Ciuman Pertama Aruna

III-231. Penghisap Tembakau



III-231. Penghisap Tembakau

0Di sudut lain, di sebuah ruangan yang dindingnya terdapat toples-toples kaca yang menjalar dengan tinggi tidak lebih dari satu jengkal.     
0

Toples-toples tersebut nampak transparan hingga aneka jenis biji-biji kopi yang terdapat di dalamnya, bisa di amati oleh tamu yang sedang membeku di sana.     

Tamu itu duduk pada kursi menjalin yang di desain nyaman dan kokoh. Pegangan tangannya berupa kayu jati melengkung, yang membuat seseorang seolah ingin merebahkan punggungnya.      

Terlebih pada setiap kursi kayu menjalin tersebut, selalu di bumbui sebuah bantal berbentuk persegi yang empuk dan halus. Bantal-bantal tersebut di selimuti oleh sarung-bantal dengan motif sulam putih.      

Sulam putih itu sendiri merupakan jenis sulam yang di buat di atas kain polos, dengan menggunakan benang yang berwarna serupa dengan kain.     

Warna kain perak di permukaan bantal yang lembut, tersaji sulaman bunga Krisan di atasnya. Bunga cantik dengan nama latin Chrysanthemum, yang sebagian besar spesiesnya berwarna putih.      

Bunga Krisan menjadi favorit si pemilik ruangan, selain minuman kopi dan tembakau yang baunya bercampur aduk menjadi satu.     

Gemerisik sepelan mungkin si tamu mencoba tetap duduk tegap, melawan dirinya yang menginginkan untuk merebahkan punggung.      

Hal pertama yang di dapati si tamu ketika datang di ruang ini adalah, secangkir kopi hangat yang mengepul hingga aromanya tebang menusuk hidung.     

Tamu gugup ini tak berani protes bahwa dia lebih suka teh daripada kopi. Dia menelan salivanya, ketika pemilik ruangan duduk dan menghembuskan udara dari dalam mulutnya.      

"Apa yang kamu inginkan dariku?" Suaranya parau, bervolume serak akan tetapi berat.     

Tuan rumah layaknya seorang jin yang keluar dari lampu ajaib dan bisa memberikan segala-galanya. Sayangnya jin di depan sang tamu tak jenaka, dia lebih layak di sebut iblis yang hobi memenuhi keinginan dengan tumbal tertentu.      

Tamu yang penakut ini bernama Nugraha. Seorang wakil walikota yang menghasratkan diri akan mampu mengganti posisi walikotanya, Riswan.     

Walikota yang sedang naik daun, bahkan masuk dalam bursa pencalonan pimpinan kepala negara periode berikutnya.      

Negara tropis yang panas dengan hasil tambang yang melimpah. Salah satu pemain swasta yang mengolah kekayaan bumi menjadi bahan bakar tersebut adalah, tuan rumah yang mempertanyakan keinginannya.      

"Salah satu tahanan yang di pertontonkan cucu Wiryo adalah orang saya.." Maksud Nugraha ialah Pengky.     

Masih ingatkah kejadian naas yang di terima Wiryo, yang memaksa dia menggunakan kursi roda kemana-mana?, Bahkan, hingga kepemimpinannya di serahkan kepada sang cucu lebih cepat dari perkiraan.     

Nugraha ketakutan setengah mati kala itu, ketika kabarnya Riswan yang dia ketahui adalah pimpinan daerah yang terpilih secara independent, menyerahkan bukti suapnya dari Tarantula kepada pihak DM Grup.      

"Kau mau dia lepas?" si pemberi permohonan menggelengkan kepalanya. Ini sangat mencengangkan bagi pembuat pertanyaan. Lalu untuk apa dia pergi ketempat ini? Gumam pria yang mengebulkan udara tembakau dari mulutnya.      

"Em.." Mata tamu penakut ini mengerjap.     

Pemikiran demi pemikiran Nugraha yang sedang penuh harap berbisik bagai makhluk dalam bayang-bayang.     

