Ciuman Pertama Aruna

III-247. Backpacker



III-247. Backpacker

0"Sebab kamu adalah pemimpin keluarga selepas bayi kita lahir, dan aku menuntutmu untuk menjadikannya berbeda," dia yang semula tersenyum datar berujung mendesah kecil -tanda gemas-, terhadap pesan-pesan menyentil khas istrinya.      
0

"Tidak ada yang akan berubah, kecuali kita merubah keadaan yang ada pada diri kita sendiri," Ujar Aruna membalik arah tubuh dan pandangan matanya, menatap wajah suaminya.      

Hendra membalas pandangan mata tersebut dengan kecupan kecil di bibir.      

"Nakal!" Protes Aruna.     

"Sarapan pagiku…" pria tersebut mengubah kecupan kecil menjadi denyutan yang meresahkan seorang pengemudi mobil di depan, serta Herry yang berada di kursi penumpang di sampingnya.      

Herry melempar pandangannya ke arah jendela. Dia lebih terbiasa dibandingkan sopir baru yang duduk di sampingnya.      

***     

[Aku tidak mau tahu, Rolland harus diselamatkan hidup-hidup!] semalam, salah satu mandat yang Mahendra berikan kepada anak buahnya -dari sekian banyak yg ia rangkai-. Sebelum ia memutuskan untuk berangkat.      

[Kode E yang bertugas di markas Tarantula, tidak menemukan Rolland dibawa ke tempat tersebut] laporan dari Vian, sang penerima mandat.     

Pimpinan divisi penyidik internal Djoyo Makmur Group akhir-akhir ini harus bekerja ekstra, dibanding siapapun.      

Vian telah sukses mencuri perhatian Mahendra. Sosok pimpinan yang lebih dipercaya dengan pembawaannya yang realistis serta antusias, di bandingkan yang lain.      

Mata biru tahu, Raka dan Pradita akan menjalankan perintah dan mengikuti kehendaknya. Akan tetapi, ketika sang tetua memberi tugas lain ataupun mengusung sudut pandang yang berbeda, kedua pimpinan lantai bawah tanah tersebut lebih memilih mengimani pernyataan Wiryo, dibandingkan Mahendra.      

Hendra perlahan-lahan mampu membaca peta pengaruhnya pada lantai D. Hal yang paling dia sukai perihal Vian, selain pimpinan divisi penyidik internal tersebut punya cara pandang yang modern, ia punya kesan bebas. Seseorang yang akan menjalankan pekerjaannya, sesuai struktur yang ada.     

Ketika detik ini Mahendra yang terkonfirmasi sebagai presiden direktur untuk segala lini Djoyo Makmur Group -walaupun belum sepenuhnya diresmikan secara terbuka untuk umum-, secara realistis Vian mengikuti mandat struktur tertinggi.      

[Sesuai dugaanku,] ini suara Mahendra.     

[Sesuai dugaan??] Vian menggapai pemahaman.     

[Rey, yang mengambil Rolland, bukan orang-orang tua Tarantula] di ujung panggilan, si pimpinan divisi penyidik yang mendengar dugaan Mahendra tengah mengernyitkan dahinya.      

[Menurut saya, sedikit ganjil] ada argumen berbeda dari Vian.      

[Dimana ganjilnya?]      

[Pradita, terutama Raka, mereka mendapat penyerangan dari sekelompok orang di luar gedung] Vian mengurai sudut pandang di kepalanya, penyerangan seperti itu tidak mungkin tanpa melibatkan para dewan Tarantula.     

[Kau pikir, para dewan Tarantula segegabah itu? sejak awal sudah jelas, yang membuat perilaku di luar kendali bersamaan dengan agenda besar, adalah putra-putra Tarantula. Jangan lupa, Rey pandai mempengaruhi mereka] Hendra memaparkan argumentasinya.      

[Baik, saya jalankan permintaan anda] suara Vian menanggapi mandat presdir.      

[Jika kau tak yakin bisa membebaskan Roland, hubungi aku. Biarkan orang-orangku yang bergerak] Hendra punya sekelompok Tentara hitam yang lebih liar dalam membuat tindakan. Para pemuda yang lebih berani mengambil resiko dan tidak terpengaruh oleh doktrin kakeknya yang cenderung naif.      

