Ciuman Pertama Aruna

III-233. Bisikan-bisikan Nyaring



III-233. Bisikan-bisikan Nyaring

0Di suatu kala, ada sosok lelaki belia bermata biru yang mendapatkan keluhan berupa tangisan panjang penuh duka, dari sahabat satu-satunya.      
0

Matanya merah, terdengar isakan di sertai rintihan yang menyayat hati, sampai ia tak dapat melukiskan seberapa sakit hatinya saat ini. Bahkan ia tidak mau makan, tidak mau tidur sejenak untuk beristirahat. Nampak tisu-tisu berserakan di atas ranjang nyaman tersebut.     

Pemuda tersebut gundah dan merasa sangat terluka, atas apa yang terjadi pada sahabatnya.     

Ia perempuan satu-satunya yang dia kenal di muka bumi ini, kecuali neneknya yang suka tersenyum dan ibunya yang tak pernah berekspresi, atau perempuan-perempuan yang terbungkus baju putih, dengan panjang menjulur sampai lutut. Mereka -Perempuan berbaju putih- tidak lebih dari satu atau dua orang saja.     

Untuk menghentikan tangisan sahabatnya, yang sudah berlangsung beberapa hari. Pemuda bermata biru tersebut berdiri di lorong sekolahnya, yang menyajikan ruang-ruang kelas pada sebelah kanan dan kiri tempatnya berpijak.     

Ia menyeret kakinya pelan. Setiap mata yang menatap ke arahnya, mampu melihat kegundahan yang terpancar dari dalam hatinya.     

Pada langkahnya yang mirip seperti singa sedang kelaparan, dia memikirkan kembali monolog-monolog acak yang di ujarkan sahabatnya dari dalam kamar. Ruangan yang di penuhi oleh tisu-tisu berserakan.      

Sambil terus berjalan menuju sebuah ruangan berbentuk kubus, di mana pada bagian dalamnya tersaji barisan meja dan kursi. Dia mencoba membayangkan, bagaimana caranya untuk menghentikan tangisan, serta rengekan yang menyesakan dada tersebut?.     

Dengan langkah pasti dan tekad yang sudah ia bulatkan. Dia menarik pergi seseorang, yang menjadi alasan kesedihan dari sahabatnya tersebut. Bergerak cepat dan semakin menjauh dari kerumunan, menuju ke tempat yang lebih sepi dan sunyi.     

Dia begitu bahagia ketika si sumber tangisan sahabatnya mudah sekali untuk di bujuk, hanya dengan sejumlah uang di sakunya. Pumuda bermata biru berhasil membawa targetnya menuju gudang belakang sekolah yang tak terhuni.      

Sepi & sunyi, situasi yang membuat senyum aneh tercetak di bibirnya.     

'Ini saatnya!', otaknya membisikkan kalimat dorongan dengan makna tersendiri.     

Bisikan lirih yang sering ia perdengarkan setelah pemuda bermata biru tersebut, menerima hantaman-hantaman hebat pada pelatihan fisik yang berat.      

'Tidak!', Bisikan lain melarangnya.     

Ada pergulatan hebat antara batin dengan susunan pola yang tertanam di kepalanya.      

'Balas! Ayo balas!, Dan buat temanmu berhenti menangis!, Perempuan kesayanganmu akan tersenyum melihatmu! Lakukan saja!'.     

Dia sempat menggelengkan kepala, mencoba mengusir jauh-jauh susunan kata yang sering di selipkan oleh pelatih gulatnya.      

Sayang sekali, si alasan yang menjadikan sahabat perempuannya menangis berhari-hari, dengan enteng mengatakan, "Mana uangku? Aku sudah menuruti mu pergi ke gudang ini? "     

Pemuda bermata biru tersenyum aneh lagi, seaneh pola-pola yang di susun oleh pelatihnya di dalam otak.     

