Ciuman Pertama Aruna

III-245. Dewi Keberuntungan



III-245. Dewi Keberuntungan

0Rombongan itu telah sampai. Demikian yang isu yang lekas menyebar di kalangan asisten rumah induk. Istri dan tuan muda Djoyodiningrat baru datang menuruni mobil mereka. Sebelum sampai di rumah megah tersebut sang tuan muda memesan makanan terbaik untuk istrinya. Dan memintanya disajikan secara sempurna di meja makan.     
0

Sudah beberapa hari keluarga ini tak lagi makan bersama, tidak ada alasan berarti, semuanya karena kepergian nona muda. Kepergian perempuan bernama aruna Aruna tak ubahnya simbol titik awal segala Malapetaka.      

Dan hari ini sang Dewi keberuntungan rumah induk telah datang. Kehidupan akan jadi normal seperti sedia kala demikian kumpulan argumentasi secara tidak langsung meliputi tiap-tiap penghuni rumah induk.     

Bersama dengan kedatangannya. Langkah gesit para asisten turut serta menyambutnya, dan dia tersenyum manis pada mereka. Ya, senyum itu yang memberikan denyut di rumah ini. Perempuan mungil yang masih mengenakan rajut merahnya merekah -kan kehangatan. Simbol kehidupan telah datang.      

Berbeda dengan lelaki di belakang nona muda ini berjalan. Tuan muda terlihat sama, tetap dingin dan tak banyak bicara, konsentrasinya tersita oleh barang bawaannya, sibuk menarik koper dan sebuah tas tangan istrinya, tidak mau digantikan orang lain. Sepertinya nona tak akan lagi di pulangkan ke rumah ayahnya yang juga mantan ajudan di keluarga ini, Lesmana.     

Detik ini yang mirip ajudan adalah tuan muda itu sendiri tergopoh-gopoh menaikan koper dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya. Lalu menyeretnya menuju pintu ukiran Jepara yang menjulang tinggi.     

Pintu tersebut dibuka sang istri, tak lama perempuan hamil duduk di ranjangnya lalu melepaskan sepatu. Ia sedikit kesusahan untuk sekedar melepaskan sepatu. Merunduk dengan perut yang kini kian menggemaskan membuat seseorang yang memperhatikannya menanggalkan koper sehingga bunyi "klak" tanda tak sengaja dijatuhkan nya tas besar tersebut mengawali langkah Mahendra membantu melepaskan sepatu sang istri.     

"apa yang terjadi pada suamiku?" sarkas Aruna melepas rajut merah yang ada di tubuhnya. Ia tak perlu lagi susah-susah merunduk sebab kini Mahendra sudah melepas sepatu yang kedua.     

_giliran baru dimarahi jadi manis. Uch.. Dasar!_ ada bibir yang menyajikan senyum meledek.     

Dan laki-laki yang menyadari dirinya sedang disindir halus oleh istrinya berdiri menampilkan ekspresi sebal.     

"aku baik diledek, kasar di marahi.. apa maunya.." dan Aruna tertawa mendengarnya.     

"itu karena aku menyukaimu,"     

"yang benar saja?? suka seperti itu?"     

"beneran.." dia yang bicara menaikkan dagunya guna menangkap wajah suaminya yang berdiri terlalu tinggi. "beneran suka, kalau melihatmu sengsara. Hahaha" lalu tawa lebih nyaring terdengar dari bibirnya.     

Mahendra menarik lurus bibirnya. Senyum penuh makna disajikan. Seiring neuron-neuron di kepalanya mulai menyusun pola yang sama. Ini layaknya de javu, Aruna tak enggan sedikitpun untuk melukis tawa padahal hal-hal buruk baru saja menimpa mereka.     

Lelaki bermata biru kembali menekuk kakinya, merunduk memeluk pangkuan perempuan yang menyajikan perut menggemaskan berisi darah dagingnya.     

Iy tak mengeluarkan sepatah kata pun, akan tetapi pelukannya demikian erat dan dekat. Bahkan perempuan tersebut mulai lelah mengelus rambutnya. tapi Mahendra tidak beranjak.     

"tidak ada yang meninggalkanmu, percayalah," Aruna pikir ini tentang ancamannya,"kalau kamu terus-terusan seperti ini, aku bisa kram kaki," dengan terpaksa Aruna perlu menghentikan pelukan suaminya.     

"Oh'.." Mahendra bangkit, berniat akan merapikan koper. Akan tetapi bunyi perut salah satu dari mereka menimbulkan tawa. Ternyata bukan perut perempuan hamil. Kenyataannya yang baru berdirilah, yang sedang lapar.     

"Ayo makan.." perempuan bangkit dari duduknya. tangan kekar suaminya ditarik, mendekati pintu Jepara lalu dibuka. Dan mereka beriringan menuruni tangga rumah induk.     

~     

~     

"ayah.." suara Aruna beradu dengan suara pukulan dari benda yang disebut Pahat penyilat, yaitu pahat yang bentuknya lurus sesuai dengan fungsinya untuk mengukir bagian-bagian yang lurus. Pukulan pahat peyilat dengan palu membumbung memenuhi ruangan terbuka bengkel mini -usaha kerajinan Lesmana- yang berada di sisi samping rumah.     

