Ciuman Pertama Aruna

III-225. Hikayat Lama



III-225. Hikayat Lama

0"Kalau begitu ayo istirahat.. baby ingin memeluk Daddynya," ucap Aruna sembari melempar senyum tipis.     
0

"Ya.. iya.. huuh.." dada seseorang bergemuruh hebat. Dia yang merasa bersalah, dan sangat tersiksa.     

.     

.     

Angin dingin yang bercumbu di luar seolah sedang menyisir tubuhku saat ini. Dia tertidur di sampingku, memelukku sangat erat. Awalnya mataku tak berani melihat caranya tertidur yang meringkuk, mendekap salah satu lenganku. Tapi kenyataannya aku tetap menoleh, mengamati dirinya yang menyajikan raut wajah tenang.      

Tidurmu seolah sedang memberi tanda, kaulah sang tuan putri cantik yang lemah lembut nan hangat, dan akulah sang penjahat bengis. Si pengkhianat kerajaan yang sedang kita bangun bersama. Aku di terkam sensasi rasa bersalahku.     

Mataku seolah tak layak menatapmu. Ketika tiba-tiba di suasana dingin ini, kau gerakan tubuhmu kian mendekat ke arahku. Memeluk penuh raga yang sedang di penuhi rasa bersalah, hingga sebuah gundukan kecil di perutmu menempel pada sisi samping tubuhku.     

Kalian memelukku secara bersamaan. Seketika tenggorokanku, dan sesuatu di dalam dadaku terasa nyeri. Membuatku sesak dan merasa tercekik oleh diri sendiri.     

"Daddy tidak ingin memeluk kami?" suara lembut Aruna membuyarkan lamunanku. Seolah ia sedang mengayunkan sebilah pedang laras panjang dalam sekali tebas, dan aku hanya mampu terbujur kaku dengan tololnya.      

Aku bangkit dari tidurku. Ternyata begini rasanya di hantui oleh perasaan bersalah.      

"Ada apa?" Ku miringkan tubuh ku untuk menangkap ekspresi sang pemberi pertanyaan. Ku ulurkan tanganku mencoba menyentuh wajahnya, mengelus rambutnya, dan dia tersenyum.      

Aku tak pernah merasa semunafik ini, karena aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu di dalam dadaku. Hampir segala hal yang ada di otak dan hatiku, selalu ku utarakan apa adanya kepada siapapun.     

Kecuali malam ini, satu hal yang berbeda. Ini terasa sangat menyiksa diriku. Dadaku sakit luar biasa. Munafik itu berat, apakah Aruna dulu juga merasakan rasa sesak ini setiap saat?.     

Aku kembali berbaring. Ku miringkan tubuhku, supaya aku bisa memeluknya erat-erat. Ku sisipkan kepala itu dalam ceruk leherku. Dan betapa hangatnya tubuh mungil tersebut, dia mampu mengusir hawa dingin yang sejak tadi menyisir tubuhku.      

Aku mendekapnya sangat erat. Inilah caraku mengumpulkan sebuah keberanian untuk berkata jujur padanya.      

.     

.     

"Aruna sayang, besok pagi-pagi mau kembali ke rumah ayah ya?" suara Hendra menyapa, setelah menyadari dia dan istrinya sama-sama tidak mampu tidur pada malam ini.     

"Aku sudah memutuskan, kalau aku akan tetap berada di sampingmu!, Apa keputusanku ini salah?" Mahendra mengerjapkan matanya ketika mendengar jawaban dari Aruna. Tampaknya lelaki ini bingung harus menjawab apa.     

"Tempat ini, belum kondusif untukmu!" ia coba memberi pengertian.     

"Berarti kalau tempat ini tidak kondusif untuk ku, suamiku juga tak pantas berada di sini?!, ataukah suamiku merasa, aku yang tidak layak mendampinginya?" ketika Aruna melontarkan pertanyaan seperti ini, Mahendra kembali bangkit dari tidurnya. Lelaki bermata biru sedari tadi tampak tak jena, untuk sekedar menempelkan punggungnya ke atas kasur.      

