Ciuman Pertama Aruna

III-238. Kakak Gesang



III-238. Kakak Gesang

0"Karena dia akan menjalani kehidupan baru, jadi adikku.. mungkin.. kecuali dia tidak mau.." si lelaki bermata biru dengan santai melempar argumentasinya terhadap keadaan Juan.      
0

Sekilas, sebelum Juan sempat membuat persetujuan atau mungkin penolakan. Pintu terbuka, hingga empat pasang anak mata menoleh guna mengamati siapa yang datang.      

Dari balik pintu, seorang perempuan berperawakan kurus berlari. Belum lengkap langkahnya mendekati pasien yang tengah berbaring di atas ranjang, gadis tersebut sudah penuh dengan air mata.     

Hendra dan Aruna mengenalnya. Mereka pernah melihat opera dan makan malam bersama, dialah gadis bernama Syakila.      

Gadis ini ingin memeluk kekasihnya yang terbaring di atas ranjang, itulah isi otak Aruna. Isi kepala yang sangat bertolak belakang dengan Mahendra.     

Lelaki bermata biru memicingkan mata, tatkala si gadis yang duduk di dekat pembaringan Juan tengah meraba tangan pemuda dengan bibir pucat tersebut, dan tiada hentinya menangis.      

Bagi Hendra ini sangat menjengkelkan, lebih mengesalkan lagi tatkala Syakila terus-menerus menanyakan keadaan Juan yang jelas-jelas cukup parah.     

Dadanya memar sehingga mengganggu pernafasan. Dan luka lebam lain yang tanpa ditanyakan pun dapat dilihat oleh mata, kecuali si penanya orang buta.      

Mengapa isi kepala calon Daddy ini tergolong menggelikan, dengan pedulinya dia menyusun keantipatian terhadap Syakila. Bukankah Hendra tipe manusia yang tidak peduli dengan keadaan orang lain?. Entahlah.     

Bisa jadi karena Hendra bukan Aruna, si mungil yang kosong dan cenderung polos.     

Hendra melihat gadis ini berada di dekat dua orang pria berbeda. Pertama pada saat makan malam, itu yang diingat Mahendra. Lalu kedua di showroom perhiasan mewah.     

Hendra ingat betul, Gibran membelikannya perhiasan mewah. Bahkan saat keduanya berdansa layaknya angsa di danau yang tersorot cahaya rembulan -di ballroom pesta Tarantula-, perhiasan mewah yang sama persis dengan pilihan Aruna dikenakan gadis tersebut.     

Mana mungkin gadis ini bukan siapa-siapa Gibran?.     

Secara tersirat pesta Tarantula tersebut, merupakan bagian dari cara memperkenalkan tunangan CEO-nya. Yaitu Gibran dengan seorang gadis yang merupakan putri bungsu Baskoro, salah satu kolega Tarantula yang begitu kental.       

Lalu hari ini, gadis tersebut datang ke dalam ruangan ini dengan segala air matanya, tumpah ruah berderai-derai.      

Sampai-sampai mulut Hendra yang terkenal malas bicara, terdorong membuat pertanyaan Negasi atau lebih dikenal dengan Ingkaran, bagian dari logika berpikir sederhana. Sebuah pertanyaan dengan tujuan untuk mengecek kebenaran, dengan bertanya sesuatu yang menjadi pematahnya.      

"Apa kamu terlahir kembar?" Yup!. Akhirnya Hendra melontarkan pertanyaan demikian.     

Artinya, jika jawaban pertanyaan tersebut 'Iya' maka, kebenaran bahwa gadis ini dimiliki oleh dua orang pria adalah salah. Begitu juga sebaliknya.      

Syakila masih menghapus peluh yang tumpah di pipinya, sebelum berkata 'Tidak' yang diiringi gerak gegabah oleh beberapa orang di pintu kamar inap Juan tertangkap mata.     

Gibran, putra tetua Rio ada di sana. Ia sedang mengintip adiknya, dan nampak canggung bukan main. Lelaki tersebut berdiri kaku. Ia tak punya kesempatan masuk sebab ada Mahendra di dalam ruangan, beserta ajudan yang menunjukkan permusuhan lewat gerak-geriknya.     

Gibran juga membawa pengawal, walaupun tidak sebanyak biasanya. Hanya satu orang yang terlihat berdiri sangat dekat dengannya, dengan mata awas dan memamerkan senjata dibalik jas.      

Pria bermata hitam pekat tersebut, ditangkap Hendra berusaha datang dalam kedamaian dengan tidak membawa banyak pengawal resminya. Bisa jadi yang kini mengekori langkahnya adalah, ajudan kepercayaannya seperti Herry dengan dirinya.      

"Oh' Ada yang datang.. Silahkan masuk.." si polos bersuara ramah mempersilahkan tamu tak terduga tersebut.     

Detik berikutnya Aruna tertangkap bingung, ketika Herry dan Alvin yang berada di pintu terdapati menarik lengan salah satu tamu yang terlihat lebih mirip ajudan.     

Tarikan herry dan Alvin tertangkap ringan, tapi tidak dengan cengkraman tangan mereka.      

Mengetahui Gibran mengangguk ringan -mengiyakan ajudannya untuk diamankan. Hendra pun berdiri menggerakkan dagunya, tanda Jav yang di dalam harus keluar ruangan.     

Jav yang berdiri awas sempat menyatukan alisnya. Selepas gerakan kepala Mahendra yang kedua kalinya, barulah ajudan ini berkenan mundur dan keluar ruangan.     

