Ciuman Pertama Aruna

III-235. Tertidur Pulas



III-235. Tertidur Pulas

0Matahari kota metropolitan beranjak meninggalkan Meridian tatkala lelaki dengan bulu mata coklat masih enggan membuka matanya.     
0

Samar-samar dia mengingat dengan jelas suara terakhir yang menyusup di gendang telinganya, "Leo.. apa yang kamu lakukan!" Dan kemudian dia tak ingat apa-apa lagi.     

Hal yang paling meresahkan dari segala keresahan ialah ia merasakan ada tangan halus, lembut, dan sedikit mungil. Menyusup di sela-sela rambutnya.     

Sejalan kemudian tangan tersebut meninggalkan kening, lalu belaian pada rambutnya lenyap. Dia yang terpejam mendengarkan sobekan kertas atau entahlah, dia tak mendengar apa pun lagi.     

***     

Di Lorong rumah sakit terlihat seorang perempuan berlari tergopoh-gopoh membawa tas punggung, larinya di ikuti lelaki bertubuh kekar beserta sekelompok orang dengan baju senada. Lari tersebut di tengarai mengejar pembaringan besi yang di dorong oleh para tenaga medis.     

Kakaknya terbaring di atas sana, sang kakak terkulai lemas, hilang kesadaran dan kesulitan bernafas. Sebuah jerat-an di leher yang masih  tampak bekasnya menjadi asal mufasal keadaan mengkhawatirkan tersebut.     

Tanda merah yang berasal dari jeratan tangan lelaki yang marah kesetanan, membuat seorang perempuan hampir merenggang nyawa.      

Diagnosa tahap awal perempuan di atas pembaringan besi, yang kini telah memasuki ruang ICU ialah diagnose gagal napas. Hal tersebut dapat menyebabkan penderitanya kehilangan kesadaran dan mengalami gangguan irama jantung atau aritmia. Bila tidak tertangani dengan tepat, kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan kerja berbagai organ tubuh (multi organ failure) dan berujung pada kematian.     

Anna sudah dalam tahap kehilangan kesadaran, bisa jadi jantungnya melambat,  nafasnya sangat lemah, detak nadinya timbul tenggelam. Leo, Raka serta beberapa orang yang berupaya memberinya pertolongan pertama belum mampu membuat perempuan tersebut bangun dari tidurnya.     

Leo, si resah, duduk terpaku di atas kursi besi yang memanjang pada Lorong rumah sakit dekat pintu pertolongan gawat darurat.     

Dia duduk membatu cukup lama, hingga Raka tergugah untuk menyerahkan sebotol air putih. Dia menyambut botol tersebut dengan mata sayu,  tangan Raka yang besar menepuk punggungnya.     

"Huuh" hembusan nafas Raka terdengar, belum ia akhirnya membuat pernyataan yang sejujurnya tak ingin dia ucapkan. "kamu tetap tahanan, Sudah saatnya diinterogasi Vian"     

Kemudian lelaki bertubuh kekar tersebut duduk di sebelah Leo, "aku akan menggantikanmu menjaga kakakmu di sini, Jika dia nanti bangun atau sesuatu terjadi padanya, kupastikan segera memberitahumu,"     

"Raka.." suaranya rendah, hampir tak terdengar. "Apa aku boleh membuat satu permintaan?"     

"asal kau tidak menghindari interogasi dan semua hal yang harusnya kalian berdua pertanggungjawabkan," ucap Raka menggerakkan anak matanya untuk melirik Leo.     

Gadis modis dengan style lebih mirip lelaki daripada perempuan tersebut memutar tubuhnya menatap lekat Raka, "boleh aku pinjam handphone?"     

"siapa yang akan kau hubungi?"     

"Madre.." ucap Leo, dan Raka mengangguk. Mengeluarkan handphonenya. Menyerahkan benda tersebut kepada Leo. Akan tetapi sekejap kemudian benda itu tertahan. Leo sudah memegang ujungnya, anehnya Raka tak melepas ujung yang lain.     

