Ciuman Pertama Aruna

III-230. Memalingkan Wajah



III-230. Memalingkan Wajah

0"Mana yang lebih indah.. aku atau dia?" tampaknya Aruna tahu aku tertegun menatapnya, dan belum berkedip mata sekejap pun.      
0

.     

.     

"Mengapa kamu perlu mengkonfirmasi hal sepele seperti ini?.." Mahendra memeluk dua makhluk sekaligus. "Tidak ada yang lebih indah dari istriku" ini kalimat pelengkap yang meluncur dari bibir lelaki bermata biru, tak lama setelahnya ia sempat menghisap sudut leher istrinya.     

"Begitu ya?" Hanya itu yang di ucapkan Aruna sebelum kakinya menapaki lantai, bergerak masuk ke dalam pintu kedua kamar mandi mereka.     

"Aku ingin bertemu Thomas pagi ini.." Dia membalik tubuhnya sebelum menghilang di balik pintu, "..Jadi tolong, selepas aku mandi, keinginanku sudah terpenuhi," intonasi yang di usung Aruna standar, layaknya cara ia bercakap-cakap seperti biasanya.      

Tapi mata itu memberi tahu, bahwa Mahendra harus memenuhi setiap permintaannya, tanpa kecuali.      

Mata pria yang di ajak Aruna berbicara terlihat mengerjap beberapa kali. Namun si perempuan mungil mengabaikannya, ia melenggang menuju bathtub. Kemudian menenggelamkan badannya ke dalam kolam kuah tersebut.      

Waktu di sekitar Mahendra seolah terhenti beberapa detik, sebelum ia akhirnya melangkah meraih telepon rumah guna membuat perintah.      

Tak ada satupun dari pimpinan di lantai D yang dapat dia hubungi. Hingga di panggilan terakhirnya, ia mendapati Raka menerima telepon darinya.      

Mahendra tidak mendapatkan kesempatan untuk bicara, ketika pria tersebut dihujani penjelasan secara detail oleh Raka terkait ke naas-an yang di terima Pradita. Tentu saja termasuk hilangnya Rolland, dan salah satu ajudan yang berada bersama Rolland.     

[Aku akan menjenguk Pradita sore ini. Tapi sebelum itu, pagi ini aku mau minta tolong padamu] Mahendra mencari celah dari narasi panjang yang di ucapkan oleh Raka secara berapi-api.      

[Baik presdir. Apa yang bisa aku bantu?] Sahut Raka dari sambungan telepon.     

[Aku tahu pagi ini keadaan masih kacau. Tapi aku sudah berjanji menemui Thomas, oh' harusnya sehari yang lalu. Maka dari itu, bawa dia ke rumah induk pagi ini juga]      

Raka hening beberapa saat, [Bolehkah saya meminta waktu untuk saudara saya?]     

[Aku tahu kalian mencari cara supaya Thomas terbebas. Kali ini tujuanku bertemu dengannya bukan untuk menjatuhkan hukuman, ada seseorang yang ingin berjumpa dengan Thomas] dan hening kembali.     

Mungkin ia yang berada di ujung sana sedang berpikir mendalam.      

[Percayalah padaku!, Aku bakal memberi kalian kesempatan untuk mencari bukti yang meringankan beban Thomas. Aku hanya butuh dia hadir di rumah induk, secepatnya] kembali Mahendra mengajukan permintaannya.     

Hening yang di sajikan Raka pun sirna, berganti suara bersemangat -mengiyakan- permintaan presdir Djoyo Makmur Group.     

Mahendra meletakkan telephone tersebut, tapi tidak dengan isi di kepalanya. Tatkala ia menyusup dan menapakkan kakinya di lantai kamar mandi, ia dapati mata istrinya terpejam, terlihat nyaman berendam di dalam mangkok kuah warna putih.     

Mata biru mendekatinya. Menyentuh rambut yang terurai berantakan, seketika netra coklat tersebut membuka. Ia menarik bibirnya, tapi tidak menyajikan senyum hangat seperti biasanya.     

Kini yang tersaji raut wajah dengan senyuman yang terkesan dingin. Tak lama ia duduk lebih tegap, lalu menyerahkan lengan mungil yang berujung pada jemari lancip, dengan kuku-kuku bak biji mentimun.     

Mahendra memegangi tangan yang di serahkan perempuan dari dalam bathtub. Ia coba mencerna simbol implisit yang sedang di usung Aruna.      

Perempuan sangat membingungkan ketika ia harus di mengerti, tapi tak mau mengeluarkan sepatah kata apapun dari bibirnya.      

Aruna memalingkan wajah. Membelakangi keberadaan Mahendra.     

Tirai yang di sisihkan perempuan mungil menghadirkan jendela kaca lebar. Bahkan fire yang juga membatasi pandangan matanya menuju ke arah taman sisi samping rumah induk -yang berada di bawah- juga sudah ia sibakkan.     

Wajahnya berpaling sempurna menghadapan pemandangan dari balik jendela kaca. Tapi tangannya masih di biarkan teramati oleh Mahendra, dan berada dalam genggaman lelaki tersebut.      

"Haahh.." si gelisah melepaskan hembusan nafas, "Kau ingin aku.. em.." mata biru bingung harus mengatakan apa.      

"Katanya ingin mandiin aku?" si perempuan mungil mengingatkan tujuan Mahendra mendatangi dirinya.     

"Oh, iyaa" lelaki bermata biru bergegas meraih sabun cair yang tak jauh dari tempatnya menekuk kaki, berjongkok. Kemudian tangannya berbusa tersebut mulai merambati tubuh sang istri.      

