Ciuman Pertama Aruna

III-109. Tersenyum Setelah Menangis



III-109. Tersenyum Setelah Menangis

0Pintu terbuka, telapak kaki bertemu lantai, lamat.     
0

_siapa yang datang?_     

Berjalan, merasakan ada seseorang yang berjalan. kemudian langkahnya kembali ke asal, menutup pintu: "Klik," pintu terdengar samar.     

Lalu mengulang kembali hal yang sama. Langkah, ubin dingin ditapaki kaki. Dekat, ada yang mendekat. Menyentuh, ujung-ujung ranjang ditekan terasa denyutannya.     

_Hendra?_     

Pertemuan ranjang dengan _siapa yang datang?_ menimbulkan gelombang yang tertangkap tubuh perempuan berbaring, dan selimut yang membungkusnya di tarik perlahan.     

"HENDRAAAA..... HENDRAA.." menangis meraung-raung, berteriak sejadi-jadinya.     

Nafas naik turun, seseorang datang menarik selimutnya, gerakan itu hanya samar-samar ia tangkap. Entah ini Mimpi atau kenyataan. Sesuatu yang beradu jadi satu. Terlalu bercampur baur. Dia, siluet yang tak tertangkap mata Aruna tanpa bekas.     

Namun, suaminya juga hilang, Hendra tidak berbaring di sampingnya. Aneh, Kenapa teriakannya tidak disambut? Seandainya Mahendra pergi ke kamar mandi sejenak. Harusnya ketika ia berteriak, Hendra akan berlari, hadir di dekatnya, secepat ia bisa, lalu memeluknya.     

" Hendra, HENDRAA.. AAARGH.." asisten rumah tangga yang mendengar teriakan nonanya berlari menaiki tangga, gesit membuka pintu kamar yang telah terbuka, sejak awal.     

"Nona? Nona Tenanglah!" dan yang lain mulai berdatangan, termasuk Oma Sukma yang tergopoh-gopoh setelah pintu kamarnya di ketuk asisten rumah tangga.     

Nona mereka belum mau diam, berteriak kesetanan. Dia ketakutan. Memanggil nama suaminya yang hilang menurutnya.     

.     

.     

"Tuan.. nona," Mata biru yang tengah bercakap-cakap dengan 3 orang sekaligus, Mengalihkan fokusnya. seorang asisten rumah induk baru saja datang, menerobos masuk pada ruang kerja tuan muda Djoyodiningrat, tanpa permisi.     

Nafas asisten rumah induk naik turun. Hendra mengangkat tangannya supaya lawan bicaranya berhenti: "Apa yang terjadi?"     

"Nona mencari anda, dia ber-," kalimat asisten tersebut tak usai ia dengarkan. Mata biru lekas keluar mencari pemahaman, Saat langkahnya mendekati tangga lantai 2. Ia mulai mengerti apa yang terjadi, berlari secepat dirinya bisa. Betapa terkejutnya Mahendra, istrinya menangis histeris, meneriakkan namanya. Sekelompok asisten mengelilinginya, mencoba menenangkan.     

"Nona, jangan takut kami di sini," ini suara Tika mencoba mengelus kaki Aruna, Aruna menarik kaki itu cepat-cepat. Dua mata asisten saling beradu, Ratna dan Tika tidak bisa menenangkannya.     

Susi datang setelah memanggil Oma Sukma.     

Mahendra hadir berikutnya, langkah memasuki kamar yang di usung Mahendra, mendorong para asisten mundur. Susi pun mundur. Begitu juga yang dilakukan asisten rumah induk lainnya.     

"Hendra.." suara panggilan Aruna bergetar Air mata itu tumpah pada seputar pipinya. Lelaki bermata biru bergegas menaiki ranjang, jantungnya tertekan, dadanya berdetak kencang, mendekapnya dalam-dalam.     

Tanpa Kata, Mahendra membuat pelukan untuk istrinya.     

Tanpa kata, sang cucu membuat luruh neneknya. Sukma mengelus dadanya, sesaat berikutnya tangannya diangkat menutup bibirnya sendiri. Meminta Susi membawanya kembali ke kamar.     

