Ciuman Pertama Aruna

III-251. Desiran-desiran Hebat



III-251. Desiran-desiran Hebat

0"Bagaimana kabar anda, nona?" Dokter berkacamata tersebut tersenyum jenaka dan cenderung penasaran dengan perubahan tubuh Aruna, "Wao.. akhirnya mas Hendra berhasil uji nyali" gumaman itu menyusup di telinga Aruna.      
0

_Uji nyali??_       

Aruna sempat melirik pria yang menemaninya menyusuri lorong klinik.     

Sang nona tidak perlu mengantri, seperti sekelompok orang yang memenuhi deretan kursi ruang tunggu, yang nampak penuh dan sesak.     

Klinik Dr. Diana, salah satu klinik psikiater ternama di kota metropolitan ini. Bukan karena dokter tersebut mempunyai nama besar dalam kariernya. Akan tetapi, hal itu disebabkan oleh kebijakan klinik yang tidak tanggung-tanggung dalam melayani pasien, yakni; memasang tarif di bawah standar, untuk perawatan para pasien pada kelas tertentu.      

Aruna sekali lagi mendapatkan sambutan hangat sebelum memasuki sebuah ruangan.     

Sambutan hangat tersebut berasal dari perempuan yang membuat dahi Aruna mengerut seketika.      

Dia yang mendapat tatapan jengah dari Aruna, tersenyum manis. Masih teringat jelas, betapa jengkelnya si mungil pada perempuan yang kini ruang kerjanya menjadi tempat pertemuan dirinya dengan opa Wiryo.      

"Tuan Wiryo meminta anda menunggu sejenak, biar saya panggilkan" Suara Raka memungut konsentrasi Aruna terhadap pengamatannya pada papan nama di atas meja kerja, Dr. Natasha Triyono, Sp.Kj.     

Wajahnya putih bersih, alisnya hitam menantang panjang, bibirnya berwarna pink dan hidungnya terlihat lancip. Aruna sempat mengamati tubuhnya yang kian membengkak, walaupun kenyataannya terlihat berisi dan penuh.      

"Bisakah kau keluar?" Aruna bahkan tidak menggunakan kata Anda, untuk meminta perempuan berjas putih tersebut keluar dari ruangannya sendiri.      

Kadangkala, perempuan tidak bisa bernafas ketika melihat perempuan lain terlihat lebih sempurna, dan merasa dirinya sendiri layaknya sebuah ubi rebus di tengah buah-buahan segar.      

"Huuuhh..," baru saja Aruna menghela nafas, setelah menemui perempuan yang masih saja terlihat cantik seperti dulu. Sewaktu dirinya seringkali mendengarkan kalimat-kalimat saran yang menjerumuskan.      

Tetua Wiryo datang. Kursi roda otomatisnya bergerak tanpa pendorong. Terlihat sekilas, Raka dan seseorang yang disebut Andos sempat membuka pintu kemudian menutupnya rapat-rapat.      

"Aruna.. aku membaca satu prinsip mu yang luar biasa, dari 10 prinsip yang kau tawarkan" kursi roda otomatis tetua Wiryo masih bergerak, tatkala beliau mengeluarkan sebuah buku yang penuh dengan tempelan aksesoris versi Aruna, dari dalam saku jas. Sebuah jas yang penampakannya casual, bahkan cenderung dapat dikategorikan jaket.      

Catatan Aruna dibuka, kemudian lelaki paruh baya tersebut mengeluarkan kacamatanya, "Aku akan di samping Mahendra, Suamiku. Seburuk apapun kondisi Mahendra, kita terikat oleh sumpah. Dan aku tak akan lelah, hadir di sisinya,"      

***     

Maka dari itu, untuk apa aku merasa bersalah? Aku hanya ingin menghilangkan aromanya. Kalau memang dia merasa tersiksa, sebaiknya dia pergi saja! Bukankah, ini sederhana?      