Gibran mengunci pintu rawat inap tersebut. Tak lama kemudian nampak Juan alias Gesang, menarik tangannya dari dekapan Syakila.      

Gerakan lambat, canggung dan selalu berusaha awas disuguhkan oleh Gibran. Berbeda dengan Hendra yang tampak lebih santai. Sejenak ia melangkahkan kaki sebanyak dua langkah, demi menarik istrinya yang memasang senyum ramah pada musuh yang sesungguhnya.     

Aruna sempat mendapat rundukan kepala Gibran, sebagai timbal balik keramahan nona tersebut. Tanpa berpikir mendalam, Gibran jelas paham bahwa nona muda Djoyodiningrat tak memahami apapun terhadap kondisi pelik yang saat ini terjadi.      

Aruna bahkan bertanya dengan polosnya. "Juan, kau tidak ingin mengenalkan temanmu padaku?". Jujur saja, Aruna tampak terpesona dengan lelaki yang perawakan dan kontur wajahnya mirip Mahendra.      

Menurut Aruna, lelaki yang di hadapannya seolah  ialah Hendra dalam versi lokal. Rambut hitam legam, mata tajam dengan netra hitam pekat, alis tebal dan bentuknya mirip Mahendra. Yang paling menarik adalah, bulu matanya yang hitam panjang. Seolah bersaing antara milik mahendra, dan orang baru yang ada di hadapannya.      

Wajah Aruna tersenyum lebar, lebih lebar lagi ketika Juan mengatakan "Dia kakak saya, nona"      

"Oh benarkah??" suara terkejutnya yang sangat estetik, melengking dan terdapat wajah berbinar tulus membumbuinya.      

"Sepertinya saya harus memperkenalkan diri nona.. em.. nona Aruna" Gibran menyebut nama Aruna. Bisa dibayangkan betapa tersipunya si empunya nama, mengetahui dirinya dikenali oleh orang asing.      

Perempuan hamil ini hampir lupa hidup bersosial, karena terbelenggu suaminya sendiri. Tapi tiba-tiba saja pada saat ini, dirinya dikenal oleh orang asing yang mirip Mahendra.     

Anehnya Mahendra malah terkekeh, suara tawa khas sindiran yang menyebalkan. Aruna tahu itu, dia sering mendapati Hendra memasang tawa ini untuk membuat hinaan pada awal perkenalan mereka dulu.     

"Apa sih!" si istri berucap lirih, meminta suaminya lebih sopan.     

Sungguh menggelikan bagi Mahendra. Selepas semalam kedua keluarga mereka baku hantam hebat antar pengawalnya, dan hari ini putra sulung Rio datang dalam kecanggungan. Bahkan ia dengan hangatnya memperkenalkan diri pada perempuan Djoyodiningrat, yang setiap saat harus terkurung. Itu semua terjadi sebab mereka -Tarantula- terlalu bengis dan tak tahu diri.      

"Salam kenal, nona. Saya Gibran, kakak Gesang" dia yang bicara menjulurkan tangannya.     

Aruna mundur seketika, tak berani menyambut uluran tangan Gibran.     

Dia melirik suaminya dengan polos seolah bertanya, apakah aku boleh menyambut tangan lelaki bernama Gibran?.     

Sejujurnya, Aruna sedikit alergi dengan orang bernama Gibran. Hal tersebut karena mengingatkannya pada Rey, yang memperkenalkan diri atas nama Gibran.      

"Saat ini tidak sedang hari besar, dan kita tidak sedang maaf-maafan" ini sarkas yang sangat menggelikan. Menolak tangan Gibran, dengan ungkapan yang lebih rese dari siapapun.      

Aruna didekap suaminya, sesaat kemudian Gibran menarik kembali tangan yang sempat ia ulurkan sejalan dengan caranya menarik bibir simpul, lantas mengangguk sesaat. "Ee.. terima kasih sudah membantu Gesang, biar saya yang…"     

"Aku tidak akan pulang kak.." kalimat tersebut terpotong oleh adiknya.     

Yang terkejut bukan hanya Gibran, bahkan Syakila menampilkan ekspresi yang sama sembari mengerutkan wajahnya. Berbanding terbalik dengan Hendra yang tersenyum senang. Bukan ejekan melainkan sebuah tanda, bahwa dia suka Juan menggunakan otaknya daripada perasaannya.      

"Apa maksudmu?" Gibran bergerak cepat melangkah mendekati Gesang dengan ekspresi gusar.      

"Memang seharusnya aku tidak pernah pulang dari luar negeri. Aku sudah beruntung di sekolahkan oleh ayah, hingga menyandang status Bachelor Degree.." dia terkekeh janggal, menertawakan dirinya sendiri "..Tinggal menikmati hidupku setelah bertahun-tahun terpaksa disembunyikan. So.."      

"Bicara Apa kamu ini?!" Gibran seolah tak peduli dengan ucapan Gesang. Dia hampir saja berhasil menekan tombol panggilan untuk para perawat, dengan memencet bulatan merah di atas ranjang.     

Hendra menangkap tangan lelaki dengan postur serupa dirinya, dan Aruna hanya memandang dengan ekspresi bingung.     

"Juan, bukan anak kecil lagi!" ini, kalimat yang dilontarkan oleh Hendra.      

"Dia Gesang, dan tak memiliki panggilan lain" Gibran melepas genggaman tangan Hendra dari lengannya.      

"Tapi aku lebih suka di panggil Juan ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.