation, dia buru-buru membuka pintu, "Sayang.. huuh.. Aruna," nafas Hendra naik turun, mirip orang yang baru di kejar sekelompok pemburu.     

Aruna bergerak satu langkah, kemudian memeluk suaminya.Dia naikkan wajah dengan mata coklatnya yang hangat. "Ada yang kangen daddynya, sampai rasanya ingin menangis sepanjang malam. Aku tidak tahu cara memenuhi perasaan ini, selain memaksa Alvin membawaku menemui obatnya," dia yang bicara sangat pandai mengolah emosinya.     

Bukan Aruna jika ia tak pandai menutupi sebongkah gundah pada hati, untuk di ganti dengan ekspresi berbeda. Perempuan ini terlalu ahli menyembunyikan banyak hal, hingga tak ada satu pun yang mampu menduga wujud aslinya.     

Mahendra bergerak menarik tubuh tersebut masuk kedalam, kemudian mengunci rapat pintu kamar. Aruna sempat melempar senyuman bangga, melihat perubahan kebiasaan suaminya.     

"Malam ini sangat dingin," perempuan mungil mulai menurunkan sweater merah, dan suaminya bergegas membantunya.     

"Em, benar," mata biru tertangkap mengelap tangannya pada kain yang menjadi bahan celana, sebelum ia meraih rajut merah untuk di letakkan di sisi nakas.     

Aruna berbalik mengamati Hendra, dan tiba-tiba si pria menjadi salah tingkah. Menggaruk sudut lehernya, menyibak rambutnya dengan mata berpindah arah tatapan -persekian detik.     

"Kau juga kedinginan?" pertanyaan Aruna mengembalikan fokus si mata biru.     

"Oh, baju ku.. E.. iya.." dia merangkai jawaban acak, sembari mengangguk-anggukan kepala.     

"Aku sangat lelah, boleh kita langsung istirahat saja?!" keduanya menjadi canggung. Pemicunya tentu saja Mahendra yang serba salah.     

Perempuan mungil baru saja menyentuh sulur bunga lily, "Aruna," terdengar suara Hendra memanggilnya.     

Perempuan hamil menoleh menangkap mata suaminya, "Em.. tidak.." dia yang berbicara, lagi-lagi menggaruk sudut leher.     

"Bicara saja.. aku pendengar yang baik.." Aruna coba mengikis keraguan Mahendra.     

"Maaf," lalu terdiam dan membeku, lama sekali dengan pandangan mengarah sudut berbeda, menghindari arah mata Aruna.     

"Hanya itu?," si perempuan coba menggali lebih apa yang ingin di utarakan suaminya.     

Dia mengangguk.     

"Kalau begitu ayo istirahat.. baby ingin memeluk daddynya," ucap Aruna sembari melempar senyum tipis.     

"Ya.. iya.. huuh.." dada seseorang bergemuruh hebat. Dia yang merasa bersalah, dan sangat tersiksa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.