Satu persatu asisten rumah induk mundur dari kamar tuan muda Djoyodiningrat. Masing-masing dari wajah mereka menunjukkan ekspresi resah.     

Dan perempuan yang menangis histeris perlahan menurunkan gejolak. Pada keadaan memilukan tersebut, seorang pria berulang kali mengucapkan mantra: "aku sudah ada di sini, Tenanglah, tidak ada yang terjadi, semua baik-baik saja,"     

"tenang, Tenanglah Sayang, kamu tidak sendirian, ada dua orang yang memelukmuq. baby kita juga memelukmu," berulang-ulang kalimat tersebut di bisikan.     

Tangisan yang awalnya berupa teriakan kini turun perlahan, mereda, tinggal nafas naik turun tanpa ritme yang selaras, nafas terputus-putus. Aruna terbatuk dan Tersengal-sengal untuk sekedar menghirup udara. Sebab tangisannya begitu dalam.     

Ada yang tidak diketahui Aruna, suaminya menghapus setetes Air di pelupuk matanya. Sebelum ia kembali membaringkan Aruna.     

Dipegangi tangannya oleh perempuan tersebut, tak ingin di lepas, Aruna benar-benar ketakutan Hendra pergi darinya. Dan Mahendra menghabiskan sepanjang malam tanpa mampu menutup Mata, malam yang panjang untuk sekedar memastikan perempuannya tidur dengan nyaman.     

[Herry, Arahkan timmu untuk istirahat aku belum bisa kembali ke ruang kerjaku,]     

[Baik, Bagaimana dengan nona?]     

[Dia sudah tenang, sudah tidur kembali, istirahatlah..]     

[Terima kasih tuan]     

[Datanglah ke kamarku sebelum besok kamu berangkat]     

[Siap]     

[Jangan lupa memberi tahu Surya dan Kakak iparku, supaya datang tepat waktu]     

[Saya pastikan semuanya berjalan sesuai rencana Anda]     

***     

Teko jatuh di lantai, pecahannya masih dibiarkan tercecer. Kaca-kaca kecil berserakan. Airnya tumpah tak ada yang membersihkan.     

Almari di pojok ruangan menghamburkan baju berserakan. Sepertinya baju yang berada di dalam sengaja diacak-acak oleh seseorang, entah siapa.     

Belum seberapa ketika melihat televisi dengan tabung retak, jelas sekali benda berbentuk balok tersebut dibanting seseorang.     

Benda jatuh bergelimpangan, sinyal sebuah bencana, bukan bencana alam dari Tuhan. Melainkan bencana lain yang diciptakan sesama manusia.     

Riki, adik Kiki yang berusia SMA bangkit dari duduknya. Dia menyelinap pergi dari pandangan mata.     

Pemandangan di depan dua orang yang baru datang berupa meja dengan permukaan persegi panjang yang terbungkus telapak meja dari bahan plastik, warna-warni mengilat. Di atasnya tidak menunjukkan apa pun yang layak dimakan.     

Magic com terbuka, piring-piring berisi nasi yang salah satu di antaranya berisikan tempe baru digoreng. Kaleng kerupuk pada tepian meja tutupnya tak terpasang, isinya tinggal setengah. Satu di antara kumpulan kerupuk terselip pada telapak tangan Laila, adik Kiki yang mengabaikan seragam merah putihnya, waktu sudah menunjukkan pukul 10. Artinya adik-adik Kiki bolos sekolah hari ini.     

Dua hari dua malam keduanya tidak pulang, sepanjang kegilaannya mengarungi dua malam yang mengejutkan, pikiran Kiki sering kali terbang pulang ke rumah. Firasat buruk terealisasi, adiknya tidak berangkat sekolah, mereka juga tidak mampu menyiapkan makanan yang layak.     

Parahnya rumah sederhana yang berdesak-desakkan di tepian sungai besar pinggiran kota metropolitan hancur-hancuran.     

Kiki berlari menghempas tatapan bapak dan adik bungsunya. Perempuan tersebut menyisakan suara 'brak' pintu kamar yang dia lempar.     