"kau yakin, Madre adottiva, em.." raka tak sanggup melanjutkan kata-katanya.     

"ibu kami lebih mengenal kami daripada siapa pun.. kakak aku sakit Raka, semua itu karena aku," dan Leo menundukkan wajahnya, menutup matanya dengan kedua telapak tangan.     

"apa dia tidak akan sedih, kecewa, melihat putri-putrinya, maksudku kalian dalam kondisi seperti ini"     

"dia yang lebih bisa menyelamatkan kami daripada siapa pun!," mendengar monolog terakhir dari leo, Raka berkenan melepas jeratan tangannya di ujung handphone miliknya.     

Tak lama perempuan itu membuat panggilan untuk Madre graziella, kalimat-kalimat dalam bahasa Itali diutarakan Leo sambil bercucuran air mata.     

Dan malam tersebut berakhir dengan Anna yang belum ada tanda-tanda keluar dari ICU, sedangkan Leo terpaksa kembali ke ruang interogasi di bawah gedung DJoyo rizt hotel.     

***     

Kini matahari sedang berangkat menuju malam. Cerah menjadi merah, merah menjadi ungu, dan ungu mengantarkan pada gelap.     

Tangan mungil perempuan masih sibuk mengelap kening yang ter basahi bulir-bulir keringat pada dahi mengerut di hadapannya.     

Sejak siang lelaki yang menyandang status suami belum menunjukkan tanda-tanda ingin terbangun, dokter sudah memeriksa secara saksama. Termasuk bekas hantaman membiru di bawah sudut kepala.     

Salah satu dari mereka yang memeriksa, mengatakan jika nanti malam suaminya belum juga terbangun. dokter keluarga tersebut menyarankan perempuan hamil ini lekas memberitahu. Untuk menjalani proses rontgen di bagian kepala.     

.     

.     

Tadi siang sebelum ia sampai di tempat ini, suara seseorang yang baru ia kenal menyapanya melalui pesawat telepon.  suara penuh bergetar,  memaksanya melepas tarian tangan di antara benang dan jarum panjang.     

Aruna meninggalkan rajutan couple sweater warna biru yang akan dihadiahkan pada laki-laki bermata biru. Sebuah cara supaya si biru lebih sering mengunjunginya, dan mengizinkannya kembali pulang dalam pelukan. Di rumah induk.     

Entah apa yang terjadi, kini rumah induk menjadi sesuatu yang berharga. Membuatnya terdorong untuk terus berada di rumah tersebut seberat apa pun keadaannya. Sebab dia lah nona yang akan meneruskan segala tradisi di rumah megah tersebut.     

Pulangnya Aruna ke rumah ayahnya menyadarkan perempuan hamil tersebut perihal pentingnya ia selalu berada di sisi suaminya. Ia ingin melihat segalanya, bukannya ditutup mata, dan sekedar melihat yang baik-baik saja.     

Selepas ia sampai di rumah sakit, Vian berdiri di depan pintu kamar rawat VIP yang biasa digunakan keluarga Djoyodiningrat ketika mengalami penurunan kesehatan.     

Sebelum kamar inap tersebut dibuka, Vian menyampaikan sebuah pesan dengan nada mendalam, "Saya minta maaf, suami Anda.." ada nafas panjang yang terambil, sebelum kembali dihembuskan pendek-pendek dan tersekat beberapa Kali, sebab pemberi berita memotong-motong kalimatnya. Tampaknya Vian mencari kalimat paling tepat di antara kejadian buruk yang sejujurnya tak memiliki narasi indah.     

"kursi.. eh. Benda tumpul besar, em.." Aruna menarik bibirnya lurus, tidak tersenyum tapi memberitahu bahwa dia baik-baik saja, hingga Vian seolah terdorong dalam ketenangan untuk menjelaskan kronologi yang asli.     

