Ciuman Pertama Aruna

III-241. Sehelai Benang (Menikah+)



III-241. Sehelai Benang (Menikah+)

0Jadi mengapa Hendra terus saja menatap pintu yang dijaga Raka?      
0

"Hen.. ayo.. baby lapar.." Aruna menarik tangan suaminya. Lelaki bermata biru hampir mengabaikan permintaan istrinya.     

akan tetapi setelah Aruna mencoba menarik baju Hendra untuk kedua kali. Lelaki tersebut akhirnya sadar. Dan Mata biru  menyambut permintaan istrinya, berjalan merengkuh Aruna meninggalkan pintu yang sempat ia tatap lekat.     

Sepanjang perjalanan Hendra terdiam. Tapi tidak dengan isi kepala Aruna. Jika pintu itu dijaga oleh ajudan Mahendra maka di dalamnya terdapat seseorang yang perlu untuk diamankan.     

Satu-satunya yang perlu diamankan selain Mahendra. Tentu saja Nana.     

Walaupun berupaya di tepis, tetap saja Aruna menaruh curiga. tentu, isi kepala Aruna melayang ke mana-mana. Sembari menyuapi suaminya yang manja. Perempuan ini tak henti-hentinya mencari cara agar Mahendra tidak berbuat Di Luar batas.     

.     

.     

"kamu ingin mandi?" dia yang ditanya mengangguk.     

"bantu aku melepas bajuku" mata biru membuat permintaan. Buah-buah kancing yang dilepas sesaat berikutnya mendadak dicengkeram erat.     

"ada apa?" tangan Aruna belum mau pergi dari kemeja Mahendra.     

"aku bisa melakukannya sendiri, ibu hamil tidak boleh capek" Kilah Mahendra, menarik bibirnya, menawarkan lesung pipi lalu mengintip mata istrinya dari bawah. wajah sang perempuan yang kini berdiri di hadapan Hendra yang sedang duduk di ranjang merah seketika.     

"capek? Kau mengigau, aku tidak ngapa-ngapain sejak tadi," kembali Aruna membuka kancing baju tapi tangannya ditangkap oleh Mahendra.     

"Kenapa kamu bersikeras? Apa sudah kangen mandi bersamaku?" lalu pria itu terkekeh, berdiri dari duduknya kemudian buru-buru melangkah menuju kamar mandi. Layaknya anak kecil yang sedang permainan petak umpet Mahendra bersembunyi di dalam kamar mandi ruang rawat inap.     

Bukannya dia ingin menolak bantuan istrinya ataupun menyembunyikan dirinya, suami Aruna hanya menyembunyikan luka yang ada di balik punggungnya. laki-laki tersebut akhirnya melepas kemeja di tubuhnya sebelum mencoba membersihkan dirinya sendiri sambil memeriksa warna ungu yang ada di punggung. Dan gagal.     

***     

"tetua.. perkenalkan, ini kakak saya.." juan menggerakkan kakinya, menyenggol punggung Gibran yang duduk di ujung ranjang.     

"juan kau!" mata hitam pekat itu membuka lebar. menatap tajam Juan. mungkin karena grogi Gibran ikut-ikutan memanggil adiknya dengan nama Juan.     

"bagus, kakakmu datang menjengukmu," kursi roda otomatis Wiryo bergerak mendekat.     

Mau tidak mau Gibran membalik tubuhnya, ia menunduk tanda hormat. Sayangnya mulut masih belum mau bergerak dan mata belum bisa menatap raut wajah Wiryo secara sempurna.     

"tapi saya tetap di sini, pasti boleh -kan tetua," ada senyum yang disuguhkan Wiryo kala Juan menjelma menjadi anak kecil yang merengek ingin tetap tinggal bersama kakeknya.     

"Oh, Terima kasih," walaupun sekedar senyuman. layaknya cenayang Juan memprediksi isi kepala Wiryo secara percaya diri.     