Matanya sempat terpejam untuk sesaat. Lalu berkata dengan nada yang sempat mengguncangkan benak lawan bicaranya, "Minta maaflah kepada sahabatku,"     

"Buat apa?" pertanyaan polos meluncur dari pemuda lain di hadapannya.     

"Kau membuatnya menangis berhari-hari,"     

"Aku memang sudah tak suka dengannya, dan itu hakku. Yang namanya pacaran, bisa bosan -kan?!" sanggahnya mencari pembenaran.     

"Aku hanya memperingatkanmu satu kali,"     

"Jadi kau membohongiku tentang uang?" dia mulai sadar akan tujuan lain pemuda bermata biru.     

"Aku bisa memberimu lebih banyak, berkali-kali lipat. Tapi minta maaflah pada dia.. dengarkan Aku.." pemuda bermata biru mendekati lawan bicaranya.      

"Barusan aku masih menggunakan hatiku. Tapi sejujurnya, aku lebih suka menggunakan otakku. Mereka sedang berbisik saat ini" lawan bicaranya secara perlahan-lahan mundur, saat mendengarkan susunan kata aneh tersebut.      

"Aku tidak mau uangmu! Aku pergi saja!"     

"Apa kau takut?" nada bicaranya datar, tapi terdengar seperti celaan. Sejalan dengan seringai kecil pada sudut bibirnya     

"Siapa pula yang takut! Kau lebih kecil 2 tahun dariku -bukan?!," dia yang kini bersuara seolah sedang meremehkan lawan bicaranya.     

Pemuda bermata biru mengangguk.     

Dia memang lebih muda, tapi perawakan tubuhnya terlihat lebih tinggi. Nampak pula otot pada tangan-tangannya lebih bervolume. Bahkan bekas lebam di perut yang tertutup oleh baju yang ia kenakan, serta luka di beberapa tempat lainnya, menunjukan bahwa dia mendapatkan pelatihan fisik yang berat.      

Maka, tak ada rasa takut sedikitpun yang terpancar dari pemuda bermata biru, saat menghadapi sosok yang lebih tua darinya.     

Lalu tiba-tiba saja, lawan bicara pemuda bermata biru berjalan bersungut-sungut menghujamkan kepalan tangan "Bugh" lantas merampas isi dari kantong celana, untuk mengambil uang yang berada di dalamnya.     

Semua orang di sekolah ini tahu, pemuda dengan mata aneh tersebut suka sekali menghamburkan uang untuk mentraktir teman-temannya.      

Sang perampas uang tersenyum, puas.     

Anehnya penerima hantaman tangan mengepal, juga menyajikan senyum yang puas. Dia senang mendapati bercak darah yang tersaji di sudut bibirnya. Nampak segar, merah, dan menantang.      

"Huuhh.." ia menghembuskan nafas. 'Ini kesempatan langka, lakukan saja dan kau akan temukan sensasi bahagia itu.' Bisikan itu meliuk-liuk, menggoda, dan menyusup di seputar dirinya seperti kabut asap.     

Lalu pemuda bermata biru melompat-lompat kecil, kegirangan. Tentu saja lawannya yang sedang memegang uangnya, menggeser mundur arah langkahnya.      

"Siang ini cukup panas untuk berlarian di luar," mata biru berceloteh sembari membuat genggaman pada kedua belah tangannya, memasang kuda-kuda, "..Kalau aku harus menghajarmu di luar sana, itu akan memalukan untukmu. Jadi, mari kita 'berpesta' di dalam gedung kosong ini"     

Di luar memang lebih terik, matahari bersinar terang daripada biasanya. Dan udara di seputar dua pemuda tersebut kian pengap.      

Perampas uang, melempar dompet di tangannya. Seolah lebih pandai bergulat, ia menarik lengan baju panjangnya, serta merta ikut membuat kuda-kuda.      

Tanpa aba-aba, lawan pemuda bermata biru menghantam perutnya. Dan secara mengejutkan, ia malah terkekeh bahagia mendapat hantaman tersebut.      