Thomas memburunya, suara gemeletuk tongkat penyangga kaki beradu dengan ubin terbit seiring usahanya mengejar lari Kiki. Laki-laki yang membuat mata Laila serta bapak terbelalak, sedang membuka pintu kamar tulang punggung keluarga dengan sangat hati-hati.     

Sesaat berikutnya pria berambut sebahu yang terikat ke belakang menghilang di balik pintu termasuk suara ketukan tongkat penyangganya ikut hilang, tak terdengar lagi.     

Kiki mengisak dan buru-buru menghapus air matanya, memalingkan wajah dari pria yang kini duduk dengan mengusung gerakan lambat pada tepian ranjang yang sama. Tempat di mana Kiki duduk, Thomas duduk di sampingnya. Ragu, pria tersebut membuka tangannya. Menepuk punggung Kiki sangat hati-hati, takut di bentak atau di maki.     

"Menangis saja!" suara kaku Thomas keluar dari bibirnya, "menangislah nggak apa," Kiki malah terdiam membisu.     

"Kamu pasti lelah," konsisten menyusun kalimat dengan sangat hati-hati, Thomas memelankan intonasi bicaranya.     

"Huuuh," ini suara nafas lelah Kiki. Dan air matanya meleleh di pipi, "Dasar Sasono sialan!!" perempuan tersebut sempat mengumpat.     

"Akan kubunuh dia," mulutnya pun berani mengancam.     

"Kenapa tidak menunggu ku pulang, malah menghancurkan rumahku," dan perempuan berambut lebat memanjang hitam menundukkan wajahnya. dia tidak bisa menutupi rasa ingin menangis. akhirnya Kiki tetaplah perempuan, segalak apa pun gadis tersebut, menangis juga pada akhirnya.     

Suara embusan nafas Thomas terdengar, sebelum tangan yang tadinya menepuk punggung kini turun di lengan. merinding takut dimaki, tapi laki-laki ini tersengat rasa iba, ingin merengkuhnya.     

"Huuuh," bersama nafas panjang yang kedua, Thomas memberanikan diri merapatkan tubuhnya, dia memeluk Kiki.     

"kamu pasti lelah menghadapi hidupmu, Aku juga pernah merasakannya," maksud Thomas Jangan malu, istirahat sejenak meluapkan kekesalan pada kehidupan dengan menangisinya, bukan sesuatu yang memalukan.     

.     

.     

"Sasono, rentenir?" tanya Thomas setelah Kiki mendorong tubuhnya.     

"Aku menggadaikan motorku, -daftar ulang sekolah Riki," suaranya terdengar parau. Dia lelah lahir batin.     

"Jadi Sasono yang mau merampas motormu?" Thomas kembali bertanya.     

"Dari mana kau tahu?"     

"Aku baca pesannya waktu kamu pinjami aku handphone," jawab Thomas.     

"Hah' Apa? Kenapa kau tak memberitahuku!" jengkel Kiki, mungkin semua ini tidak akan terjadi kalau Thomas memberitahunya lebih cepat.     

"Aku lupa, sudah terlanjur terjadi," _Tak bisa di sesali_ Mata Kiki menatap tajam mengintimidasi.     

"Maaf," merinding sendiri Thomas mengatakan kata 'maaf', sebab tangan perempuan tersebut terangkat seolah akan memukul kepalanya, "Stop! Akan ku ganti semuanya," Thomas melepas tas di punggungnya, menepuk tas tersebut setelah berada di atas pangkuan.     

"Sekarang pesan taksi online!" berbalik Thomas menjadi penyuruh setelah sadar dia banyak uang.     

"Buat apa?"     

"Buat tidur di motel, barter dengan uang," kepalan tangan kanan Kiki benar-benar mendarat di kepala Thomas.     

"Auu. Aa.. ampun," mereka beradu mata, "mumpung adikmu tidak sekolah, kita makan enak, jalan-jalan, beli perabotan, nanti pulangnya kita datangi rumah Sasono, kalau perlu kita hajar sama-sama, sebelum melunasi hutangmu," akhirnya gigi gingsul Kiki terlihat sejalan dengan mata menyipit, dia tersenyum setelah menangis. Termasuk setelah memukul laki-laki di depannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.