Ciuman Pertama Aruna

III-113. Menepuk Jidat



III-113. Menepuk Jidat

0Dengan guratan rasa kesal, laki-laki tersebut menutup pintu mobil, gerak kasar menciptakan suara bervolume tinggi. Sejak roda mobil ini menggelinding dikemudikan lelaki pemarah. Tercipta pertarungan sengit berupa berdebat dipenuhi euforia janggal oleh adik dan bundanya.     
0

Dia bilang bundanya dan adiknya sengaja membuatnya terpojok. Memaksa bertemu lelaki berkumis tebal, pertemuan yang sederhana sekedar untuk mengkonfirmasi bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun.     

Sayang sekali yang ditunjukkan adik dan ibunya berbalik 180 derajat. Sang bunda memakai batik terbaiknya, sengaja mengenakan motif batik khas pulau Madura khususnya berasal dari Pamekasan tempat di mana om om berkumis tebal itu berasal.     

sekalinya Anantha protes dengan tingkah polah dua perempuan yang sedang berbahagia membincangkan baju warna biru cerah dengan corak bunga akar di menjelajahi kain seperti sulur-sulur akar yang sedang berburu sumber air. Ujaran kekesalan Ananta sama sekali tidak mendapat tempat untuk sekedar menyela percakapan hangat berisikan dunia perempuan.     

"Tadi Alan waktu kamu tinggal sudah disusui kenyang?" bunda Indah keluar dari mobil, mengapit tas pada ketiak. Rambutnya bahkan dikibaskan beberapa kali, lalu di elus-elus sebentar supaya tersingkap sempurna ke belakang.     

"Sudah dong bun, aku punya persediaan di freezer," Aliana tidak kalah hebohnya. Baru juga melahirkan, kakinya sudah dilapisi sepatu hak tinggi.     

Keluar dari mobil mengenakan hem putih berpadu rok memanjang sampai bawah lutut. Jangan salah, blazernya sungguh bikin kesal. Sama seperti yang dikenakan bunda, batik khas Madura spesial dari Pamekasan.     

"bukankah kita cuma makan? Sekedar menjelaskan kesalahpahaman? mengapa kalian heboh?" pertanyaan yang diulang-ulang Anantha ketika dia jengkel duduk di depan televisi menunggu ibu dan adiknya yang berhias, lebih dari 1 jam. Ini bukan seberapa dibanding ayahnya, beliau sempat membujuknya untuk ikut.     

Semacam persekongkolan yang perlahan terendus baunya, sedang dihamburkan diam-diam dibalik layar antara Si kumis tebal dengan perempuan-perempuan di keluarga Lesmana.     

"resto ini yang pilih kamu?" celetukan Anantha membeku di depan pintu.     

"emangnya kamu bisa memilih resto yang bagus?" Aliana menjawab pertanyaan dengan pertanyaan sambil memaksakan ekor matanya membidik si kakak hingga tak bisa berkutik.     

"Sudah dibantu adik, masih saja menggerutu, -masuk," gerak kepala Indah memaksa anak lelakinya mengikuti sang ibu.     

"apa yang kalian rencanakan?" kalimat ini masih mengambang di udara. Ketika Nabila berdiri membungkukkan badan sambil tersenyum.     

Ananta sempat mengerutkan dahinya, _mengapa Nabila jadi cantik?_ benak lelaki itu berkejaran mencari pemahaman.     

Ananta tidak tahu bahwa Nabilah tadi pagi di telepon atasannya, secara tegas Aliana mengatakan bahwa Nabila harus pergi ke salon dan membeli baju baru ada pertemuan yang amat penting hari ini. Baju pilihannya pun perlu difoto dan dikirimkan kepada Aliana. Penindasan model baru, entah ujungnya baik atau buruk. Aliana hanya fokus pada satu tujuan. Tujuan yang juga didukung seluruh keluarga Lesmana kecuali si kanebo kering yang bakalan dijebak hari ini.     

Hari ini bunda Indah begitu juga Aliana akan meminta Nabila supaya dijadikan menantu keluarga Lesmana. Dengan cara minta maaf sebesar-besarnya atas kenakalan Ananta tidur di apartemen Nabila.     

"Saya benar-benar minta maaf om Jakpar," suara bunda Indah merdu dan halus, Anantha tahu suara itu sengaja dibuat-buat, "anak saya belum pernah punya pacar sekali.. saja.. belum pernah, belum pernah sama sekali," repetisi penegasan yang diulang-ulang, "dan sepertinya begitu bersemangat ketika Nabila menerima cintanya,"     

"APA?!" suara terkejut Anantha memekikkan telinga. Omongan macam apa yang diusung bundanya. Tapi lelaki telat menikah tersebut segera terdiam, ketika Jakpar menatapnya dengan mata membulat penuh. ini belum seberapa dibanding kaki Aliana bersama hak tinggi yang mengesalkan itu, adik menginjak ujung sepatu si sulung.     

Ananta menendang kaki Aliana di bawah meja, suara pertikaian di bawah meja sempat terbit menyusup ke beberapa telinga. Orang-orang saling curiga di atas meja.     

"Hehe..." Aliana mengurai senyum dan tawa ringan panjang, berusaha mengusung ekspresi paling ramah, "saya dan kakak sangat akrab, kadang kita bermain.. walaupun usianya sudah tidak layak untuk bermain," Aliana menendang kaki Anantha sekali lagi. Karena pria itu sebelumnya sempat berhasil menendang kakinya.     

"boleh saya lanjutkan..." Indah bersuara kembali.     

"Hem.." suara bergema Jakpar, ketika berdehem cukup menakutkan bagi Ananta. Sebab Jakfar secara diam-diam menatapnya dengan tatapan tajam yang berhasil menurunkan kepercayaan diri Anantha. Om jakpar menjelma layaknya kerapan sapi yang siap menyeruduk diri Anantha sewaktu-waktu.     