Lelaki ramah itu tersenyum. Melepas kacamata pelindung dan meletakkannya di atas kursi dekat ia duduk. sejalan kemudian ia meletakkan palu dan juga pahat penyilat. Demi mendengarkan si bungsu yang kini ikut menekuk kakinya duduk di lantai seperti ayahnya.     

"nona cantiknya Ayah tak layak duduk disini.."     

"apa sih ayah," Aruna keberatan dipanggil nona apalagi dilarang duduk seperti ayahnya.     

"Apa ayah sibuk," Lawan bicara Aruna menggelengkan kepala, orang tua kadangkala lebih dari sadar ketika anaknya datang dan ingin membicarakan sesuatu dengan dirinya.     

"sibuk apanya.." Lesmana menangkap rasa penasaran putrinya, "yang begini namanya mencari kesibukan, bukan sibuk," lalu Lesmana menatap lekat putrinya, selepas kaos pelindung tangan pun ia lepas sempurna.     

Tak lama Lesmana tertangkap berdiri kemudian duduk di tempat yang lebih nyaman. Aruna pun mengikuti ayahnya. duduk di samping pria yang dia kagumi, lelaki tersebut terlihat menawarkan pisang goreng yang sejujurnya disiapkan Indah kepada suaminya.      

setelah lelaki tersebut mendapati putrinya menata dressnya untuk duduk di samping sang ayah, dia mulai bermonolog, "Ayah panggil Aruna nona sebab sekarang dia lebih suka pakai..," dia yang bicara melihat dress yang menjulur menutupi kaki putri bungsunya dengan indah, sangat sempurna.      

Aruna kini bisa duduk secara anggun, hal tersebut sejujurnya cukup mengesankan untuk seorang ayah yang hampir 20 tahun melihat gaya berpakaian putrinya serba simple. padu padan kaos, celana, dan tentu saja aksesoris lucu-lucu di pergelangan tangannya. Dimana celana adalah outfit kesukaannya nomor satu.      

Kini perempuan yang dipuji ayahnya tertawa ringan, "ini pengecualian karena aku hamil ayah," dia mengelak, anak dan ayah tersebut masih duduk di lantai, tangga teras samping rumah. Aruna ijin pada Hendra demi menemui ayahnya sebelum kembali ke rumah induk.      

"Jadi, sekarang putri ayah sudah siap jadi ibu?"      

"siap tidak siap,"      

"Oh? tapi putri ayah bahagia, -kan? Lesmana menamati cucu di perut putrinya.      

"Tentu ayah.. Aruna yang sekarang agak beda.." dia yang bicara menarik bibirnya, sebuah tangan mungil meraih tisu lalu menggenggam pisang goreng. perempuan bermata coklat ini terlihat sedang menggigit snack buatan bundanya, "uh' manis..," sempat mengamati sejenak lalu mengigitnya lagi lebih rakus.      

"Sepertinya sama saja," ledek ayahnya.      

"Kecuali cara makan, itu sulit dirubah," Lesmana pun ikut tertarik dengan pengunyah pisang goreng.      

"lalu apa yang berubah?" anak mata Lesmana melirik si bungsu yang kembali meraih snack di atas piring putih, snack urutan kedua.      

"em.. apa ya.." dia yang bicara memutar matanya, "Impian yang dulu aku kejar menggebu-gebu sirna karena sebagian darah hendra di dalam tubuhku,"      

"haha.." Lesmana tertawa, hingga pisang goreng di tangannya terjatuh, kini makanan itu terlihat merana di atas lantai, dan mereka tertawa lagi, saling mengejek.     

"apa pengaruh darah hendra? ada-ada saja.." Lesmana tidak begitu terkejut sebab dia tahu putrinya selalu menawarkan sudut pandang yang unik dan menyenangkan ketika di gali.      

"Bayi ini mirip ayahnya," Aruna bicara dengan mendekati telinga ayahnya, "terlalu manja dan mempengaruhiku untuk selalu fokus padanya, tak mengizinkan ibunya memikirkan hal lain," bisikan itu menggelitik sang ayah.      

"Syukurlah.. tidak ada beban di hati putriku," Suara Lesmana konsisten menenangkan, "tapi ayah tetap penasaran.."      

"Penasaran??" ini suara Aruna.      

"Ya.. penasaran dengan mata yang kehilangan kelopak,�� maksud Lesamana ialah mata yang terlihat bengkak. tidak dapat dipungkiri perempuan ini banyak menangis sebelum sampai di rumah ayahnya. dan sang ayah tahu mendekatnya Aruna bukan tanpa alasan.      

"em.. itu.." Aruna mengumpulkan oksigen di sekitarnya, "Apa ayah pernah kecewa pada seseorang?"      

"didunia ini mustahil tidak pernah kecewa pada orang lain,"      

"Ah' benar.." Aruna menanggapi.      

"Apa ayah pernah kecewa pada Bunda?"      

"pasti, bundamu bukan malaikat, suamimu juga bukan malaikat," Lesmana cukup paham Arah ucapan Aruna kemana, "Keluarga itu ibarat tubuh.. kadang ...…      

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak penasaran. So, tambahkan ke daftar pustaka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.