"jadi dia pingsan karena mendapatkan hantaman kursi?" Vian akhirnya mengangguk selepas ia menjabarkan kronologi kejadian.     

"lalu.. bagaimana dengan Anna?"     

"masih di ICU,"     

"Oh," Aruna melangkahkan kakinya. Ia pikir Vian akan menyingkir barang sesaat. Kenyataannya si mata sendu masih berdiri menghalangi Aruna.     

"Apakah ada lagi yang.."     

Kalimat Aruna belum lengkap, ketika ia akhirnya mendengarkan sebuah permohonan yang masuk akal: "sejujurnya kami sempat berencana tidak memberitahu anda,"     

"aku istrinya,"     

"iya kami tahu, itu sebabnya kami tetap memberi tahu anda, walaupun.. ketika tuan muda nanti bangun ia pasti tidak setuju dengan keputusan kami."     

"lalu? Ada lagi?"     

"beberapa dari kami akan berjaga di luar. Hal ini bukan tanpa alasan, aku yakin ketika tuan muda bangun. Dia pasti dengan mudah membaca situasi, kemudian mencari Anna kembali, anda tahu ketika pilihan itu yang dia jalankan artinya apa?" Belum sempat pikiran Aruna menemukan jawaban, "Dan hanya anda yang bisa menghentikannya," Vian memperteguh monolognya     

"jadi aku diizinkan tahu keadaan suamiku, sebab alasan ini?"     

Vian mengangguk kemudian menghilang,  memberi kesempatan perempuan hamil di hadapannya memasuki pintu, tempat Mahendra tertidur pulas.     

.     

.     

Selepas Aruna membasuh untuk ke sekian kali pelipis suaminya, mata tersebut mengerjap, lalu terbuka, tatapannya sempat kosong, sebelum akhirnya berusaha keras menoleh dan menautkan tatapan lekat kepada Aruna.     

Aruna buru-buru memencet tombol emergency. memberitahu bahwa dokter Martin harus segera menemui Mahendra yang terbangun.     

"sayang.." rasa hati Aruna luruh, ada air dingin yang mengguyur dadanya dan seketika rasa khawatir yang menghantuinya lenyap.     

"syukurlah, aku takut terjadi apa-apa padamu, lalu melupakanku.."     

Mahendra terlihat sempat menarik bibirnya, mata menyipit hingga terlukis senyum kecil.     

"tunggu, menurutmu ini dunia mimpi atau kenyataan?" Masih sempat dia mengoceh sambil meringis beberapa kali, lalu mengangkat salah satu tangannya -berkeinginan memegang punggung dan sisi di belakang kepalanya-     

"apa aku perlu menciummu supaya kamu sadar Ini bukan mimpi," sarkas sang perempuan.     

"boleh, lumayan buat mengembalikan isi kepalaku,"     

"memang isi kepalamu ke mana?" perempuan hamil tersebut bangkit dari duduknya, meraih tisu basah lalu mendekati wajah lelakinya.     

Ia membasuh wajah Mahendra yang penuh peluh, dan tisu basah menjadi cara Aruna membersihkan kening dan pelipis milik mata biru.     

Dia yang ditanya terkekeh sangat ringan sebab lagi-lagi kedua alisnya mengerut, "menurutmu ke mana Sayang?"     

"tetap di sini, di ruangan ini bersama aku dan baby," lalu lawan bicara Aruna terdiam. Sampai dokter Martin datang.     

***     

"Tetua. . . "     

"bawa aku menemui mereka!"     

"kadang, menurut saya.. pilihan anda tidak apik, apa lagi sejalan dengan pikiran saya,"     

Tidak ada jawaban sampai mobil itu meluncur dan hampir sampai tujuan, "dia sudah menetapkan target, cucuku bakal memburunya.. dan membuatnya tak bisa mengatakan 'ampun', lalu.. apakah aku layak berdiam diri di rumah??"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.