Ciuman Pertama Aruna

III-261. Your Inner Beauty



III-261. Your Inner Beauty

0Pagi yang cerah. Matahari lebih hangat seiring menjauhnya kereta api dari kota metropolitan. Perempuan yang tadinya ingin melanjutkan tidur, sebab semalam lebih banyak diganggu suaminya. Detik ini ia terlihat begitu menikmati perjalanan.      
0

Dengan memegang bantal punggung yang dipesan suaminya kepada petugas kereta Api. Aruna terlihat memeluk bantal mirip wadah korek api dengan ukuran besar, berwarna biru mencolok, sembari menikmati lautan hijau -persawahan yang terhampar di luar jendela kereta-.      

Ada yang mengeluarkan handphonenya, dan ia yang sedang memegangi handphone sibuk memotret bagian wajah sisi kanan sang istri. Background kaca jendela kereta api dengan pengambilan yang tepat, di tambah sedikit editing menggunakan aplikasi editing foto via handphone, Mahendra mampu menghadirkan suasana vintage yang memuaskan hatinya sendiri.      

Setelah berlama-lama memandang hasil karyanya, pria tersebut mengunggahnya di sosial media. Sosial media dengan nama samaran @bluehadyan, Instagram yang sudah lama ia abaikan. Instagram pribadi yang ia kelola sendiri.      

"Your outer beauty will capture the eyes, your inner beauty will capture the heart." Dan aku terpikat, tak bisa berkata-kata lagi. Emoji berbunga-bunga.     

(Kecantikan luarmu akan memikat mata, namun kecantikan di dalammu akan memikat hati.)     

Demikianlah caption yang ditulis Mahendra, mencuri ungkapan dari — Steven Aitchison     

Tanpa Mahendra sadari ada perempuan yang mencuri lihat perilakunya, perilaku lelaki bermata biru yang tengah senyum-senyum sendiri.      

"Aku lihat dong!" Sempat terdengar suara Aruna, sebelum ia meraih handphone Mahendra menemukan Apa yang dikerjakan suaminya.      

Aruna menarik bibirnya, mata tersebut menyipit, tertimpa kekeh tawa yang menggelitik perut. Instagram tersebut hanya berisikan foto dirinya (Aruna), akan tetapi tidak ada satupun yang benar-benar terlihat wajah Aruna. Aruna menggesernya beberapa kali, selain foto dirinya hanya ada sebuah gambar langit, postingan paling awal.      

"Mengapa wajahku tidak pernah terlihat?"      

Dia yang ditanya menampakkan raut muka memerah hingga telinga, "entahlah, Aku menyukai semuanya, tapi tak ingin menunjukkan wajahmu pada siapapun,"      

"Haha.. aneh!"      

"Biarin!" Dia merebut handphonenya kembali.      

"Ternyata, suamiku sering membuat postingan tentang aku.. duh aku tersentuh," ujar Aruna, mencemooh wajah merah Hendra yang mirip belia kasmaran.      

"Suka?" Tanya Lelaki bermata biru berharap dapat pujian.      

"Nggak," tegas Aruna.      

"Lho? Kok gitu??" dia yang bicara merasa tidak terima, "Harusnya kamu bilang suka sayang..!" Pria tersebut mendekati tubuh istrinya. "Cepat bilang suka!"     

"Aku nggak suka, ya nggak suka.. jangan maksa!" Aruna menjauhkan wajah seorang lelaki yang tiba-tiba mendekati tubuhnya, menggigit telinga.      

Bukannya pergi, dia merengkuh tangan tersebut Lalu mengendus pipi, sejalan berikutnya leher, dan berulang-ulang kali.      

"Hai.. Ini di tempat umum bukan di mobilmu.." si perempuan berusaha menghindar, "Hendra! Sudah hentikan.."     

"Bilang suka.." endusan lelaki bermata biru masih belum mau menghentikan pemburuannya.      

"Iya.. iya! Aku suka, aku.. Ah.. sudah.." protes Aruna.     