[Jangan bilang, anda mulai kurang kepercayaan kepada kami?] ada nada sedikit kecewa yang terdengar dari Vian.      

[Aku harus bicara apa? itulah kenyataannya. Kalian dibawahku, tapi mandat tertinggi tetap perintah kakekku. Kau pikir, punya dua kepala bagus untuk organisasi yang kita bangun?]     

Vian terdiam.      

[Aku tidak sedang kecewa padamu. Aku sedang mengungkapkan kekecewaanku, terhadap teman-temanmu] jelas Mahendra sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.      

***     

Kaca jendela mobil baru saja dinaikkan oleh lelaki bermata biru, tak lama kemudian ia turut merapikan rambut perempuannya. Mobil hitam yang membawa mereka hampir sampai tempat tujuan.      

Ketika perempuan itu melepaskan diri dari dekapan, dan menggerakkan tubuhnya condong ke depan -seolah akan memberikan bisikan- kepada pengemudi mobil yang sedang berkonsentrasi.      

Kulit di tengah kedua alis Mahendra mengerut melihat istrinya benar-benar menyusupkan pesan tersembunyi untuk sopir baru mereka, Thom.      

Lelaki yang lama mendekam di ruang putih tersebut kini tampak lebih segar selepas mencukur seluruh brewok di dagunya. Dia juga mengikat bagian atas rambutnya dan membiarkan sebagian lagi, tersibak kebelakang sempurna. Walaupun tentu saja tubuhnya kelihatan masih kurus kering, dia lumayan segar dari sebelumnya.      

"Apa yang kau sampaikan padanya??" suara khas Hendra, dengan ekspresi jengkel yang mudah ditangkap. Dia tidak terima ketika melihat Thom mengangguk ringan, kemudian mengumbar senyum manis pada bibirnya selepas menerima pesan istrinya.      

"Rahasia," gurau Aruna.      

"Jangan membuatku marah,"      

"Jangan bilang, kau cemburu pada hal-hal remeh," dia yang bicara menarik bibirnya membentuk pipi kembung. Sejalan dengan tangan kanannya yang bergerak di belakang punggung, membuka pintu mobil.     

Kendaraan beroda empat yang membawa keduanya, telah sampai di lobi utama stasiun. Sebuah tempat yang akan menjadi titik pangkal perjalanan mereka.      

"Thom sampaikan salamku," ucap Aruna masih dengan niat jahilnya, yang berhasil menciptakan sorot mata tajam Mahendra kepada Thomas. Anehnya lelaki dengan rambut kuncir tersebut tersenyum, turut memperlancar kejahilan nonanya.      

"Herry.." Mahendra ingin menciptakan sesuatu, sebuah pesan yang mampu menyaingi pesan tersirat antara Thom dan Aruna.      

"Ya tuan," akan tetapi, tuan muda tersebut sepertinya tidak punya ide mendasar.      

"Ah' sudahlah!" lelaki bermata biru menepis udara menggunakan tangan kanannya. Menunjukkan dia memang tak punya niat berarti dengan memanggil Herry.      

Cukup konyol, akan tetapi mampu menciptakan suasana hangat sebelum lambaian tangan di sambut bungkukan badan dari kedua pengantar sepasang suami istri tersebut.      

Dengan ransel di punggung, lelaki berpostur tinggi tersebut tertangkap setia mengikuti langkah kaki mungil milik istrinya. Mereka benar-benar mirip dua orang backpacker yang sedang melakukan perjalanan menyenangkan. Menjelajahi negeri zamrud khatulistiwa yang menawarkan berbagai budaya dan keindahan alam.      

Dua pengamat saling melempar sudut pandangnya sebelum memasuki mobil.      

"Rasanya, aku iri pada mereka," suara Thom mengawali percakapan dengan Herry.      

Lukisan di kepala Thom, ialah seputar keindahan alam yang akan mereka nikmati berdua saja dengan cara sederhana. Ini merupakan cara terindah versi siapapun yang hobi berjelajah, untuk mencoba hal-hal baru. Terlebih, Thomas lebih dari sebulan mendekam dan terdiam di ruang putih.      

"Kau baru sekali menjadi sopir pribadi mereka, bagaimana denganku?" Herry mengujarkan cemoohan yang menandakan dia lebih lama mengenaskan, dari pada siapapun.      