Tempat yang ia huni adalah punyaku. Satu-satunya milikku yang masih tersisa dalam perjalanan hidupku. Dia yang terlalu beruntung, harusnya dia berbagi denganku.      

"Em.. Aromanya sangat mengganggu?, Benar begitu?" Sebuah pertanyaan yang dibalut dengan suara lembut, menjiwai.     

"Ya!"     

"Bagaimana bisa?"      

"Karena Hendra seperti tergila-gila oleh Aromanya. Dia tidur memeluk baju-baju peninggalan istrinya. Setiap malam seperti orang gila" sudut pandang Anna, mengeluarkan isi di hatinya.      

"Oh' oke.." sebuah goresan  dituangkan Diana, pada kertas putih catatan medisnya. Obsesi impulsif kepada satu objek yang sama. Kemudian ada panah yang ditarik oleh dokter Diana. Panah itu menuju sebuah lingkaran yang di dalamnya terdapat nama Mahendra.      

Tak lama kemudian, kursi roda bergerak mendekati dokter Diana. Seorang lelaki paruh baya berbisik ringan kepadanya. Beliau meminta Diana mempertanyakan, siapa partner Anna ketika menjalankan aksinya.      

"Terakhir dariku.." Entah apa yang terjadi pada tubuh perempuan yang kini matanya terpejam, dan tidur di atas tumpuan kursi yang nyaman, "Siapa seseorang yang sering membantumu? Yang kau sebut partnermu?"     

"Darko," Diana terdiam. Dia sama sekali tidak mengerti, siapa itu Darko. Anak matanya mengarah kepada Wiryo, lalu beliau memberikan panduan pertanyaan berikutnya.      

"Siapa Darko?"     

"Dia pria yang menjaga klaster Leona"     

"Hanya itu?"      

"Tapi akhirnya dia menghilang. Aku pun tidak tahu, kemana dia pergi" Si perempuan dengan lancar menjawab setiap pertanyaan dari dokter Diana.      

"Kenapa Darko mau membantumu?"      

"Karena dia punya misi yang sama denganku. Dia harus menyelesaikan tugasnya, melukai, kalau perlu menghilangkan nyawa perempuan yang bisa melahirkan penerus Djoyodiningrat"      

Ruangan Diana hening seketika. Tak lama kemudian ada yang bergerak,  langkah kaki mendekati tetua Wiryo. Langkah kaki pimpinan divisi teknologi informasi. Pradita Sudah cukup tahu kemana perginya Darko.      

Panduan pertanyaan berikutnya digulirkan, "yang memberikan ide untuk menyerang pemilik aroma pekat, kamu atau Darko?" Diana berusaha memenuhi permintaan Wiryo. Untuk mengetahui siapakah yang dimanfaatkan di sini.      

"Sudah aku bilang, Aku tak suka aromanya, jadi aku setuju saja membuat rencana bersama,"      

Hening yang kedua tertangkap untuk kesekian kali di ruangan Diana. Pria paruh baya tampak memegangi dadanya lalu mengucapkan kata 'cukup!' lirih sebelum ia keluar dari pintu ruang praktek Diana.      

Pradita tertangkap buru-buru matikan laptopnya, dia mengejar gerak otomatis dari kursi roda tetua Wiryo.      

***     

"Itu prinsip saya yang nomor 4, benar Opa," dia yang bicara mengumbar senyuman di bibirnya. Ringan seolah tanpa beban.      

Padahal dada pria yang saat ini jadi lawan bicaranya masih berdesir-desir hebat. Bagaimana perempuan bertubuh mungil di hadapannya tak menunjukkan ekspresi hancur berkeping-keping mengingat dia adalah korban penganiayaan yang demikian kejam.      

Punggung para pendengar ikut terhantam ngilu. Wiryo baru tahu sekarang, sehingga adrenalin kegetiran turut merasuk menghantuinya, yang dihadapi putri Lesmana baru terasa mengerikan detik ini.      

"Huuuh," Wiryo mengangkat wajahnya, memasukkan buku catatan Aruna ke dalam kantongnya.      

