Ciuman Pertama Aruna

III-242. Jagat Raya Terhenti



III-242. Jagat Raya Terhenti

0Selepas ia memastikan istrinya terlelap dalam kelelahan. Panca indera lelaki bermata biru terasa kian menajam. Itulah yang tengah dia rasakan, bersama dengan gemuruh di dalam dadanya.     
0

Ia menuruni ranjang, sejalan kemudian meraih baju yang jatuh berserakan. Sambil mengenakan celana ia mulai berfikir, di mana letak kain memanjang (dasi) yang sempat disembunyikan dari istrinya.      

Tak butuh waktu lama Mahendra mengaitkan kancing-kancing bajunya. Lalu pembungkus tubuh berwarna hitam memanjang ia lengkapkan pada tubuhnya yang tinggi tegap.     

Bersama bimbingan kabut asap yang begitu ringan memenuhi kepalanya, Mahendra mengeluarkan seutas kain memanjang. Penuh hasrat mata biru mengamati benda tersebut sekian detik, tak lama kemudian ia gulungkan pada keempat jari tangannya yang merapat, dilingkarkan oleh telapak tangan yang lain.     

Sambil menggenggam seutas kain yang telah tergulung memenuhi telapak tangannya, pria tersebut memasukkan tangan yang terbalut ke dalam saku bajunya. Ia sempat membuka pintu almari sejenak, si lelaki bermata biru ternyata meraih topi untuk membenamkan wajahnya.      

Ia membuka pintu kamar rawat inap perlahan-lahan, sangat pelan supaya ajudan yang berjaga di depan lorong, tak mendapati dirinya yang ingin keluar ruangan.     

Lelaki bermata biru bergerak lambat melewati Herry yang tertidur pulas. Ada rasa bahagia membuncah di dalam dada, ketika ia berhasil melewati ajudan kesayangannya.     

Ia yang berjalan dalam keheningan menarik topi untuk membenamkan wajahnya.     

Rumah sakit yang ramai 24 jam tersebut, mampu terlewati dengan mudah. lalu pria tersebut bergerak turun satu lantai guna mendapatkan pintu kamar yang saat ini ingin sekali ia dobrak.     

Tatkala ia sampai pada lorong yang menyajikan salah satu pintu, dari tujuan langkahnya. Mahendra merasa jagat raya berputar lebih cepat.     

 _Kesunyian ini menyenangkan_ demikian ia nikmati bisikan-bisikan yang memacu adrenalinnya. Tak ada rasa takut sedikitpun, Mahendra menikmati setiap langkah kakinya.     

Pantulan cahaya rembulan yang menyisip di antara kaca-kaca membentang di sisi kanannya, bak lampu sorot. Ia merasa seperti pemain opera di atas panggung pentas, yang setiap adegannya disoroti oleh lampu spesial. Detak jantungnya kian cepat, menjelma bak tepuk tangan penonton yang menderu-deru.     

Ia berdiri sejenak di depan pintu. Sorak-sorai redam degupan jantungnya, hadir bersama kemudahan dirinya sampai di depan ruang ini.     

Pintu ini tidak terjaga. Entah kemana pria bertubuh atletis yang seharusnya lebih banyak duduk di bangku besi, dekat pintu.     

Mungkin dirinya tengah mendapatkan bonus.     

Mahendra kian fokus pada lengkungan handle pintu berwarna perak. Nampak nyaman untuk dipegang, dan tanpa jeda kabut asap memintanya segera mendekap. Bergerak cepat meraih benda tersebut.     

Mahendra menurutinya, mendekap erat dengan senyum menyeringai. Ia berhasil memutar handle pintu tersebut. Sangat mudah.     

Sungguh senang bukan main. Tubuhnya telah sampai di tempat yang benar-benar ia inginkan sejak siang tadi.      

Kulit diantara kedua alisnya sempat mengerut. Ruangan yang saat ini ia masuki gelap gulita. Langkah kakinya dipacu kian cepat. Ia harus secepatnya mendekati ranjang yang menyajikan warna hitam rendam di hadapannya.      

Semakin ia dekat, barulah ia menyadari kesialan yang menimpanya.     

Ia bergerak, menggeser kakinya. Meraba nakas yang pada lacinya sering menyimpan remote pengendali TV, AC, termasuk nyala lampu.     

Tepat saat ia menekan tombol perintah untuk menyalakan lampu. Kabut itu menghilang. Pikirannya menjadi rumit, tatkala melihat ranjang di hadapannya kosong.     

Lama ia larut dalam pikirannya hingga teriakan yang memekik di belakang tubuhnya, terdengar sangat tidak asing menyapa indera pendengarnya. Ia membalik tubuhnya seketika.     

Seorang perempuan memegangi dada, luruh jatuh di lantai.      

Hendra terpatri. Membeku. Dan separuh nafasnya tiba-tiba lenyap. Dadanya terasa sesak melihat siapa yang datang dan menangisi perbuatannya.      

Perempuan berbalut rajutan merah tak sanggup berdiri. Telapak tangan kirinya menopang tubuhnya dengan memegang lantai dingin. Tangan kanannya menutup mulutnya, yang terus meronta-ronta ingin mengeluarkan lolongan berupa tangisan mendalam. Menyesakkan dada.     

Si lelaki bermata biru yang berdiri membeku tahu, perempuan itu menangisi dirinya yang kalah oleh kabut pengecut. Bisikan-bisikan yang tiba-tiba saja lenyap, saat adegan Opera yang ingin ia capai klimaksnya gagal total.      