Tak lama kemudian dia duduk lebih tegap, mengabaikan bantal bersarung krisan nan lembut yang ia gunakan sebagai penyangga punggungnya.     

Pria ini memegang pegangan kursi menjalin sebelum ia bersuara. Hembusan nafasnya sendiri mulai menjelma menjadi asap tembakau yang menyesakkan dada.      

Nugraha berucap lirih, "Tuan, saya menginginkan perlindungan anda"      

"Hem.. hehe.." ada tawa ringan mencemooh dari penghisap tembakau "..Tidak tahu diri" kalimat hinanya berikutnya.     

Siapa sangka si bengis menghina penjahat kacangan. Memilukan, ketika Nugraha ikut tertawa supaya dia bisa mendapatkan senyum penghisap tembakau.      

Menit berikutnya, setelah Nugraha mengamati orang di hadapannya menghabiskan tembakau. Cerutu yang habis terhisap, ia padamkan dengan memasukan ujung yang menyala di dalam kopi yang tidak di minum si tamu di hadapannya.     

Nugraha mencengkeram erat pegangan kursi menjalin dan kian menegakkan punggungnya.     

"Kenapa? Kau takut sama cucu Wiryo si bau kencur?" lagi-lagi kalimat mencemooh hadir dari bibir penghisap tembakau.      

"Semua orang tahu mereka singa yang tertidur," kali ini lidah Nugraha lancar berkata.      

"Kata siapa? Tidur kok lama!" kemudian terdengar kekehan dari lawan bicara Nugraha.     

"Em.. sebenarnya.." Nugraha menghembuskan nafas panjang di sela kalimatnya, "Walikota saya menjebak saya," benar-benar si penjilat ulung. Dia yang melakukan suap, kini memutar balikan fakta.     

Bahkan Riswan yang sejujurnya belum terbukti menyerahkan apapun pada Djoyo Makmur Grup, walaupun kenyataannya memang iya -sudah menyerahkan bukti penyuapan-. Di jadikan kambing hitam oleh Nugraha     

"Maksudmu?" mata lawan bicara Nugraha      

menghujam tajam dan si penjilat ulung tersenyum tipis. Namun senyum di dalam hatinya lebih lebar, sangat lebar menunjukkan kepuasan. Ini yang ia butuhkan, sebuah tanda tanya yang bisa mendorong lawan bicaranya masuk ke dalam perangkapnya.      

"Riswan sudah menyetujui untuk menerima suap dari saya. Kenyataannya cek tersebut ia terima, tapi itu di sengaja untuk di serahkan kepada DJoyo Makmur Group," Mata lawan bicara Nugraha membulat lebar.      

"Cek yang saya serahkan bertuliskan Tarantula (season II). Sedangkan anak buah saya yang bernama pak Pengki, yang semalam di pertontonkan Djoyo Makmur Group, adalah orang yang saya kirim untuk mencelakai Wiryo. Tujuan saya sederhana supaya DM Group tidak melanjutkan penyelidikan terhadap cek tersebut, dan tentu termasuk saya," kata saya yang diucapkan Nugraha terdengar lirih dan lembut.      

Bukannya merasa tertantang atau minimal merasa ucapan tersebut sebagai ancaman, lelaki yang menjadi lawan bicara Nugroho tertawa terbahak-bahak.      

Sudut matanya berair, dia bahkan sempat mengoleskan jempolnya guna menyeka air mata yang menggenang     

"Kau bilang apa?.." sekali lagi orang ini mengakhiri pertanyaannya dengan tawa nyaring, lalu sedikit terbatuk, "..Yang benar saja," dia menggeleng-geleng kepala seolah tidak percaya dengan ucapan Nugroho, memang kenyataannya tidak bisa di percaya.      