"Aku tidak pandai berbasa-basi, kamu tahu itu," Aruna membuat anggukan, "seperti prinsipmu nomor 4 aku akan mengujinya," Mata lawan bicara Wiryo melebar, dia tidak paham, "kau tahu Mahendra punya emosi yang meledak-ledak?"      

"Iya opa,"      

Lalu hembuskan nafas dan deheman itu terdengar lagi ditelinga Aruna, perempuan bermata coklat didorong untuk menyadari sebuah pesan bahwa pria dihadapannya menyimpan desiran-desiran hebat di dada.      

"Bagaimana aku harus bicara denganmu," detik ini untuk pertama kalinya Wiryo kecurian kata. Kalimat di dalam kepalanya terlalu acak. Seseorang yang cukup dan mengalami banyak kejadian, cukup mencengangkan ketika ia kehilangan kata-kata.      

Aruna sempat menunggu beberapa saat sebelum akhirnya kakek Mahendra kembali menyusun kumpulan kata sebagai pesan untuk putri Lesmana.      

"Begini, jujur, Aku secara sepihak mengambil alih kasus penganiayaan yang Aruna alami,"      

Suara berat ini menuju ke suasana yang kian serius, Aruna memasang telinganya baik-baik. Pria yang ada di hadapannya sedang mengisahkan nasibnya.      

"Aku tahu, huuuh," nafas berat Wiryo terdengar lagi, "tragedi.. huuuh," hening beberapa saat.      

"Opa.. kondisiku saat ini jauh lebih baik, bagiku semua sudah berlalu, apapun keputusan Anda saya pastikan saya menghargainya," Aruna lah yang berinisiatif memecahkan keheningan tersebut.      

"Andos, gantikan aku!" Sebuah alat di ujung jemari tangan kanan Wiryo beberapa kali dipencet lalu lelaki paruh baya tersebut membuat panggilan pada pria di luar sana  dan spontan membuka pintu.      

"Saya merasa lebih terhormat, andai kata tetua berkenan menyampaikan keputusan anda, kepada saya, secara langsung," Aruna menatap Wiryo, penuh keyakinan, memberi dorongan kepada kakek Mahendra bahwa ia telah siap secara batin dan mental.      

Bersama dengan raut wajah penuh kegigihan yang ditunjukkan Putri Lesmana, Wiryo menggerakkan tangannya meminta Andos keluar, "baik, apa putri Lesmana tahu saat ini tengah berada di klinik siapa?"     

"Dokter Diana, psychiater Hendra," mantap Aruna menjawab.      

" Apakah Aruna tahu, kalau itu artinya ada seseorang yang sakit di salah satu ruangan dalam klinik ini?"      

"Ya, kak Anna sakit," datar Aruna menjawabnya.      

"Syukurlah kau tahu,"      

.     

detik berikutnya monolog panjang tetua wiryo mendorong langkah gesit Aruna keluar dari klinik dengan papan bertuliskan Diana.     

Mobil melaju membawa kembali nona muda menuju ke rumah induk, sang nona sempat meminta Alvin membelikan tiket kereta api dengan tujuan kota yang cukup asing di telinga.      

Aruna, kalau pun Nana harus diserahkan kepada pihak berwajib, apakah kamu tahu Kitab Undang-undang Hukum Pidanan (KUHP) pasal 44? Seseorang 'Tiada dapat dipidana barangsiapa suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan olehnya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal,'      

Maka dari itu, dari pada Nana terus menghantui perempuan yang saat ini berjuang melahirkan generasi penerusku, atas nama kehormatan ayahmu, Lesmana, kakek tua ini minta izin ....      

.     

.     

_____________________     

Hallo sahabat pembaca     

Terima kasih sudah menunggu novel saya terbit. Bagi yang ingin membaca novel berikutnya, Saya rekomendasikan novel sahabat saya "nafadila" dengan judul "I'LL Teach You Marianne" aku yakin kakak-kakak. So, tambahkan ke daftar pustaka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.