"Aku sudah tidak sanggup berdiri. Kemarilah.. peluklah aku" si rajut merah melempar sabda, yang membuat tubuhnya tak bisa lagi dikendalikan.     

Ia berlari menyambut tangan terbuka yang disuguhkan si rajut merah. Bersama sorot mata coklat yang ia kenali.     

Lelaki bermata biru ikut membenamkan diri di lantai dingin. Ia rengkuh pelukan perempuan mungil, yang secara lembut menggosok-gosok punggungnya -setelah ia gapai tubuh itu-.      

Tak lama, tangan mungil itu bergerak naik menyusup ke sela-sela rambut, bersama suara lembut yang menenangkan. "Berhentilah! Kalahkan keinginanmu demi aku.."     

Hening, lelaki bermata biru tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.     

"Apa kau mengerti?, Aku akan lebih tersiksa jika kamu seperti ini?!" si rajut merah mendorong tubuh pria yang ukurannya dua kali lipat lebih besar.      

Ia menggerakkan jemari-jemari lembutnya menuju pipi pria tersebut. Menangkup wajah rupawan yang akan menjadi calon Daddy.     

Air mata yang tumpah ruah membanjiri pipi si rajut merah, memicu detak jantung yang berdegup lebih kuat dan hebat dibanding sebelumnya.     

"Aku dan baby akan meninggalkanmu, jika kamu sampai kalah, apalagi menyerah melawan dirimu sendiri. Seperti malam ini"      

Jagat raya Mahendra terhenti seketika.     

***     

Tubuh yang terbaring itu, kini sudah menemui kesadarannya. Ia yang baru terbangun dari tidurnya, dibimbing untuk menemui beberapa orang sekaligus.      

Salah satunya ialah, pria paruh baya yang duduk di atas kursi roda. Lalu perempuan berjas putih menjulur hingga bawah pinggul.     

Si perempuan berjas putih menyeringai lebih hangat daripada siapapun di dalam ruangan tersebut. Sorot matanya terlihat sangat manusiawi, dibanding tatapan-tatapan mata lain yang cenderung mengintimidasi.      

Lalu si perempuan yang baru bangun dari tidurnya, menatap pria berkacamata. Ia beberapa kali nampak membisikkan kalimat yang terlihat mujarab di dekat daun telinga lelaki paruh baya.     

Bagaimana tidak mujarab?, si paruh baya yang memiliki kekuasaan berlebih tersebut nampak mangut-mangut dibuatnya.     

Sesaat ia menoleh, dan lelaki bertubuh atletis mengundurkan diri dan keluar dari ruangan. Tak lama kemudian, disusul oleh pria berkulit lebih gelap dengan brewok yang belum tercukur sempurna.      

Si brewok yang biasanya mendorong kursi roda lelaki paruh baya.      

Ruangan ini pada akhirnya menyisakan tiga orang saja. Tiga orang seolah sedang menunggu orang lain. Mereka nampak duduk santai di seputaran perempuan yang saat ini mengenakan seragam pasien rumah sakit.      

Lagi-lagi pria berkacamata nampak membisikkan sesuatu, lantas membuka laptopnya kemudian menancapkan hardisk eksternal.     

Ia membimbing yang lainnya mendekati meja yang terdapat di salah satu sisi ruangan. Pria itu layaknya pemilik film best seller, yang sedang memaparkan kehebatan trailer film kepada dua orang berambut campuran Hitam dan putih.      

Para pemilik rambut campuran Hitam putih, tentu saja si pria paruh baya yang berada di atas kursi roda dan perempuan berjas putih.      

Sedangkan perempuan berseragam pasien rumah sakit yang duduk di atas kursi nyaman, empuk dan memiliki sandaran terbuka condong 30 derajat -sehingga tampak menawarkan pembaringan nyaman-, meletakkan kepalanya di atas kursi tersebut karena merasa diabaikan.     

Kakinya bergerak-gerak -tanda dia merasa tidak nyaman-, begitu juga dengan jemarinya. "Opa Wiryo, kenapa saya harus di sini?"      

Deg     

Wanita berjas, lelaki berkacamata dan tentu saja pria di atas kursi roda, sontak memutar kepala mereka dengan kecepatan tinggi dan menyajikan wajah nanap.     

"Nyamankan dirimu dulu Nana. Kamu juga boleh tidur" kursi roda bergerak mendekat secara otomatis. Setelah kian dekat, tangan keriput itu bergerak menyentuh ubun-ubun perempuan lalu mengusapnya perlahan.      

"Apa kau ingat, kau punya adik dan Madre? Leona dan madam Graziella sedang menuju kemari, tunggulah sejenak.." usapan di rambut tersebut terus berlanjut, hingga mata perempuan berseragam pasien memejam "Kalau kamu tidak mau menunggu.. tidurlah saja".     

Lalu kesadarannya menghilang. Perempuan berseragam pasien terlelap, terbang melayang terbawa semakin larut dan dalam. Menyelami kenangan-kenangannya.      

.     

.     

Sungguh aku tidak mengerti mengapa kalian menganggapku aneh atau gila. Seorang perempuan merajut monolog dalam mata terpejam.      

Jujur ketika kalian mengatakan Aku Sakit, penyakitku ini tak melumpuhkan apapun. Ia malah menajamkan panca indera ku.     

Pendengaranku kian tajam, mataku juga semakin jeli, bahkan aroma parfum tiap orang bisa aku rasakan.      

Orang normal tidak akan sehebat diriku, tunggu, bukan aku yang tidak normal. Kalianlah yang terlalu standar …. ….. ….      

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak penasaran. So, tambahkan ke daftar pustaka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.