Seperti Kebanyakan orang tua, Wiryo hafal dengan gerak-gerik seseorang, pengalaman dan banyaknya asam garam menghadapi orang lain menjadikan orang-orang yang lebih tua bisa memahami hati seseorang yang lebih muda.     

"baiklah.." sepertinya Gibran masih belum berani menyapa, bahkan ketika Wiryo mulai melontarkan tanda-tanda ingin mengundurkan diri.  "karena waktuku tidak banyak dan harus mengunjungi yang lain aku pamit lebih dahulu,"     

Juan mengangguk, "lekas sembuh!" kemudian lelaki paruh baya tersebut mencoba menggerakkan kursi rodanya, dia membuat putaran sehingga tubuhnya memunggungi Gibran dan Juan.     

"dan kamu, yang tak berani menatapku, salam untuk ayah serta nenekmu," ucapan ini diaturkan Wiryo sesaat sebelum ia meninggalkan kehampaan di ruang rawat inap bungsu Diningrat.     

Kepergian tetua Wiryo membawa hawa panas yang lain. Gibran dan Gesang, kedua adik-kakak tersebut berdebat hebat.     

***     

Malam semakin gelap, Aruna menyalakan lampu tidur temaram, dan matikan lampu utama. Sengaja supaya suaminya lebih nyaman. Pilihan Aruna mendorong kesunyianK Kian kental hadir di ruang rawat inap suaminya.     

Nyanyian kesunyian membuatnya mendengarkan suara sekecil apapun, termasuk langkah, ada langkah cepat ke arah menjauhi ranjang.     

Aruna dengan  sisa-sisa kesadarannya, sebab tertelan rasa mengantuk. berusaha memacu matanya supaya lekas terbuka.     

"Hendra mau kemana?" seperti melihat seseorang yang ingin melakukan pencurian, Aruna buru-buru bangkit lalu segera menuruni ranjang.     

Perempuan ini bukan berlari untuk mencegah suaminya pergi, dia memilih menggeser tubuhnya untuk meraih remote yang biasa di gunakan untuk menyalakan lampu utama.     

"cuma mau jalan-jalan keluar sebentar," Mahendra tertangkap basah. Inilah persepsi yang ada) di kepala Aruna.     

"kalau begitu aku ikut," desak perempuan ini mendekati berdirinya lelaki bermata biru.     

"aku cuma ingin jalan-jalan,"     

"Aku juga ingin,"     

"hanya sebentar.." ketika Mahendra mengeluarkan tangan dari dalam sakunya tanpa sengaja ada kain yang terjatuh.     

Kain yang jatuh itu adalah  dasi yang biasa dikenakan melengkapi kemeja kerjanya. Aruna bergerak dan ingin memungutnya. Mahendra tidak bisa membiarkan hal tersebut terjadi, tangkas ia meraih benda di lantai tersebut Lalu segera meringkusnya kembali masuk di dalam saku celananya.     

"Aku tidak akan keluar, aku istirahat saja," entah bagaimana pria yang tadinya berkeras hati ingin keluar dari ruang rawat inapnya, kini kembali mendekati ranjangnya dan terbaring.     

Aruna mengikuti suaminya. dari arah berbeda dia mencoba untuk membaringkan tubuhnya.     

secara perlahan dia mengusung gerakan hati-hati.  perempuan hamil tersebut memeluk dada suaminya.     

"hebat tidak selamanya identik dengan kuat," ia menarik salah satu lengan kokoh suaminya lalu meletakkan kepala di lengan Mahendra. Wajah perempuan tersebut miring  dan diangkat tertuju  Mahendra, jemari jemarinya menyentuh dagu suaminya, berupaya untuk membimbing arah wajah suaminya supaya menghadap ke arahnya dan menangkap matanya.     

Mahendra menarik bibirnya, hanya sekejap. Pernyataan Aruna bukan kalimat sederhana dia tahu istrinya sedang menasihatinya dengan caranya, lembut tanpa penghakiman.     