"Aku jadi mengamini pernyataan beberapa orang, bahwa sindrom yang dia derita, sekedar rumor," suara Thom menimpali, sejalan melangkah menuju mobil.     

"Itu kenyataan.."      

"Ah' kau serius??" Thom sempat menghentikan gerakannya, sebelum membuka pintu.      

"Aku selalu bersamanya. Bahkan, saat dia terpuruk sendirian," monolog Herry mendorong anggukan Thom.     

Lelaki dengan rambut kuncir tak bisa mendebat apapun, kecuali meyakini apa yang diucapkan oleh Herry. Ajudan yang menjelma sebagai simbol keberadaan tuannya.      

Di mana ada Herry, di situ pula ada Mahendra.     

Thom memasuki mobil, dan duduk di kursi kemudi.     

"Hei, kau tidak ikut??" Suara Thom ketika melihat Herry masih berdiri di luar mobil.      

Ajudan muda yang dipenuhi ketenangan tersebut, bergerak mendekati kaca jendela Thom, "Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Kembalilah lebih dahulu," dia melambaikan tangan kemudian berjalan pergi.      

.     

.     

Mahendra tertangkap mengamati sekeliling, sebelum dia benar-benar meluruhkan diri pada bangku diseputar tempat menunggu kedatangan kereta api. Sesaat kemudian, dia mengikuti perintah tangan istrinya yang menepuk ringan kursi di samping tempatnya duduk.      

Ketika lelaki bermata biru melepas ransel di punggungnya, dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Pria ini mendapatkan pertanyaan menggelitik, "Apakah ini pertama kalinya kamu naik kereta?"      

"Ah' kata siapa?" ada mata melebar, lalu dicoba menetralisir.      

"Aku cuma bertanya, kenapa terkejut?" Ada nada cemooh secara tak langsung, ketika melihat ekspresi Mahendra.      

"Mana ada orang belum pernah naik kereta api, di abad 21.." mata biru ngomel tak jelas.      

"Cuma bertanya, tak perlu heboh.." siku Aruna menyenggol sudut perut suaminya "Tapi ngomong-ngomong, kapan tuan muda sempat naik kereta?" Si mungil tergelitik rasa penasaran. Atau mungkin, dia sengaja menggoda Mahendra.      

"Em.. itu.." dia memutar matanya, "Ahha.." seolah mendapatkan bisikan, tubuhnya diputar 90 derajat mengarah ke istrinya. "Waktu peresmian MRT[1] aku datang karena mendapat undangan, dan menaiki kereta tersebut,"      

Sang istri tertawa terbahak-bahak, "berapa menit?"      

"Kurang dari 5 menit," jawab lelaki bermata biru percaya diri.      

"Kereta yang kita naiki jauh dibawah standar, lebih jelek dari itu, bagaimana? Kamu tak masalah, -kan?" Yang sedang membuat pernyataan tengah menjahili lawan bicaranya.      

"Em.. tidak akan ada penjual asongan, -kan' di dalam?"      

"Bukan cuma penjual asongan, tukang sapu keliling pun ada, bahkan pengamen juga ada," dia yang bicara menahan tawa di perutnya.     

"Yang benar saja?!"      

'Penumpang yang terhormat kereta api Darmawangsa, dari Jakarta, Pasar Senen menuju Surabaya Pasar Turi telah menunggu Anda di jalur dua, BLA BLA BLA,'      

Suara pusat informasi menggema, menyapa keduanya.      

 "Mari kita lihat, separah apa kereta kita," Mahendra tertangkap enggan berdiri, dan perempuan bermata coklat tersenyum hangat menarik lengannya. Memaksa pria dengan wajah cemberut tersebut supaya lekas berdiri.      

"Ayolah.. sayang.. hehe.." Cukup puas Aruna memasang senyum manis yang terkesan menjengkelkan bagi Mahendra.      

.     

.     

[1] MRT, singkatan dari Moda Raya Terpadu, adalah sebuah sistem transportasi transit cepat menggunakan kereta rel listrik. Proses pembangunan telah dimulai pada tanggal 10 Oktober 2014 dan diresmikan pada 24 Maret 2019. Layanan MRT ini diberi nama "Ratangga".      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.