"Kau mengirim orang mu dengan tujuan untuk menghentikan penyelidikan Djoyo Makmur Group?" tertawa lagi sambil memegangi perutnya, "..Kalau mereka mau, walaupun kamu ancam, bahkan kamu hilangkan nyawa si tua itu. Anak-anaknya bisa memburumu, mempermalukanmu atau mungkin membunuhmu seketika,".     

Kalimat yang di ucapkan lawan bicara Nugraha membuatnya menggigil, hawa ruangan menjadi dingin di benaknya. Dia bahkan sempat melirik AC dan mengutukinya sebab tertulis kecil di tengah-tengah. Benda elektronik tersebut mengeluarkan suhu 16 derajat Celcius.      

"Kau tahu apa yang ingin aku lakukan saat ini?" pria yang duduk di hadapan Nugraha berdiri, berjalan mendekati sebuah ornamen berupa kepala macan yang di awetkan.     

Tapi tujuannya bukan untuk mendekati kepala macan hitam yang matanya menghujam, dia meraih senjata laras panjang yang berada di bawah kepala hewan tersebut.      

Sontak Nugraha berdiri, kakinya terserang hawa dingin yang lebih dari pada suhu 16 derajat Celcius.      

Peraih senjata laras panjang berbalik. Membalik badan sepenuhnya dengan senapan yang siap menyemburkan peluru untuk menghujam ke arah Nugraha.      

"Tuan.. Tuan Rio.. saya mohon jangan bunuh saya tuan.." Nugraha menggeser kakinya, bergerak mendekati Rio lalu bersimpuh di hadapan si penghisap tembakau yang lagi-lagi terkekeh sampai sudut matanya berair.      

"Kau tahu, kau sangat ceroboh.. tapi aku tidak suka menghabisi orang dengan tanganku sendiri, itu sedikit kotor," berat, mendesah dan ketika mendengarnya merinding seketika. "Euhemm.. " Rio berdehem, menatap orang yang bersimpuh di hadapannya.     

Ceroboh Dalam makna kata yang di usung Rio adalah, kebutuhan Nugroho menyerahkan cek Tarantula begitu saja.      

"Apa yang aku dapat, kalau aku menolongmu?" Rio mencoba melakukan negosiasi kepada wakil walikota tersebut.     

"Apa anda lupa.. kota yang aku pimpin mempunyai tambang minyak yang bisa saya serahkan untuk anda," Nugraha mengajukan penawaran yang ada di kepalanya.     

"Hanya itu?" lelaki yang detik ini membawa senjata laras panjang, menyenggol pucuk senjata tersebut di kepala Nugraha.      

"Kalau anda tidak mau, saya yakin Djoyo Makmur Group akan menjadi pemiliknya," si penjilat pandai mengancam pula.      

"Hah! Haha.." Rio tertawa ringan, menekuk kakinya mendekati kepala Nugraha, atau lebih tepatnya mendekati telinga wakil walikota tersebut.      

"Wiryo tidak akan tertarik pada tambang minyak, walaupun kamu menawarinya dengan sukarela, -sekalipun," Rio bangun dan sempat menyelipkan kata berdiri kepada Nugraha.      

"Mungkin saja, ketua berubah pikiran?" masih saja Nugraha sok pandai sekali mengolah kata, atau lebih tepatnya terlalu bodoh.      

"Ahaaa… pengetahuanmu sangat minim.." hinaan ini kembali terbit dari mulut Rio. "Wiryo pemegang janji terbaik, dia tidak akan menghianati janjinya sendiri, sebab dia terlalu malu melakukan itu.." sambil bicara lelaki yang nafasnya bau tembakau tersebut mendekati Nugraha dan menepuk-nepuk bahunya, lalu menatapnya dalam-dalam.      

"Satu-satunya supaya kau selamat adalah.." dia tersenyum dingin, bahkan matanya seolah sedang menampilkan senyum yang mengerikan.      

"Jadi kacungku!" sambil terkekeh penghisap tembakau tersebut menarik bibirnya, hingga giginya menyapa penglihatan wakil walikota yang mengerut karena tatapan pimpinan dewan Tarantula.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.