Setelah merasa posisinya lebih nyaman, perempuan hamil sekali lagi merajut tutur berikutnya, "si kuat bisa jadi seseorang yang punya kesabaran tak terbatas, bisa jadi pula yang mampu merelakan keinginan menggebu-gebu dihatinya demi kebaikan, atau tetap tabah ketika cobaan datang. Tetap bersyukur walaupun dalam kekurangan," kini Mahendra benar-benar menatap wajah istrinya, perkataan Aruna layaknya deretan simbol, "Apakah ucapanku salah?" Aruna bertanya. Dan laki-laki yang menjadi lawan bicaranya menggelengkan kepala.     

_apa dia tahu?_     

Lalu perempuan itu mengangkat sedikit tubuhnya, dan memberi lelakinya kecupan hangat di bibir. Telisik di kepala Mahendra buyar seketika.     

"Hemmm.." seperti di sulut sesuatu yang ia tahan-tahan, Mahendra terdapati amat menikmatinya.     

Tak butuh waktu lama, ketika pria itu pada akhirnya tak mau melepas bibir istrinya. Giliran terlepas dia sudah memainkan tangan untuk melepas baju sisi muka dada istrinya.     

Mahendra membalik tubuhnya, hingga perempuan hamil jatuh di bawah kekuasaannya. Ia semakin lincah memainkan tangan melepas kain yang membalut tubuh istrinya.     

Lalu menangkap salah satu buah untuk dimasukkan ke dalam mulutnya, sebelum akhirnya ia kembali memberikan ciuman di bibir, turun ke leher, melumat telinga.     

Lalu lagi-lagi ia turun untuk memuja dua buah benda yang semakin lama semakin padat berisi. Tubuh istrinya kian menarik dengan perutnya yang menggemaskan.     

Mahendra bangkit sejenak, masih bertumpu dengan kedua lututnya. Lelaki bermata biru mencoba melepas baju yang menyelimuti dirinya. saat istrinya sudah mencapai titik kegelisahan.     

Mahendra mencengkeram pegangan besi yang ditawarkan kepala ranjang. Dan kala merasa tubuh istrinya siap, ia mulai membenamkan miliknya, "Huuuuh.."     

Suara desahan dari nafas  berat Mahendra terdengar lebih sering daripada Aruna. Terlihat sekali bahwa ia benar-benar merindukan bergumul dengan sang istri.     

Ranjang rumah sakit berdecit, laksana bangunan diterpa badai ekstase yang diciptakan lelaki bermata biru.     

Tidak ada yang sempat memperhatikan perputaran jarum jam, si pemuja yang mencari kenikmatan masih enggan melepas pandangan mata. Arah mata Mahendra tak juga berpindah,  menikmati raut wajah istrinya yang memerah. Hingga ke seluruh tubuh, Aruna memancarkan ranum kemerahan.     

Wangi harum melayang di udara, seiring Mahendra mendekati leher perempuannya yang hobi  ia menggigit. Akan tetapi kali ini ia lebih banyak menggigit bibirnya sendiri. Demi meredam lompatan-lompatan imajinasinya. Saat semuanya kian sulit di kendalikan Hendra akan meminta istrinya mendekapnya lebih erat.     

Malam ini, ada yang enggan mengalah pada waktu. Sayang sekali perempuan di bawahnya sudah menyuguhkan tubuh lunglai oleh perbuatannya. Mahendra pun memaksa bagian tubuhnya keluar dari   rasa nyaman di bawah sana.     

Masih bercucuran keringat, dan nafas naik turun, ia menjatuhkan tubuhnya di samping sang istri. Lalu memiringkan tubuhnya sendiri demi memeluk perempuan yang memberinya kenikmatan.     

"i love u.." bisiknya kepada perempuan yang telah  hilang ditelan rasa letih. Menarik selimut dengan tujuan menutupi tubuh yang tersaji tanpa sehelai benang, lelaki bermata biru mengubur wajahnya di sisi belakang tengkuk leher istrinya. Meraba perut buncit sambil membisikkan kata-kata permintaan, "tidur yang nyenyak hartaku,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.