Mulai dari jari-jari mungil lalu lengan dan perlahan menuju leher, hingga sampai pada kedua daun telinga Aruna. Tak ketinggalan, punggung yang menyajikan bekas luka kejadiaan naas yang menimpa Aruna turut di naluri sabun oleh Mahendra.     

Mahendra melakukan sebaik mungkin, akan tetapi tatkala rambut Aruna mulai terbasahi, sebelum di balurkan shampo. Pria ini mendapatkan pertanyaan menohok.      

"Siapa yang lebih harum, aku atau dia?" lagi-lagi pertanyaan pembanding yang di usung Aruna untuk dihujamkan ke dada mata biru.      

Mahendra terdiam membeku.      

Beberapa detik berlalu dalam kebisuan, mata Aruna masih mengumbar tatapan ke arah taman di bawah sana. Hendra tahu perempuan ini tidak ingin melihat dirinya.      

Secara mengejutkan lelaki bermata biru membanting shampo yang ada di tangannya, hingga percikan air turut menyapa tubuh Aruna. Ia bangkit dari duduknya, berjalan penuh emosi meninggalkan sang istri.      

Perempuan bermata coklat sempat menolehkan wajahnya ke belakang, sesaat menangkap punggung yang menghilang dari balik pintu kamar mandi mereka.      

Aruna kembali membalik tatapannya. Ia mengamati pepohonan dan hamparan taman rumah induk yang ada di bawah sana.      

Selang berapa menit, setelah kenikmatan menatap hamparan taman ia lakukan, Ratna berlari tergesah-gesah ke arahnya, membuyarkan lamunan Aruna.     

Asisten tersebut memberitahu ada lelaki yang sedang meledak-ledak, dan membuat seisi rumah ketakutan. Tentu saja yang saat ini sedang marah besar adalah suaminya sendiri.      

"bantu aku mandi Ratna," perempuan ini nampak tenang. Dia menikmati mandinya, bahkan menikmati ketika dirinya dirias oleh Tika dan Ratna.     

.     

.     

Di lantai satu rumah induk, seseorang dengan suara lantang memanggil ajudannya. Heri dari lantai 3 berlari secepat kilat menghadap Mahendra.     

pria yang meledak-ledak tersebut, sesungguhnya beberapa menit sebelumnya hampir memecahkan pintu yang terkunci, "Dimana yang lain! Mengapa hanya kamu yang menghadap padaku!"     

Alvin yang belum genap beristirahat terlihat menguap, diantara caranya berdiri, menerima perintah tuan muda jayadiningrat.     

Ternyata, perintah yang diberikan lelaki bermata biru ialah mencari keberadaan Anna, putri angkat kesayangan kakeknya. pintu kamar Anna terkunci dan pintu tersebut lah yang hampir roboh sebab ditendang oleh Mahendra.     

Nampaknya Mahendra sadar terhadap kejadian yang menimpanya semalam. setelah ia tak lagi merasakan pening hebat di kepala, otak lelaki bermata biru mulai bekerja.     

.     

.     

sekelompok ajudan mulai mengeluarkan mobil dari garasi memenuhi permintaan tuan muda dengan emosi meledak-ledak tersebut.     

Herry terlihat mematung sebelum ia memasuki mobil hitam, "kemana kita harus mencari nona anna?"     

Alvin lagi-lagi menguap, dia menarik jaketnya lalu menyusup ke dalam kursi penumpang bagian depan. Herry pun mengikuti caranya, duduk di kursi pengemudi.     

Melihat herry yang belum mau beranjak, seperti setengah mengigau atau lebih tepatnya bicara sambil tidur. Alvin mencetuskan sebuah ide sederhana.     

"tanya saja pada tim Pradita, lebih masuk akal bertanya pada mereka daripada kau bertanya padaku, apalagi pada stir mobil yang kamu tatap itu."     

"hehe" Herry terdengar mencemooh kalimat yang berasal dari tidur seseorang. Namun kenyataannya Herry melakukan apa yang di sarankan si tukang tidur disampingnya.     

***     

Vian yang saat ini melaju di tengah-tengah jalanan kota metropolitan yang perlahan memadat, sembari membuntuti mobil pembawa dua perempuan tawanannya terdapati memencet chip kecil di sudut telinganya.     

Lelaki yang berada di atas mesin roda dua berkecepatan tinggi tersebut mendengarkan suara pria yang semalam memberinya saran.     

Keputusan Vian menuju rumah leona selepas mendapati CV D103 bukanlah suatu kebetulan yang heroik. Lelaki kekar yang saat ini bicara dengan nada bersemangat versinya -Raka- adalah seseorang yang memberi saran pada pimpinan divisi penyidik internal.     

Raka dan timnya sudah memperhatikan rumah Leona semenjak diminta Vian beberapa pekan terakhir, (Chapter, Rindu Tanpa Beban) dan malam ini dia mengakui bahwa dirinya menanggalkan tugasnya mengamati rumah Leona. Sebab, seluruh ajudan dikerahkan untuk menghalau kekacauan yang terjadi di tengah-tengah launching produk digital tarantula grup.     

Launching produk digital tarantula yang terkesan berjalan lancar di dalam ballroom, sesungguhnya pada sudut basement terjadi pergulatan hebat antara beberapa ajudan DM grup dan tarantula.     

[Sesuai dugaanmu Raka. Untung aku sempat menangkapnya]     

[Kau bakal langsung menyerahkannya pada Presdir?]     

[rasa-rasanya Aku ingin menjalankan prosedur interogasi terlebih dahulu, sehingga seluruh kejanggalan kasus Thomas serta nona terpecahkan.... ….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.