Ciuman Pertama Aruna

III-111. Jepit Rambut



III-111. Jepit Rambut

0Dia selalu merasa hidup dalam negeri dongeng semenjak seorang laki-laki menjabat tangan ayahnya untuk dijadikan istri.     
0

Laki-laki tersebut tengah terbaring di sisinya, belum bergerak sama sekali. Padahal matahari sudah menampakkan diri tanpa malu-malu. Sinarnya datang masuk melalui celah-celah jendela yang dibuka asisten rumah induk.     

.     

Ratna baru saja mengetuk pintu kamar pewaris tunggal Djayadiningrat. Ketika nona mudanya bangkit dari pembaringan lalu berjalan membuka pintu. Ratna tersenyum ramah mengetahui dirinya harus bekerja sebaik mungkin tanpa membangunkan tuan muda keluarga ini. Sebab lelaki yang menjadi pusat kehidupan keluarga Djayadiningrat masih terlelap.     

"anda sudah baikkan Nona?" tanya Ratna berbisik menggunakan volume suara paling rendah.     

Aruna tersenyum, kembali melangkah menuju ranjangnya. Dia mendekati tubuh laki-laki yang masih enggan membuka mata. Dibukanya satu tangan kanan. Dan diletakkan kepala perempuan yang kini berambut sebahu pada lengan yang memiliki perbandingan hampir dua kali lipat lengannya sendiri.     

Perempuan hamil tersebut memejamkan matanya masih menginginkan berada di dekat lelakinya. semenjak kejadian buruk dan menyadari di perutnya ada bayi, dia kian enggan jauh dari suaminya. Mahendra di peluk erat, tangan itu menelungkup dada tubuh mematung -sejujurnya baru saja tertidur.     

"Nona," Ratna menggagu Aruna yang sedang memungut kenikmatan dari menempel tubuh hangat yang kian lama kian berharap selalu berada di sampingnya.     

Enggan, mulutnya bergerak mengatup sebab harus menoleh menatap Ratna, Aruna masih mau menempel pada tubuh mematung.     

"Maaf, ini milik Anda," asisten rumah tangga tersebut menunjukkan jepit rambut di tangannya. Jepit rambut buah ceri-nya yang tertinggal di kamar ini ketika ia di bawa pulang keluarganya. Dan ketika memutuskan kembali ke rumah megah ini tak satu pun pernak-perniknya tersisa, maksudnya Aruna tidak pernah tahu barang-barang sederhana miliknya lari ke mana.     

"boleh aku lihat," Ratna mendekat, meletakkan jepit berwarna dasar putih dengan bulatan merah dan daun kecil di atas bulatan ceri.     

"Ini milik Anda?" Ratna mundur meninggalkan Aruna yang masih terdiam mematung mengamati jepit di tangannya. Benda ini memang miliknya, tapi sudah menghilang.     

Ratna kembali menyalakan mesin pembersih lantai. Bersama suara mesin pengisap debu kian menjauh ada perempuan menggenggam tangannya, rapat-rapat hingga otot-otot mungil punggung telapak tangan berwarna kuning langsat menampakkan guratan.     

Ibu hamil ini seolah sedang meredam sesuatu di dada, dia yakin benda di tangannya tidak pernah berada di lantai, dia sangat yakin. Berjalan melewati Ratna, Aruna menuju kamar mandi.     

"Apa Anda butuh bantuan, -nona?" tanya Ratna terabaikan. Dia yang sedang berjalan seolah tidak bisa dan tidak mau di ganggu.     

.     

Aruna berdiri di hadapan cermin, mengamati dirinya dengan cermat. Selain hari kedatangan keluarganya yang mendorong ibu Gayatri memberi bantuan rias diri. Aruna tidak lagi melihat dirinya sejeli ini. Lebam di wajahnya perlahan pudar, sudut bibirnya tidak lagi tampak robek, akan tetapi tubuhnya, otot di leher menonjol, lantang mengabarkan bahwa dia kehilangan banyak berat badan. Tak sesegar dulu, kantung-kantung mata hitam mengganggu. Bagaimana dirinya tersenyum dengan wajah sekusut ini, pucat pasi.     

Seperti apa orang memandangnya? Sebuah pertanyaan yang tidak pernah ia pedulikan, sekarang mampu mengusik hatinya.     

Aruna menaikkan kain yang membungkus lengannya, piama lengan panjang tersebut ia singkap. Seutas bekas noda melengkung di sana. Sisi ini tidak terlapisi perban seperti punggungnya, kata dokter luka di tangan kirinya telah kering. Namun, bekas itu menghunjam dadanya, menyakitkan. Menyadari dirinya terluka sebab seseorang dengan sengaja merencanakan semuanya.     

Kembali jepit di tangannya di amati, diangkat jepit tersebut, tepat di antara dirinya dan cermin. Gerakan memutar itu diperlihatkan. Ketika jepit tersebut kembali turun lalu diletakkan, perempuan ini mendorong dirinya menyimpulkan sesuatu.     

_apakah yang seperti ini bisa dimaafkan?_ batinnya bergejolak.     

_tapi dia hampir membunuhku, tunggu, Ini bukan sekedar hampir_ desah nafas Aruna terdengar.     

_Dia? Iya, dia menginginkan kematian ku, juga bayi di dalam kandunganku_ Makin kesini Aruna makin bisa mengingat, perlahan ingatannya membaik, potongan-potongan mozaik kejadian buruk yang menimpanya tersusun satu persatu.     