Lagi-lagi bisikan nyaring itu menembus gendang telinganya, lalu masuk ke dalam otaknya dan menggoyahkan pikirannya.      

Dia melompat lalu membuat putaran pada  kakinya. Dan "Bugh" tendangan bebas menghantam lawan di depannya.     

Sepertinya, si penantang tidak memiliki keahlian apapun di banding dirinya. Dan saat itu pula 'pesta' di mulai.      

Bisikan-bisikan lain kian terdengar nyaring, bergabung menjadi kebenaran yang ingin ia tumpahkan secara liar.      

Tubuhnya bergetar, adrenalinnya memuncak, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia benar-benar merasakan sesuatu yang luar biasa hari ini.      

Selama pelatihan panjang, ia belum pernah menjatuhkan guru gulatnya yang suka sekali memberinya ujian praktek berat penuh aturan.      

Ia bersukacita hari ini, lawan 'pestanya' memberinya percikan darah segar di tangan.     

Tekadnya bertambah bulat tiap kali ia temui pemberontakan, yang di tunjukkan sang lawan.     

Mata biru seperti api yang diguyur minyak. Berkobar-kobar, bersemangat, tertantang dan bersuka cita.     

"Jangan menangis," dengan suara datar tanpa beban atau pun rasa bersalah, pemuda bermata biru mengatakan kalimat tersebut, tiap kali lawannya merintih dan memohon agar dirinya menghentikan kebahagiaannya.      

"Aku akan memberimu lebih banyak uang, walaupun kau babak belur, kau bisa sembuh seperti sedia kala. Ah'.. aku punya banyak rahasia yang tidak di ketahui siapapun di sekolahan ini, kecuali perempuan yang kau buat menangis berhari-hari," ia mengucapkan kalimat ini sambil berjalan, memutari lawan 'pestanya' yang meringkuk dan tak bergerak.      

Dia mendekat pada tubuh yang terdiam. Kemudian ia menekuk kakinya sendiri, lalu mendorong tubuh yang meringkuk di hadapannya supaya dapat melihat wajahnya.     

Dia dorong tubuh lunglai tersebut, menggunakan kedua tangannya. Mencoba menilai, semenarik apa hasil latihan fisiknya yang berat tersebut.      

Ia sempat tersenyum ganjil, lalu mengeluarkan handphonenya. Membuat panggilan video untuk perempuan yang masih menangis sampai tidak mau masuk sekolah.      

Pemuda bermata biru melambaikan tangannya, tersenyum menyapa dengan riang, lalu memberitahu penerima panggilan yang berada di ujung sana. Bahwa gadis tersebut tidak perlu menangis lagi.      

Dia sudah membalaskan rasa sakit yang selama ini di keluhkan. Rasa sesak yang katanya bersemayam di dalam dada. Lalu pemuda tersebut menunjukkan hasil pestanya. Masih sambil tersenyum dan berbangga diri, bahwa dia akhirnya bisa memanfaatkan pelatihan-pelatihan berat yang selama ini ia lalui.      

Anehnya, handphone di ujung sana terjatuh, lalu mati. Tak bisa di hubungi lagi.     

Pemuda bermata biru sempat mengerutkan dahinya. Lantas mengabaikan komunikasi melalui handphone yang tidak mengenakkan tersebut. Ia lebih suka memandangi tubuh yang tidak bergerak di hadapannya.      

Ia tidak menghiraukan bahwa wajah yang tersaji di hadapannya, sudah berubah total. Lebam biru dan luka robek kecil lainnya ada di mana-mana, atau kemeja putih yang membungkus si tukang tidur di hadapannya, telah berlumur bercak-bercak merah yang lengket, pekat, cerah, dan nampak kontras.      

.     

.     

20 menit berikutnya terdengar suara berisik dari luar gedung kosong. .... ....      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.