"Mama.. om itu maksa.." suara anak kecil menarik baju ibunya, gadis kecil tersebut duduk tepat di sebelah pasangan suami istri tersebut.     

"Hush!" segera diminta diam ibunya.      

"Hehe.." Mahendra tertawa antara malu, dan senang berhasil memaksa Aruna bilang 'suka'.      

Sebab terlanjur bertemu mata, ibu-ibu yang duduk satu baris dengan pasangan tersebut, membuka percakapan, "Oh, istrinya?" mengurai canggung, "hamil??" Mahendra mengangguk. "Berapa bulan?" semacam basa basi sebagai bentuk sopan santun.      

"Sayang berapa?" Mahendra menyenggol lengan istrinya, Mata biru bahkan tak ingat berapa usia kandungan istrinya sebab begitu banyak kejadian besar menimpa keduanya.      

Aruna segera menoleh, tersenyum dan mengangkat telapak tangan dengan menunjukan empat jari, yang kemudian berakhir pada percakapan ringan kedua perempuan.      

Hendra lama-lama bosan mendengar basa-basi dua perempuan, ia berdiri, merasa perlu mencari Toilet. berjalan sendirian menyusuri lorong kereta.     

Dia yang berjalan menggapai setengah gerbong ketika pada akhirnya tersentak, sebab ada pemuda yang terbengong-bengong saking terkejutnya atas tertangkapnya keberadaan dirinya -pemuda yang sedang membuntuti tuannya-.      

"Herry?!"      

"Hehe.. Tuan.." Herry yang tadinya bersantai memainkan handphonenya, dengan earphone di telinga. Kini buru-buru ditanggalkan. Berdiri sejenak, berniat membuat penghormatan tapi Hendra tiba-tiba menyuruhnya untuk duduk kembali.      

"Siapa yang menyuruhmu?" Dia Yang ditanya menggelengkan kepala.      

"Benar tidak ada?!" Tempat duduk di samping Herry kosong, lelaki bermata biru lekas menyusupkan dirinya untuk duduk di samping ajudannya.      

"Jujur inisiatif saya sendiri.." tukas Herry buru-buru.      

"Kenapa?" Hendra keheranan dengan kenekatan ajudan yang paling erat dengannya tersebut.     

"Saya.. em.. hanya khawatir,"     

"Khawatir?" Masih keheranan, "kau pikir aku akan kecil!!"     

"Anda tidak terbiasa dengan hal semacam ini Tuan," ada senyum nyengir takut kena marah, "dan nona sedang hamil, kalau terjadi sesuatu, aku yakin anda pasti butuh bantuan.. e.. saya pasti sangat dibutuhkan.." dia yang bicara melebarkan senyumnya. Antara malu ketahuan, dan anehnya, Herry merasa keputusannya mengikuti hendra tetap bagian dari pilihan yang tepat.      

"Kau ini!!" Hendra mengangkat kepalan tangan, bukan untuk memukul kasar herry, sebab pada akhirnya hanya berupa pukulan ringan pada bahu.      

"Baiklah.. sudah terlanjur," untungnya Hendra merelakan kenekatan Herry, pria tersebut melanjutkan langkahnya menuju Toilet.      

Giliran sampai di depan pintu, mata biru mulai ragu. Antara 'buka atau tidak', dia anti Toilet umum, bahkan toilet pesawat kelas VIP saja tak pernah sekalipun ia kunjungi.      

Dengan ragu pintu tersebut dibuka. di luar dugaan, mini toilet duduk dengan cermin membentang tersaji di hadapannya. Putih, bersih dan terlihat beberapa pengharum diusahakan menggantung pada sudut ruangan. Bukan Hendra kalau dia bisa menggunakannya. Pria bertubuh tinggi besar tersebut berlari. Dia tak bisa, itu terlalu berat untuknya.      

Hendra kembali menyusuri lorong lalu duduk di kursi kosong di samping Herry.      

