Ciuman Pertama Aruna

III-133. Beri Aku Ciumanmu



III-133. Beri Aku Ciumanmu

0"Jangan coba-coba mengeluarkan keputusan gegabah. kelompok ajudan berpakaian hitam! Aku tidak suka penampilan mereka!"      
0

_sial! Wiryo tahu dari mana? Sejauh apa dia tahu kelompok buatanku?_      

Mahendra berusaha setenang mungkin. Di balik pikirannya yang tiada henti menerka-nerka apa yang tersembunyi di benak kepala tetua Wiryo. Di sisi lain Hendra mendapatkan kode tangan Andos, berupa pucuk ibu jari menyentuh pucuk jari telunjuk dan ketiga jari lainnya terangkat.      

Secara tersirat sekretaris kakeknya memberitahukan bahwa lelaki tua tersebut tidak tahu secara mendetail apa yang sedang mata biru lakukan.      

"anda tahu, pakaian mereka sekedar simbol duka cita kepergian Thomas. Karena hari ini kami menyeleksi beberapa kandidat pengganti," ringan Mahendra membuat alasan.      

Wiryo menatapnya lamat-lamat, Wisnu pun juga jadi sasarannya. Sayang sekali anak buah Thomas yang jarang bertemu tetua –pimpinan paling di segani- menunjukkan ekspresi gugupnya.      

"tak masalah apa pun yang kau lakukan Hendra, sebab kakekmu ini tak lagi punya banyak kuasa. Aku sudah semakin tua, kuharap tiap tindakanmu bukan berdasarkan gejolak sesaat," Wiryo menggerakkan kursi rodanya. Hendak keluar dari ruangan.      

"satu lagi, jangan mempersulit perusahaan besar ini dengan cuti terlalu lama. Perusahaan tanpa pimpinan akan kehilangan wibawanya," pesan Wiryo tak sejalan dengan hati Mahendra.      

"Cuti ku bukan Tanpa Alasan, aku tidak melepaskannya begitu saja, aku telah membagi berbagai tanggung jawab, buktinya saat ini aku sedang bekerja," Mahendra membela dirinya.      

"Bukan masalah ter hendel atau tidak, kehadiran pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan energi tersendiri," kursi otomatis Wiryo sempat berputar lagi, "jangan terlalu memanjakan istri mu, dia pun harus tahu tanggung jawabmu sebesar apa,"      

"Aku akan memanjakannya seumur hidupku," Mahendra menebar senyumnya.      

"hmm he..," Wiryo menerbitkan tawa, "kau ingin mencetak Gayatri berikutnya?"      

"Aku akan mencetak generasi ku menggunakan aturanku sendiri, beristirahatlah kakekku. Jangan buat dirimu bangun malam hari demi mengurus cucumu," kakek dan cucu saling memandang satu sama lain, "kesalahanmu biar jadi kesalahanmu, belum tentu hal yang sama terjadi padaku," Mereka memunculkan ekspresi bersih tegang detik ini. Kadang kala orang tua merasa tahu segalanya. Padahal di mata anak-anak dunia telah berubah. Dan akhirnya tak pernah bertemu di satu muara meskipun tujuannya sama, laut yang di tuju sama.      

Sudut pandang Wiryo, tiap peringatan baginya ialah bentuk kasih sayang. Kendati, sering kali caranya cenderung menjelma menjadi tuntutan penuh paksaan teruntuk anak cucunya.      

"mengapa kamu copot Nana, siapa pengganti sekretaris mu?" Wiryo menanyakan hal lain di luar konteks.      

"Hah!" Mahendra tertawa janggal menepuk punggung pegangan kursi, "khawatir sekali, akhirnya tak bisa mengawasi ku lewat Nana,"      

"Oh ya, malam ini pasti Anda penasaran. Sebab anda tak mendapatkan informasi apa pun, -bukan?" Ekspresi saling kecewa babar menerpa, "-tujuan mereka menemuiku selarut ini," dalam jeda bicaranya, Mahendra menampilkan gigi rapi dia belajar tersenyum getir, "ah, mengapa aku baru sadar sekarang, siapa yang menjadi tangan kanan anda. Sumber informasi anda," ia menyipitkan mata, "Terima kasih, secara tidak langsung sudah memberitahu ku," mata biru mengangguk-angguk lalu bangkit dari duduknya.      

"cukup wawancaranya," pesan Mahendra kepada Wisnu. Wisnu mengangguk gugup, meraih gelas berisi air putih dan lekas meneguknya.      

Ketika mata biru melewati pintu yang sebagian tertutup keberadaan kursi roda kakeknya. Gertakan kembali terdengar, "Mahendra!"      

"Aku malas berdebat denganmu!" lelaki bermata biru meneriakkan kekesalannya tak kalah kasar.      

"aku belum selesai bicara denganmu!"      

"kita bicara apa lagi selain bertengkar?!" Mereka mengeraskan volume suara satu sama lain.      

"Kau pikir aku ini tidak tahu?! ajudan-ajudan itu kau kirim ke mana?" suara Wiryo menggelegar.      

_Sial_ gerutu Mahendra untuk dirinya sendiri, tangannya tergenggam, dia membalik tubuh ke arah tetua. Dari sisi belakang Wiryo, Andos mengepalkan tangan, raut wajahnya tertangkap kacau. Menyesali prediksinya yang salah terkait tetua Wiryo. Anehnya mengapa ajudan paling di percaya kakeknya terlihat lebih kesal kepada tetua dari pada Mahendra, dan dia salah memprediksi tuannya yang di ikuti hampir 1 kali 24 jam.      