"Siapa yang berani berkata seperti itu?" _bahkan kamu terlalu layak untukku_     

"Tidak ada, aku hanya menduganya.." mulut kecil yang berwarna kemerahan mengatup, lalu di tarik memberi senyuman lurus.      

Kemudian sunyi.      

"Jadi? Bagaimana?" tanya Aruna berikutnya.      

"Em.." ekspresi tidak percaya diri terlihat jelas di wajah lelaki bermata biru.      

"Diam artinya boleh!?" suara perempuan mungil memecah keheningan.      

Dan lelaki yang kebingungan itu berdiri, menghapus rasa bersalahnya dengan melakukan aktivitas tidak penting.     

Dia menyusuri almari buku yang tersaji di dekat meja kerjanya, di dalam kamar mereka. Hendra meraih salah satu, dan seketika Aruna bangkit untuk mengamati setiap gerakannya.     

Hal-hal yang dilakukannya terlihat serba salah, tidak ada buku yang layak ia baca.      

"Bagaimana kalau aku memberimu saran?" Mahendra melihat istrinya yang tersenyum manis, "Kamu terlihat kebingungan mencari buku, benarkan!?" Aruna membuat dugaan dan hal tersebut menjadikan lelaki bermata biru membeku. Praduga sang istri tampaknya sangat tepat.     

"Aku punya saran, di sudut paling bawah ada buku berisi tentang hikayat lama. Aku rasa, hikayat Bayan Budiman cocok untukmu," Aruna sekali lagi menyajikan senyuman, tatkala ia kembali membaringkan tubuhnya. Tak lama si perempuan mungil menarik selimut untuk menghangatkan dirinya sendiri. Ia memejamkan mata, kemudian memeluk guling yang tak jauh dari tempatnya terbaring.      

Detik berikutnya yang tertangkap dari tempat Mahendra berdiri adalah, jatuhnya buku yang di pegang lelaki bermata biru. Pria tersebut mengerjapkan matanya berulang kali, dia tahu isi hikayat Bayan Budiman. Sambil merundukkan tubuhnya meraih benda yang ia jatuhkan, Hendra segera mencari buku yang di maksudkan oleh istrinya.     

Mahendra butuh mengkonfirmasi ulang ingatannya, terkait kisah yang di sarankan Aruna. Pria itu mengenyahkan pantat pada selasar di depan almari. Mengurut satu demi satu judul, sampai buku berjudul kumpulan hikayat lama menyapa penglihatannya.      

Bayan Budiman, bayan adalah seekor burung jantan yang di beli seseorang bernama Khojan Maimun. Lelaki yang terpaksa meninggalkan istrinya di rumah, karena tugas perniagaan.      

Sang suami berpesan pada istrinya, supaya dia berkisah kepada burung yang ia beli tatkala merasa kesepian.      

Di tengah kegalauan perpisahan suami istri, karena yang satu harus bekerja sedangkan yang lain menunggu di rumah. Istri tuan Khojan Maimun alias Zainab yang cantik luar biasa, di minati oleh pangeran kerajaan tersebut.     

Sang istri -Zainab- bercerita kepada burung Bayan.     

Betapa pandainya sang burung Bayan memberikan nasehat kepada Zainab tentang kisah azab. Sehingga perempuan cantik ini mengurungkan niat buruknya untuk berkencan dengan pangeran kerajaan tersebut.     

Sehingga bayan si burung, di sebut Bayan Budiman.      

Mahendra mencengkram buku berjudul kumpulan hikayat lama. Kemudian dia letakkan benda tersebut di atas meja. Lalu berjalan menuju cermin, menatap pantulan dirinya. Tak ada celah warna merah yang mampu di tangkap Aruna, semua terbungkus rapi di dalam sweater yang ia kenakan.      

Lehernya tertutup rapat. Cakaran di tangannya pun terbungkus oleh lengan panjang baju yang lurus, hingga pergelangan tangan.      

Mahendra sempat menghembuskan nafas kembali, melirik perempuan yang tidur dalam ketenangan. Inilah yang paling menakutkan dari Aruna.      