Aruna sadar betul bagaimana dirinya yang pada mulanya tidak paham bawah siluet itu mengincar kandungannya, dengan menendang perutnya -untung saja berhasil di tangkis- hingga spontan dia meringkuk memeluk erat kedua lututnya. Mengamankan perutnya, dia menyadari si pelaku pasti mengira dirinya benar-benar hamil, padahal kehamilan tersebut sekedar kebohongan yang sengaja ia buat.     

Aruna meringkuk dan berusaha menjaga perutnya demi melindungi rahimnya. Menjadi istri Mahendra, seorang pewaris tunggal perusahaan multinasional sekelas Djoyo Makmur grup dan belum memiliki keturunan, otomatis memastikan rahimnya terjaga merupakan pilihan yang logis bagi Aruna detik itu. Walaupun dia belum tahu kandungannya sudah terisi janin. Sehingga cara meringkuk kala itu mengakibatkan punggungnya di Serang, begitu juga tangan kirinya.     

"Huuuh," Aruna menghela nafas panjang. Mengamati sekali lagi jepit rambut yang tergeletak.     

Sejalan kemudian perempuan tersebut membuka piamanya. Dia penasaran dengan kondisi punggungnya. Buah-buah kancing itu terlepas, menurunkan baju di bahu sisi kiri dan mulai memutar tubuhnya setengah lingkaran.     

"Cukup!" secara mengejutkan tanpa ia sadari, Mahendra sudah berdiri di belakangnya. Menggenggam kedua bahunya. Lelaki bermata biru menatap bayangan Aruna di cermin, raut mukanya menampakkan ekspresi resah dan gelisah.     

"Mau mandi?" pria itu menutup rasa resahnya dengan tersenyum. Walaupun senyum tersebut jelas dipaksakan, Aruna masih bisa menangkap guratan lesung pipi di wajahnya.     

"Aku ingin melihat punggungku," Mahendra konsisten memegangi bahu Aruna.     

"kau boleh diam-diam mengamatinya ketika aku tidak ada. Aku minta maaf, saat kamu ingin memeriksa punggungmu, Pastikan aku tidak ada di sekitarmu," dia menghela nafas sambil merapikan rambut Aruna sejenak, "selama aku masih sempat menghentikan mu, Aku tak ingin kau melihat lukamu," Mahendra menutup ucapannya dengan melepas piama Aruna. Kemudian bergerak mencari sesuatu dibalik laci-laci di bawah wastafel yang dilapisi batu marmer abu-abu memanjang, sehingga wastafel ini lebih condong seperti meja memanjang di bawah cermin yang bagian dasarnya menawarkan laci-laci tempat menyimpan kebutuhan pemiliknya.     

Ternyata Mahendra mengais sebuah benda tajam. Gunting berwarna hitam tepat di tangannya. Spontan kaki Aruna bergerak mundur, dia tak suka melihat benda tersebut.     

Mendapati raut muka panik istrinya, Mahendra segera menarik dan menyelipkan benda tersebut di punggungnya.     

"aku ingin membantu melepaskan perbanmu, supaya lebih nyaman saat mandi," Aruna belum mau menjawabnya. Dia terdiam.     

Hendra tahu hal ini tak akan mudah, dan dia kembali meletakkan gunting tersebut di tempatnya, "baiklah, Aku akan berusaha melepasnya dengan tangan kosong," Mahendra kembali melangkah menuju Aruna.     

Rasa nyeri menyapa punggung saat Mata biru mulai melepas perban yang menempel di punggung Aruna.     

Wajah meringis seolah menahan sesuatu, kadang kala tertangkap cermin. Dan Mahendra awas terhadap mimik wajah tersebut, tiap kali Aruna membuat ekspresi tidak nyaman. Mata biru menghentikan aktivitasnya. Sabar dan lambat, satu persatu bagian demi bagian helai kasa tergeletak sembarangan di seputar-an wastafel.     

Setelah Mahendra terdiam agak lama lalu mengecup ceruk lehernya, Aruna tahu lelaki tersebut sudah berhasil buka seluruh perban.     

.     

Aruna tidak mengerti apa yang ada di kepala mata biru ketika dirinya ditarik masuk ke dalam ruang kedua kamar mandi mereka. Ruangan dengan dua fungsi sekaligus. Fungsi pertama mandi di bawah rintik shower, fungsi kedua tidak jauh-jauh dari benda berbentuk mangkok di ujung sana.     

Lelaki bermata biru tidak mengarahkan dirinya masuk ke ruang bershower, maupun mengisi mangkok kuah mereka (bathtub). Melainkan meletakkan dingklik kecil pada tempat di dekat bathtub. Handuk tebal tergeletak pada pinggirannya, dan dia tersenyum melihat ide uniknya telah siap untuk dinikmati.     

"Apa yang paling kamu inginkan?" mata biru bertanya. Dengan memamerkan gigi putih bersih berjajar rapi.     

"keramas," Aruna sering mengatakan ini. Merasa rambutnya lengket dan ingin segera mengguyur kan air sebanyak-banyaknya.     

"duduklah di sini dan letakkan kepalamu," Mahendra mendekati dan menepuk dingklik kecil di dekat bathtub. Kakinya ditekuk menawarkan tempat itu seolah menawarkan sesuatu yang luar biasa.     

"akan ku coba," perempuan ini menuruti permintaan Mahendra. Duduk sembari meluruskan kedua kaki, yang kemudian meletakkan kepalanya di atas handuk tebal, empuk dan nyaman. Dia menenggelamkan kan dirinya pada tepian bathtub. Sebuah cara supaya bekas luka yang masih setia di panggung Aruna, terkendali dari air     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.