"Tidak bisa menggunakan Toilet??" Herry sudah bisa menduganya, dan hendra tertangkap menetralkan nafas selepas berjalan cepat, dia membuat anggukan.      

Seperti sudah bisa menduga perilaku tuannya, Herry mengeluarkan sebuah plastik dari tas ranselnya. "Silahkan anda letakkan plastik ini, sebelum duduk,"      

Hendra membuka lebar plastik yang memiliki lubang pada bagian tengah mirip donat.      

"Anda bingung?" pertanyaan Herry belum dijawab tatkala ajudan tersebut bangkit dari duduknya kemudian menuju ke toilet yang secara spontan di ikuti Mahendra, Herry berniat mengajari tuannya meletakkan benda tersebut di atas toilet duduk untuk menghindari rasa risi pada tuan muda takut kotor.      

Sayang sekali Toilet yang mereka tuju sudah di pakai seseorang, dengan inisiatif herry keduanya melanjutkan perjalanan mereka, melintasi gerbong kedua mencari toilet lain.      

Tatkala tanpa mereka sadari ada seseorang yang benar-benar membungkukkan badan tidak mau keberadaannya terlihat oleh keduanya. entah siapa yang mengirim orang tersebut yang pasti dia sangat hati-hati. mengubur seluruh tubuhnya kedalam selimut biru fasilitas yang dipesan pada para pramugari moda transportasi darat tersebut.      

***     

"Nathasya," panggil Diana pada saluran telepon di mejanya, "Minta Tio membawa Nana keruang terapis," sejalan dengan diletakkannya gagang telepon, seseorang di hadapan Diana menyodorkan amplop coklat. Jelas isinya adalah uang.      

"Kamu pikir aku siapa??" mata Diana menunjukkan kemarahan, menatap sinis amplop coklat. "Aku membantumu karena aku setuju dengan idemu, bukan disebabkan ada hal lain," wajah Diana kesal. tak lagi bisa ditutupi. dia berdiri meninggalkan kursinya. "Simpan amplopmu!"      

Lawan bicara Diana tersenyum, "Maaf.. ayolah dok, jangan marah.." dia juga ikut berdiri, "Aku pamit!"      

Diana menggosok dadanya, "Lakukan dengan cepat! jangan ada kesalahan!"      

"Iya.." sebuah jaket kembali dikenakan tamu dokter Diana, kemudian scarf panjang menjulur di kepalanya bersama kacamata hitam.      

"Waktumu cuma satu jam dari sekarang.." ini suara resah Diana.     

"iya aku tau.." tamu Diana berdiri tegak menatap mata Diana, memberi keyakinan, "orang-orang ku sangat ahli,"      

"kau sudah mengatur segalanya? transportasi?" masih dengan kekhawatiran Diana memastikan segalanya baik sesuai rencana yang mereka bangun berdua.      

"Sudah.." balas seseorang yang kini mendekati Diana lalu berbisik, "Tolong.. matikan CCTV dan segera minumkan obat tidur ditanganmu pada pasienmu, termasuk diri anda sendiri, biar orang-orangku segera bekerja,"      

"Huuh! oke!" Diana keluar dari ruangannya.      

"Dok!" panggil tamu Diana hingga dokter tersebut menoleh.      

"Apa??" ketus Diana.      

"Terima kasih banyak atas kebaikan dokter padaku dan pada seluruh keluargaku," ucap seseorang dengan kacamata hitamnya yang besar menutup seluruh ekspresi kecuali bibir tersenyum.      

"Semoga kau tidak melakukan kesalahan atau Wiryo bakal membunuhku,"      

"Sebelum dia melakukannya, dia harus berurusan denganku," lalu tamu itu melenggang pergi, mendahului langkah Diana.      

"Semoga.." Diana menggerakkan tangan kanannya menyentuh dahi kemudian, dada, bahu kanan lalu bahu kiri dan berakhir mencium ujung jarinya dengan sungguh-sungguh. dokter tersebut sedang berdoa sebelum menjalankan keputusan ternekat sepanjang karirnya sebagai seorang dokter.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.