Dia sulit di tebak. Semacam teka-teki silang yang tiap pertanyaannya adalah, soal-soal perihal teori kalkulus yang berderet panjang.      

_Apakah dia tahu?_ lagi-lagi Mahendra mengajak cermin untuk berbicara.     

Dan pada akhirnya lelaki ini runtuh, setelah sekian lama ia coba memahami. Aruna adalah gadis yang pandai menyembunyikan banyak hal. Perempuan yang memiliki kemarahan besar dengan cara diam dan tenang.     

Lelaki bermata biru memutari ranjang besar, di tengah-tengahnya menyajikan perempuan mungil sedang meringkuk, tidur terlelap dalam dekapan selimut hangat.      

"Bangunlah Aruna.." suara Hendra menyapa, ketika dia berada di tepi muka ranjang bersulur bunga lily.      

"Bangunlah sayang.. aku ingin mengakui sesuatu," Aruna berkenan bergerak, setelah ia mendengar kalimat terakhir dari ucapan Mahendra 'mengakui sesuatu'.     

"Aku tidak tahan menyimpan kebodohanku, tapi aku tidak bisa bercerita dengan benar. Jadi terimalah maafku.." suara ini memandu seorang perempuan bangkit dari tidurnya. Tangannya baru saja mendorong sulur bunga lily agar dia bisa duduk tegap, bersama selimut yang jatuh ke bawah menunjukkan perut yang mulai mengembung.      

"Hendra.. yang apa kau lakukan?" mata Aruna membulat lebar. Dia benar-benar sudah menduga, bahwa Mahendra akan meminta maaf dengan cara terekstrim versi kepalanya.     

"Aku tidak suka melihat.." sempat terhenti karena seorang ibu hamil perlu mengambil nafas, "Ayah dari bayiku.." Aruna tak sanggup melanjutkan ucapannya.     

Dia bangkit dari ranjang bermotif sulur bunga Lily, yang menyajikan getaran. Sebab perempuan mungil di atasnya menuruni tempatnya tertidur. Ia berlari kecil, kemudian mendekati tubuh lelaki bermata biru, lalu memeluknya.      

Selasar yang menjadi tempat bersimpuhnya Mahendra, di tumpahi air mata perempuannya. Dada lelaki bermata biru di peluk erat, dan Aruna menangis di sana.      

Entah siapa yang bersalah? Rasanya keadaan malah berbalik. Perempuan mungil kini menangis sejadi-jadinya.     

"Hai.. aku minta maaf.. berhentilah menangis, kau semakin menyiksaku," Aruna belum mau diam sampai pada akhirnya, lelaki bermata biru bangkit dari bersimpuhnya dan menuntun istrinya berdiri.      

Perempuan tersebut duduk pada tepian ranjang. Aruna hanya mampu menelan salivanya. Matanya yang sayu menangkap laki-laki yang kini menekuk kakinya, memeluk tubuhnya yang mungil dengan rasa bersalah yang dalam.     

Dia mencium bayi yang ada di dalam perut perempuan mungil.     

"Kau boleh menghukumku seberat-beratnya, tapi jangan pernah meninggalkan lelaki bodoh ini. Aku bisa mati kalau kamu memutuskan pergi, dan membawa jauh bayi kita dari hidupku," Mahendra merintih, membuat permohonan dengan suara yang terdengar menyayat hati.     

Aruna mengelus wajah lelaki bermata biru yang kini merintih di pangkuannya. Detik berikutnya, perempuan mungil meminta Mahendra berhenti membuat permohonan. Karena si mata coklat selalu mengangguk, -meng-iyakan setiap kali suaminya memohon.      

Mahendra bahkan lupa mempertanyakan dari mana Aruna tahu kejadian hina yang menimpa dirinya semalam.      

Akan tetapi secara mengejutkan, sangsi yang di berikan Aruna adalah permintaan di luar nalar Mahendra.     

"Pertemukan aku dengan Thomas, tapi kamu tak boleh bertanya dari mana aku mengetahui nama itu, dan kenapa aku harus bertemu dengannya,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.