"Yang pasti menuntut balas," Mata Hendra tertuju dingin pada kakeknya.      

"jangan gegabah! Berapa kali aku katakan ini!" Wiryo melebarkan matanya, gusar.      

"Sampai kapan kita harus bertahan?! Sampai satu persatu dari kita mati gila?" otot-otot lengan Mahendra menapaki permukaan.      

"sekali kau memulai pertarungan ini, tidak akan pernah terhenti sampai salah satu dari kita hancur," tatapan Wiryo tak kalah menghunjam.      

"mereka sudah memulainya, sejak aku belum lahir -bukan? Mengapa tidak ada yang diizinkan menuntut balas?, -sekali saja, biar aku membalas duka keluarga ini" Mahendra berbicara dengan nada lelah.      

"Tarik mundur orang-orangmu!"      

"Tak akan pernah!"      

"Mahendra!"      

"Kau siapa menggertak ku Wiryo?!"      

"lancang sekali bicara seperti ini pada kakek?!"      

"Atas nama jabatan ku, kau tak bisa menyuruhku!" Kemarahan paling nadir berderu dengan hujan lebat di luar sana. Mengguyur bumi yang kian sunyi, ini bukan tengah malam lagi. Detik ini menuju dini hari.      

"Aku ingin mati dengan tenang, bertahan hingga sejauh ini. tidak melukai adikku," suara tua Wiryo bergetar.      

"Anda tidak melukai adik anda, benar!. pilihan yang amat bijak. Tapi anda melukai nenekku, mommyku, bahkan istri dan calon bayiku. Aku tidak kenal siapa itu Clara, aku hanya menuntut balas atas perbuatan Tarantula!" pertikaian mereka membangunkan banyak orang. Tapi mulut-mulut mata awas, terdiam. Gerakan sepasang telinga para penghuni rumah induk yang dilanda rasa penasaran di cukupkan mencuri dengar, tersembunyi tak punya nyali menampakkan diri.      

Andos dan Wisnu yang ada di seputar pertikaian ini sekedar mematung. Mereka tidak punya hak dan tidak punya kewenangan untuk bicara. Bukan saatnya memberi saran, dan bukan pula saatnya untuk meredam. Semua orang secara nyata tengah menunggu ledakan pertengkaran keduanya terkait Tarantula. Muak bertahan, lelah mengalah dan capek melihat perempuan-perempuan menangis tanpa bisa memberi pertolongan.      

Penyerangan terhadap nona muda ialah momentum terhebat yang bisa menggeser peraturan pimpinan sebelumnya. Wiryo konsisten memegang teguh aturannya, entah apa yang ada di benak lelaki tua itu.      

Untuk pertama kalinya nama Clara dan Tarantula -kata terlarang di rumah megah ini- di kumandangkan dengan lantang. Mahendra mengucapkannya tanpa getaran, datar, seolah ungkapan sederhana. Tiada yang tahu dia benar-benar berharap kata terlarang itu menjadi familier.      

Supaya semua tahu keluarga ini dibelenggu oleh musuh yang nyata, dan perempuan-perempuan terkurung tersebut, mengabdikan hidupnya hanya karena permusuhan gila kakak beradik beda status. Tentu saja sebab pimpinan keluarga ini mengubur dalam-dalam semuanya sendiri. Menutup mata siapa pun seolah tidak terjadi gejolak hebat di keluarganya.      

"Hendra!" panggil Wiryo.      

"Aku tidak kenal dia, aku juga tidak akan peduli pada Tarantula, Clara, apa pun itu, siapa pun mereka. Biar aku memimpin keluarga ini sesuai kehendakku. Kalau anda tidak setuju itu urusan anda!" Mahendra berjalan cepat, menyusuri ruang tengah lalu menaiki tangga menuju kamar pribadinya bersama sang istri.      

"Hendra!" pekikan Wiryo, Menderu beradu dengan kemarahan, "Mahendra!!"      

Panggilan tersebut tak menyulut pewaris tunggal Djoyodiningrat menoleh sedikit pun.      

Ia membanting pintu setelah berhasil menggapai pintu ukir Jepara tempat istrinya berada. Dan tersentak bukan kepalang ketika menyadari istrinya terjaga menangkap perilakunya.      

Dia mengerjap-kan mata berulang. Menutup kembali pintu dengan benar. Mengatur nafas, mengatur raut wajah, dan kebiasaan lamanya –mengatur pakaian yang ia kenakan.      

"Huuh," ekspresinya berubah tersenyum, gigi rapi tersebut tersaji bersama lesung pipi yang ia rangkai, "tidak tidur sayang?" dia bertanya sejalan dengan langkahnya mendekati perempuan yang membuka lebar kedua tangannya.      

"menunggumu," Aruna memeluk lelakinya, tanpa bertanya apa yang terjadi di luar sana.      

Tadi Susi di minta Aruna mengantarkan minuman hangat untuk Mahendra. Minuman yang sama yang di buat Susi untuk menemani terjaganya sang nona. Sayang sekali pintu terbuka memperdengarkan pertikaian hebat suaminya dengan sang kakek.      

"Susi," ini suara Aruna. Susi paham kode ini, ajudan tersebut menunduk sejenak lalu menuju pintu dan menutupnya rapat.      

"Beri aku ciumanmu Aruna,"      

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang menjadikan novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.