Ciuman Pertama Aruna

III-248. Pertunjukan Teaterku



III-248. Pertunjukan Teaterku

Aku sangat benci mendengarnya merintih, lalu memanggil-manggil Hadyan ku dengan sebutan Hendra.      

Rasa benciku kian membumbung tinggi, tatkala dia dengan berani menarik tasnya lalu menghantam wajah partnerku yang terlihat bodoh.      

Aku masih asik menonton adegan dua orang yang sedang bergulat hebat.      

Anehnya, partnerku tidak memiliki keberanian untuk melakukan tindakan yang lebih. Hingga akhirnya aku mendekatinya, terdengar deru nafasnya yang terengah dan aroma tubuhnya yang kian pekat menggoda indera penciumanku     

Aku sudah tidak tahan ketika melihatnya seolah sedang menantangku. Yang aku tahu, satu-satunya alasan semua orang menyukainya dan mengutamakan dirinya adalah, apa yang ada di dalam perutnya.      

Kemudian aku tertantang untuk menendang perutnya. Aku sempat mendengar rintihan kecil. Aku tahu, itu suara rintihan si pemilik aroma tubuh yang aku inginkan. Tapi itu bukan rintihan ketakutan, ataupun kesedihan. Suara itu memiliki emosi tersendiri.     

Aku benci sekali melihat keberanian yang ia bumbungkan dari rintihannya.     

Untuk itu aku semakin terpacu supaya mengganti rintihan keberanian tersebut menjadi rintihan ketakutan.     

Anehnya, dia masih kuat dan percaya diri. Dia memeluk lututnya erat-erat dan membuat tubuhnya yang sudah jatuh tak berdaya tersebut, menjadi seperti lingkaran bola. Dia meringkuk.     

Perempuan itu terus berusaha melindungi perutnya. Sungguh, sangat menyebalkan.     

Ketika aku menekuk kaki dan ingin berbisik di telinganya supaya berhenti menantangku. Ku lihat sorot mata yang sangat tajam dalam kegelapan. Bahkan aroma tubuhnya yang sangat aku inginkan, masih menguar menyapaku. Aroma yang seharusnya sudah menjadi milikku satu-satunya.      

Untuk itu aku berniat mengubah aroma tubuhnya yang khas. Menjadikannya berbau amis, sangat bau hingga semua orang membencinya dan jijik padanya.      

Aku memulai semua ide liarku. Aku meraih benda yang bisa membuat tubuhnya mengeluarkan cairan berwarna merah. Dan ketika tubuh itu terluka mengeluarkan bau amis, aku sangat senang bukan main.     

Aku tertawa bahagia. Ini sangat mengesankan. Dia benar-benar terlihat menyedihkan.     

Kini yang tersisa setelah aku berhasil menancapkan sesuatu pada punggungnya, hanyalah cairan merah segar dengan bau amis yang menghapus aroma tubuhnya.     

Sayang sekali, sebelum aku benar-benar membuatnya kehilangan nafas terdengar dentuman keras. Pintu masuk ruangan tempatku 'berpesta' mendapatkan benturan hebat.     

Tapi aku tidak takut. Sudah aku bilang -kan? aku punya banyak plan untuk pertunjukan teaterku. Sedetail itu pula aku tahu cara keluar dari tempat tersebut dengan aman tanpa menimbulkan kecurigaan.      

Ketika aku kembali dari pertunjukan. Para penghuni ruangan meeting Djoyo Makmur Group, menduga bahwa aku sekedar pergi ke kamar mandi. Aku berbicara dengan mereka dengan nada seperti biasa. Tanpa canggung atau pun debaran di dada, serta senyum ringan tak bersalah menghiasi wajahku.      

Huuhh… aku tidak akan menyerah. Akan ku ulangi terus-menerus hingga dia benar-benar kehilangan aroma tubuhnya.      