Lihat saja salah satu tangan yang berada di atas meja mengepal, otot otot tangannya timbul ke atas. Sedangkan Ananta tidak bisa berbuat apa pun kecuali menghembuskan nafas panjang.     

"mengingat kejadian kemarin, kalau-kalau om Jakpar merasa sudah saatnya Nabila menikah," pelan-pelan suara ini ditata sedemikian hingga menjadi susunan kalimat ber- ritme indah. Seperti nama perempuan yang kini tengah berbicara.     

"bunda." Ananta membuat panggilan.     

"apa sih Kak," Aliana meliriknya menampilkan ekspresi permusuhan, "orang tua ngomong itu didengar!" Bisikan lirih Aliana sama anehnya dengan susunan kalimat manis bunda Indah.     

"Saya mewakili suami dan seluruh keluarga saya, kalau boleh, berharap diizinkan memintakan Nabila untuk putraku," masih dengan suara yang nyaman didengar, Indah menggulirkan permintaan yang sudah disusun rapi bersama Aliana semalam.     

"bunda! Kok jadi begini sih Bun!" Indah tidak melihat putranya sama sekali, dia malah membuang muka dan mengalihkan tatapannya kepada gadis yang kini sekujur wajahnya memerah.     

"kelihatannya anak Anda tidak setuju," suara Jakpar bergulir setelah dia meraih gelas berisi air putih dan meneguknya, hingga perutnya bergoyang beberapa kali.     

"Masalah setuju atau tidak setuju dari pihak anak saya, bukan bagian yang penting," suara indah berubah tajam dan bersemangat.     

"Bunda ngomong apa sih!" tidak kalah heboh Ananta mengimbangi kalimat ibunya, dibalik tangan Alia yang berusaha meraih lalu mendekap mulutnya supaya tertutup.     

"Kakak melakukan kesalahan fatal, dan kesalahan ini tercium oleh semua karyawan yang ada di kantor saya," padahal karyawan Aliana tidak lebih dari 10 orang. Itu pun bercampur dengan karyawan Anantha, yang masih setia dengan founder bangkrut tersebut.     

"baru juga kemarin, kau." mulutnya kembali digenggam Aliana, ricuh sekali kakak beradik tersebut, "ih! kau sendiri.., pasti, Ah" tangan saling mendorong, "yang membuat gosip," tangan Aliana di cengkeram.     

"Tolong kendalikan anak-anak anda, Bu," Jakpar tidak betah melihat pertikaian adik kakak di depannya.     

"Hehe maaf," senyum malu indah tak bisa disembunyikan lagi, "huuh.." Indah terdengar mengela nafas, meminta Aliana berpindah tempat dengan menarik lengannya, "kau itu Kak! Mau menikah apa tidak? Bunda mau berusaha mencarikan jodoh? Bukannya di terima malah bikin susah!" Anantha diomeli di depan penghuni meja makan berbentuk lingkaran.     

"Aku dan Nabila belum kenal, baru juga pacaran sehari, kena apes ketiduran gara-gara pagi harinya harus masak, bantuin bunda," jengkel Anantha tak bisa terelakkan, Anantha ingin meluruskan semua kesalahpahaman dengan menceritakan kejadian yang asli.     

Anehnya mata Jakpar bersinar, "kamu mau membantu ibu mu masak?"     

Ananta tidak mau mengangguk, dia membeku, gengsi, untuk mengakui bahwa dirinya cukup terampil membantu seluruh kebutuhan bundanya. Mengingat, dari kecil hingga dia dewasa Ayah Lesmana jarang di rumah. Adik-adiknya pun masih kecil, tentu saja bunda butuh bantuan untuk merawat mereka. Di mana waktu itu Ayah Lesmana sekedar asisten biasa pada keluarga Djoyodiningrat.     

"Uuh.. anak lelakiku ini sangat baik, saking baiknya bukan cuma masak, mengepel lantai, menjemur pakaian, mencuci piring, semuanya dilakukan, demi meringankan beban saya," Indah bersemangat mempromosikan putranya.     

"bunda pikir aku.. ah, sudahlah, capek ngomong sama kalian," Ananta menelungkupkan tangannya, bersedekap dan melipat kakinya, mulutnya ditekuk. Dari raut wajahnya terlihat sekali bahwa dia amat sangat jengkel.     

Di sisi lain, Nabila terdengar bergeligik tawa tak bisa menahan rasa geli di perut ketika mengamati pergulatan unik keluarga Bu Aliana.     

"Saya suka lelaki yang tahu kesibukan rumah, apalagi mau bantu-bantu ibunya," sejak kapan Jakpar bisa dan mau menerbitkan kosakata ringan mendalam semacam ini. Ananta tak kuasa untuk tidak ikut serta memperhatikan Om Nabilla, "karena saya percaya, laki-laki yang baik adalah laki-laki yang tahu kesibukan rumah tangga, tahu susahnya menjaga kebersihan rumah,"     

Aliana mengimbuhi penjelasan : "bukan cuman itu om, kakak saya ini sayang banget sama adik-adiknya," bukankah tadi mereka sempat saling menendang kaki, Jakpar mengerutkan dahi.     

"Walau pun kelihatan kasar," Jakpar mengangguk-angguk, "tapi kalau ada yang jahati adiknya. Kakak ku tidak bisa tinggal diam. Dia pernah menculik bungsu kami, dari suaminya sendiri karena takut di jahati sama suaminya,"     

"NABILA! YANG ITU JANGAN DI CERITAKAN, HADEH!!" Anantha menepuk jidatnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.