Selepas kejadian itu, aku melihatnya punya rintihan rasa takut yang aku inginkan. Akhirnya, goals pertamaku tercapai. Satu persatu kugapai.      

Maka dari itu, untuk apa aku merasa bersalah? Aku hanya ingin menghilangkan aromanya. Kalau memang dia merasa tersiksa, sebaiknya dia pergi saja! Bukankah, ini sederhana?      

Tempat yang ia huni adalah punyaku. Satu-satunya milikku yang masih tersisa dalam perjalanan hidupku. Dia yang terlalu beruntung, harusnya dia berbagi denganku.      

***     

"Aku ingin kembali ke kamar Gesang dulu" Gibran memundurkan satu langkah kakinya. Tangannya yang panjang meraih lengan Syakila, kemudian menarik perempuan tersebut supaya mengurungkan niat untuk berjumpa dengan Gesang.      

"Kenapa? Ada apa kak?" tanya Syakila heran dengan tindakan Gibran.     

"Aku tidak mau membuatmu terluka, kalau kamu kembali ke tempat Gesang.." ada nafas yang berhembus "Orang-orang yang berjaga di depan pintu kamarnya, pasti akan mencegahmu"     

"Kenapa seperti itu kak?" Jemari tangan Gibran masih menapaki kulit lengan Syakila, ketika gadis kurus tersebut mengangkat wajahnya menangkap netra lelaki di hadapannya.     

"Karena dia menginginkannya.."      

"Aku tidak percaya!" si gadis kurus coba menyangkal ucapan Gibran.     

"Syakila, cobalah percaya padaku kali ini!" suara Gibran, sejalan dengan sorot matanya yang menatap lekat gadis bertubuh kurus.     

"Aku tidak percaya jika Gesang menolakku yang ingin menemuinya! Kakak pasti bohong!" Jawab Syakila dengan percaya diri.     

"Ayolah Syakila.. ini kenyataan!. Kenapa kamu tidak pernah mendengarkanku sekali saja? Pernahkah aku berbohong??.." aura kesal Gibran tak dapat terhindarkan lagi, "Keluarga lain yang Gesang pilih," sempat tertahan, ".. Djoyo Makmur Group.. apa kau tahu siapa mereka?"      

Tubuh gadis yang awalnya berhasrat ingin pergi, kini perlahan-lahan bergeser dan menghadap pria tinggi yang berdiri di dekatnya. Bersama background kaca membentang yang menawarkan kesibukan di bawah sana. Syakila, pada akhirnya mau mendengarkan kalimat penjelasan dari tunangannya.     

Djoyo Makmur Group bukan sesuatu yang asing di telinga Syakila.     

"Orang tua kita, papamu (Baskoro) dan ayahku (Rio), menikahkan kita demi satu tujuan, mereka menginginkan perusahaan bisa menyetarakan kebesaran Djoyo Makmur Group" suara Gibran memberi pemahaman terkait sesuatu yang harus di mengerti Syakila.     

Mereka berdua sempat terpaku, hingga si gadis kurus menyemburatkan warna merah di matanya "Aku pernah mendengarnya, tapi aku tidak pernah menyangka.." terdengar helaan nafas pelan "Jadi, apakah dulu Gesang menghilang dan kakak tidak bisa berbuat apa-apa, sebab kakak tahu dia pergi ke keluarga lain. Dan mereka, adalah orang sama dengan hari ini?!"      

Gibran mengangguk "Dulu dia beralasan menjadi mata-mata. Walaupun dia sering memberiku informasi, tapi kenyataannya adalah.. dia bersembunyi dikeluarga Djoyodiningrat dari ayah kami. Harusnya dia tidak pernah diizinkan pulang ke Indonesia"      

"Gesang pulang karena aku memintanya" gadis kurus tersebut tak kuasa lagi menahan bendungan air di kelopak matanya. Dia menangis. Menyadari kehidupan lelaki yang dicintainya terlalu pelik. Sama seperti hidupnya yang selalu diatur oleh keluarganya.     

Sesaat kemudian, dia menatap jendela yang membentang. Seolah mengabaikan keberadaan Gesang.      

"Jangan coba berpikir macam-macam?!" mata gadis yang ada di hadapan Gibran menerawang kosong "Syakila, kau memikirkan apa?!"      

"Aku hanya muak pada hidupku!!" lalu dia berjalan mendekati kaca dan mulai memukul-mukul benda bening tersebut. Sangat menyiksa bagi yang melihatnya. Gadis itu bukan hanya terlihat kurus kering. Dia adalah wujud boneka keluarga yang nyata.     

Gibran berjalan mendekatinya. Dia memberi pelukan. Bentuk dukungan untuk gadis tersebut, supaya berhenti mempertontonkan rasa frustrasinya.      

Tangisan yang keluar dari si gadis kurus terdengar menyedihkan. Sangat menyiksa untuk tiap mata yang melihatnya, terlebih Gibran.      

"Sudah cukup!" Pria tersebut menangkap dua tangan Shakila dengan sekali rengkuhan.      

***     

"Anda.." Dua orang yang duduk berhadap-hadapan tanpa sengaja bicara serempak.      

"Silahkan nona duluan" Thomas memelankan intonasinya untuk nona muda.     

"Oh' tidak masalah, jika kamu ingin bicara lebih dulu" Aruna tak kalah sopan mempersilahkan tamunya.     

"Em.. saya.." Thomas mulai menaikkan pandangannya. Dia mengamati perempuan hamil yang duduk di hadapannya. Tampak seorang asisten rumah tangga yang terlihat berdiri di belakang nona tersebut.     

Belum juga dimulai percakapan, asisten rumah tangga lain datang. Teh hangat dan beberapa camilan diletakkan di atas meja yang menjadi pembatas keduanya.     

Biskuit-biskuit kecil berwarna coklat gelap tersusun rapi di atas piring putih yang bentuknya mirip daun teratai.     

Selepas sekelompok asisten yang menyediakan camilan untuk mereka pergi, Thomas mulai menyusun kalimatnya "Dari mana anda tahu, saya? Em.. maksud saya dari mana anda tahu kita punya.. masalah yang sama?" suaranya terdengar canggung, akan tetapi wajahnya mengesankan ketenang.     

"Oh' saat itu seperti keberuntungan bagiku.." bau harum daun teh yang terendam air hangat terbang memenuhi ruangan, "Aku yang sedang kacau di dalam kamar mandi, bertemu dengan gadis baik yang berkenan memberiku bantuan. Namanya Kihrani.." ada senyum yang tersuguh di bibir Thoms, "Gadis tersebut seolah mengenalku, karena dia terus mengamatiku.."     

"Kihrani, memang tidak punya kemampuan mengendalikan ekspresinya" suara Thoms lirih, menyela monolog lawan bicaranya.     

Aruna -pun mengangguk ringan, detik berikutnya ia melanjutkan cerita pertemuan yang mengesankan antara dirinya dan gadis bernama Kihrani.      

Termasuk datang ke rumah gadis tersebut, lalu mengamati beberapa benda milik Thoms yang tertinggal di sana.      

"Keluarga sederhana itu banyak merubah sudut pandangku tentang kehidupan. Kalau bukan karena mereka mungkin aku tak pernah menyerahkan diri, atau bertanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahanku" Thomas berkata dengan nada mendalam.      

"Nona, seperti yang saya ucapkan. Saya punya banyak kesalahan, terlebih kepada anda. Jika dulu anda termasuk saksi sidang perceraian anda pernah dikejar-kejar para pemburu berita, maka akulah pelakunya. Aku pula yang membuat sidang perceraian Anda ditangguhkan,"     

"Kamu salah.. ...      

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak penasaran. So, tambahkan ke daftar pustaka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.